Mongabay.co.id

Studi: Investasi Energi Terbarukan Makin Moncer, Jepang Mau Setop Danai PLTU Batubara?

Sumatera Selatan, jadi provinsi percontohan pengembangan energi terbarukan. Daerah ini sudah mulai bangun pembangkit energi terbarukan, antara lain pembangkit biomassa dari sekam padi dan energi surya. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) meluncurkan Global Renewables Outlook yang menunjukkan, investasi energi terbarukan akan menguntungkan dalam jangka panjang. Transformasi dari energi fosil ke energi bersih tak hanya memenuhi target perbaikan iklim, juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan jutaan lapangan kerja, menyejahterakan masyarakat, dan menguntungkan bagi lingkungan dan kesehatan.

Di tengah pandemi Coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang menjatuhkan harga minyak dan ekonomi kotor, pemerintah dunia punya pilihan untuk pulihkan ekonomi sekaligus atasi krisis iklim dengan 100% beralih ke energi terbarukan.

Baca juga: Kala PLTU Batubara Picu Perubahan Iklim dan Ancaman Kesehatan Masyarakat

Francesco La Camera, Direktur Jenderal IRENA mengatakan, pemerintah sedang menghadapi tugas sulit terkait isu kesehatan sambil menggelontorkan stimulus dan pemulihan.

“Krisis ini mengungkapkan kerentanan dari sistem yang selama ini dijalankan. Dengan mempercepat pertumbuhan energi terbarukan dan jadikan transisi energi sebagai bagian integral dari pemulihan pasca pandemi, berbagai tujuan ekonomi dan sosial akan tercapai,” kata La Camera.

Global Renewables Outlook menunjukkan, fokus investasi energi yang berubah akan meningkatkan lapangan kerja bidang energi terbarukan jadi 42 juta secara global pada 2050, atau empat kali lebih banyak dibandingkan sekarang. Secara keseluruhan, 30 tahun mendatang, pekerjaan energi akan mencapai 100 juta, atau 40 juta lebih dari saat ini.

Berdasarkan laporan IRENA, manfaat lingkungan dan kesehatan, termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, akan terasa di setiap wilayah di dunia. Outlook ini juga menunjukkan, kesejahteraan masyarakat akan meningkat lebih cepat, dengan indikator 13,5% lebih tinggi dengan menerapkan skenario transformasi energi pada 2050.

“Perbedaan utama akan terlihat pada polusi udara lebih rendah, yang membawa pada isu kesehatan lebih baik. Transisi ini menjanjikan kesejahteraan masyarakat.”

 

Limbah PLTU yang mencemari lingkungan. Foto: Koalisi Langit Biru

 

Menurut Andrew Steer, Presiden dan CEO World Resources Institute, outlook IRENA benar-benar menunjukkan, bukan hanya bidang ekonomi yang diuntungkan dari beralihnya penggunaan energi dari fosil ke energi terbarukan. Juga peningkatan kesehatan dan kesejahteraan umum.

“Sebagaimana kita melihat dunia saat ini menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi, kita menghadapi pilihan, mengejar sistem energi modern, bersih, dan sehat, atau kembali ke pilihan usang yang polutif dalam menjalankan bisnis. Kita harus memilih yang pertama,” kata Steer.

Baca juga: PLTU Terdampak COVID-19, Saatnya Kesehatan Warga jadi Pertimbangan Kala Bangun Pembangkit

Hans-Josef Fell, Presiden Energy Watch Group dan penulis draf pertama UU Energi Terbarukan Jerman, menuturkan, ekspansi energi bersih dan terbarukan akan mendorong peningkatan kesehatan global.

Studi bersama antara Energy Watch Group dan LUT University tahun lalu membuktikan, menerapkan 100% sistem energi terbarukan menguntungkan dari berbagai sisi.

“Sekarang pilihan ada di tangan pemerintah dunia untuk mengambil kebijakan lebih berkelanjutan. Setelah harga minyak turun dan krisis ekonomi akibat pandemi Corona, beralih ke 100% energi terbarukan merupakan cara lebih tepat untuk menghadapi krisis iklim,” kata Fell.

 

Lembaga keuangan Jepang setop pendanaan ke PLTU batubara?

Hingga kini, Jepang menjadi satu negara yang masih memberikan pembiayaan untuk bangun PLTU batubara, selain Tiongkok dan Korea. Namun, April lalu tiga lembaga keuangan Jepang memberi sinyal tak akan membiayai lagi pembangunan PLTU batubara baru.

Mula-mula pernyataan keluar oleh Mizuho, sebuah perusahaan jasa keuangan kedua terbesar di Jepang, diikuti Japan’s Sumitomo Mitsui Financial Group Inc (SMFG).

