Mongabay.co.id

Krisis Pakan Satwa di Kebun Binatang Dampak Pandemi Corona

Rambo, beruang madu di Gowa Discovery Park . Foto: Agus Madan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Siang itu, akhir April 2020, loket di kompleks wisata Gowa Discovery Park (GDP) cagar budaya Benteng Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tampak lelaki bertopi rimba menjumpai kami.

Suasana sepi. Sejak sebulan terakhir kompleks itu tutup. Petugas penukar karcis dan menempel stempel di tangan sudah tak ada. Hanya beberapa petugas bergantian menjaga ratusan satwa.

Sebuah spanduk tergantung pada sisi luar pagar, menegaskan kalau mereka tutup entah sampai kapan.

“Silahkan masuk,” kata Martinus Sugianto. Separuh wajah tertutup masker. Tugas utamanya, pengawas taman satwa. Di tempat ini ada 600 satwa. Dari mulai aneka jenis burung, primata, reptil, hingga buaya.

Menjaga dan mengawasi satwa-satwa perlu telaten. Pandemi Coronavirus Disease-19 (COVID-19) membuat pengelola merumahkan puluhan karyawan. Bisnis yang mengandalkan kunjungan wisatawan dan hiburan ini di ujung tanduk.

Baca juga: Nasib Satwa di Kebun Binatang Perlu Kebijakan Negara

Mengunjungi taman satwa seluas 12.000 meter persegi itu, seperti melihat peragaan menyayat hati. Ada jeruji besi jadi sangkar. Ada pohon kecil untuk bertengger burung. Ada kolam kecil buat buaya.

Di taman satwa, seperti tempat lain di Indonesia, satwa-satwa diberi nama. Bukan nama dalam famili, marga, atau dari spesies. Satwa itu jadi sahabat para pengunjung. Entah hanya untuk berfoto, atau sekadar dikagumi.

Seperti ketika Martinus menyapa buaya dengan panggilan Ndut. Atau Rambo, untuk pejantan beruang madu. Ucil untuk anoa. Bagi dia, satwa-satwa itu adalah sahabatnya. “Keadaan sedang tak baik,” kata Martinus, persediaan pakan satwa hanya bertahan hingga tiga bulan ke depan.

Pengelola GDP harus memilih jalan terjal. Porsi pakan semua satwa dikurangi, meski klaim tetap mempertimbangkan takaran gizi. “Untuk antisipasi, karena kita tidak tahu tutupnya sampai kapan. Kita nggak tahu, dana kita juga terbatas,” katanya.

“Yang saya khawatirkan, misal, pakan itu kita turunin, nah, pasti akan berpengaruh ke hewannya.”

 

Gowa Discovery Park . Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI) menyurvei, 55 kebun binatang anggota mereka. Sebanyak 92%, berada di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan Kalimantan, hanya memiliki setok pakan hingga Mei. Sisanya, tiga kebun binatang diklaim, mampu menyediakan pakan buat satu hingga tiga bulan ke depan, hanya dua mengaku persediaan pakan mereka lebih tiga bulan.

“Tidak semua kebun binatang menerima uang dari pemerintah. Beberapa secara pribadi dan bergantung pada pendapatan dari penjualan tiket,” kata juru bicara PKBSI Sulhan Syafi’i kepada The Jakarta Post. GDP salah satunya.

Mendekati lima bulan sejak Corona muncul dan menghantam separuh dunia, rantai pasok pangan porak-poranda. Pendistribusian ke hilir dan konsumen tersentak. Ada standar kebersihan baru mesti dilewati. Itupun, bila pasokan tak langka di pasaran.

Pertama, kita susah barangnya (jenis pakan). Kayak ikan mujair untuk pakan pelikan, yang kita pasok dari Pangkep, Maros, sana, terus kayak pepaya, pisang kadang kita juga agak-agak susah,” kata Martinus.

Kedua, anggaran untuk membeli di tengah keterbatasan dana. “Mungkin beda lagi, ada lembaga konservasi yang mungkin dapat suplai dari APBD. Kayak Ragunan, dapat.”

Baca juga: Nasib Primata di Tengah Pandemi COVID-19

Dia contohkan, satwa reptil dengan pakan ayam. “Kemarin, ada beberapa langganan ayam gulung tikar, karena saya lihat juga harga terlalu murah, tapi harga pakan tinggi. Nggak sebanding.”