Mizuho menyatakan, akan menyetop penyaluran kredit untuk pembangunan PLTU batubara yang baru pada Rabu (15/4/20). Mizuho juga akan memangkas saldo kredit sektor pembangkit listrik batubara 300 miliar yen atau setara US$2,8 miliar untuk proyek pembangkit listrik batubara pada 2030. Ia akan berhenti membiayai secara total pada 2050.

Langkah Mizuho, diikuti SMFG Jepang pada Kamis (16/4/20). SMFG menyatakan, tak akan lagi memberikan pinjaman kepada PLTU batubara baru mulai 1 Mei.

Menurut data Refinitiv SDC Platinum, tiga bank utama negara ini – SMFG, Mizuho, ​​dan Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) – termasuk di antara lima pemberi pinjaman terbesar di dunia untuk PLTU batubara dan pertambangan selama lima tahun terakhir.

Perubahan kebijakan ini terjadi ketika perusahaan sektor pembiayaan menghadapi tekanan dari aktivis dan kelompok lingkungan untuk membantu mengatasi perubahan iklim yang banyak disumbang PLTU batubara.

Tak lama, pada 22 April, Presiden Bank Jepang untuk Kerjasama Internasional (The Japan Bank for International Cooperation – JBIC), Tadashi Maeda menentang keras kalau dianggap sebagai ‘penjual batubara’. Tadashi menjawab kritik sejumlah pihak kalau JBIC masih memiliki standar ganda dalam memberikan pinjaman bagi PLTU batubara di luar Jepang.

 

Lahan pertanian produktif yang masuk kawasan PLTU Batang. Warga pun tak bisa lagi memanfaatkan kawasan ini. Foto: Greenpeace Indonesia

 

Dalam wawancara dengan media di Jepang 22 April 2020, Tadashi menyampaikan, JBIC berkomitmen tak lagi membiayai proyek PLTU batubara. Tadashi dalam wawancara itu mencontohkan Indonesia sedang mencoba mendorong energi terbarukan. Namun, energi terbarukan, menurut dia tidak stabil yang bergantung pada kondisi cuaca.

Karena itu, JBIC menawarkan solusi beralih ke pembangkit listrik termal liquefied natural gas (LNG), yang lebih sedikit CO2 (karbon dioksida) daripada batubara, untuk mengimbangi.

“Saya akan mengatakan ini berulang kali, tetapi mulai sekarang, kami tak akan menerima proyek untuk proyek PLTU batubara baru. Namun, masih disalahpahami publik bahwa saya berpegang teguh pada PLTU batubara,“ katanya.

Di Indonesia, JBIC mendanai beberapa proyek antara lain, PLTU Cirebon 2 1×1.000 megawatt, PLTU Tanjung Jati B 2×1.000 megawatt, PLTU Kalselteng 2 2×100 megawatt dan PLTU Batang 2×1.000 megawatt.

Tata Mustasya, Koordinator Regional Pengkampanye Iklim dan Energi, Greenpeace SEA, mengatakan, pernyataan JBIC keluar dari pembiyaan PLTU batubara -mengikuti Mizuho dn SMFG- merupakan sinyal jelas bahwa pembiayaan internasional, baik swasta maupun publik makin menjauh dari batubara yang berisiko tinggi secara ekonomi, politik, dan reputasi.

“JBIC harus menunjukkan komitmen konkret dengan menghentikan investasi PLTU batubara di Indonesia dan beralih ke energi bersih dan terbarukan,” katanya.

Indonesia, kata Tata, memiliki potensi energi surya dan angin besar dengan tingkat utilisasi rendah. JBIC juga harus menghindari beralih sementara ke LNG karena akan menghambat dan menunda transisi energi.

“Kewajiban pemerintah Indonesia adalah menyediakan regulasi dan kebijakan mendukung investasi energi bersih dan terbarukan,” katanya.

Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, sulit percaya pernyataan JBIC ini karena masih saja mendanai energi fosil.

Di Indonesia, katanya, mereka masih menyarankan dan mendukung pengunaan PLTU batubara sebagai sumber energi utama untuk listrik.

“Saya beberapa kali bertemu pejabat JBIC, di Indonesia ataupun di Tokyo, tetapi tak pernah ada pernyataan tegas dari JBIC berhenti mendanai batubara, bahkan proyek yang sedari awal bermasalah seperti PLTU Cirebon 2.”

Bila JBIC serius keluar dari pembiayaan batubara, katanya, harus segera hentikan keterlibatan dalam proyek-proyek PLTU di Indonesia.

 

***

Keterangan foto utama: Pengembangan energi terbarukan makin menjanjikan. Foto:Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Pangkalan nelayan Suralaya. Nelayan terdampak dengan ada PLTU batubara. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version