Di taman satwa, separuh satwa GDP itu dilindungi. Mereka terima pakan dua kali sehari. Di alam liar, populasi mereka tergerus, karena diburu manusia atau habitat berubah fungsi jadi beraham keperluan. Di GDP, satwa tangkar dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Satwa endemik berbagai daerah ada di sini, macam julang Sulawesi (Aceros cassidix), serindit Sulawesi (Loriculus stigmatus), nuri bayan Aru (Eclectus roratus aruensis), dan merak hijau (Pavo muticus). “Kalau julang emas ada lima, julang Sulawesi dua, merak hijau dua, Merak biru satu,” kata Martinus.

 

Burung makaw. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Di GDP, kami berkeliling cukup lama. Sepasang ayam mutiara (Numida meleagris domestica) menyambut. Bagian bokong mereka melenggok saat berjalan seolah tak peduli, mengambil jarak waspada. Bintik-bintik putih kebiruan di seluruh badan berkilau. Balung merah, runcing seperti cula.

Bagian luar ada rangkong dan julang Sulawesi. Populasi penebar benih buah-buahan di hutan itu, kini terancam. Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam (CITES), Rangkong Sulawesi masuk daftar Apendix II. Buah-buahan makanan kesukaan mereka, anak tikus, dan serangga jadi cemilan.

Kawanan lain ada pelikan Australia sedang kumpul di kolam buatan. Inilah salah satu kawanan yang bikin Martinus khawatir dalam situasi pandemi. “Biasanya kan, 12 kg makanan buat kawanan, terus kita turunin pas COVID. Apalagi ada yang lagi mengeram, ada telurnya, itu pasti berpengaruh.”

Tak ada yang tahu, kapan COVID-19 berakhir. Meski sebuah prediksi anyar menuturkan, akhir pandemi di Indonesia Juni 2020. “LK-LK (lembaga konservasi merujuk Ragunan-red) ini kan dapat perhatian dari pemerintah, masalahnya kita, kayak GDP sendiri, kita bergerak di bidang pariwisata. Yang paling kena imbas. Sisi lain kita juga membantu dalam pelestarian satwa,” kata Martinus.

Thomas Nifinluri, Kepala BKSDA Sulawesi Selatan, mengatakan, pandemi Corona ini pukulan serius dalam upaya konservasi, terutama lembaga swasta. “Lembaga (sawsta) ini murni mengandalkan paket wisata dan kunjungan, lembaga yang dibawahi pemerintah memang sudah ada anggaran khusus, jadi tidak akan terganggu,” katanya.

BKSDA memiliki kandang transit untuk satwa. Di Makassar, beberapa kandang ditempatkan di kantor mereka di Jalan Perintis Kemerdekaan. Satwa lain titip di cagar alam Kota Parepare. “Kita akan lihat, dalam waktu dekat, jika memungkinkan dari satwa tangkapan, kalau sehat dan bisa dilepaskan akan pelepasan,” katanya.

BKSDA ingin mengurangi interaksi satwa dengan manusia. “Pandemi ini membawa beragam kekhawatiran. Kita ingin berupaya meminimalisir, kemungkinan munculnya virus lain.”

Thomas bilang, pandemi Corona memaksa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memangkas sekitar 65% anggaran, dialihkan upaya penanganan wabah COVID-19. “Jadi, melalui kementerian di Sumatera, misal, upaya kerjasama dengan Dinas Pertanian dan Peternakan, jika ada pakan bisa disumbangkan untuk lembaga konservasi. Jadi saling bantulah.”

Bagaimana dengan Sulawesi Selatan? “Kami akan membicarakan itu.Kami akan membahasnya.”

Di Sulawesi Selatan, lembaga konservasi swasta ada dua. Gowa Dicovery Park (PT Mirah Megah Wisata) dan Bontomarannu Education Park (CV Citra Satwa Celebes). Dua tempat ini di Kabupaten Gowa. Dalam hasil monitoring BKSDA, antara September-November 2019, satwa di tempat ini ada 659.

Masing-masing untuk GDP, 571 dan Citra Satwa Celebes, ada 88. Saat monitoring, akhir 2019, beberapa satwa mati tetapi tak ada penjelasan alasan kematian.

Di taman satwa GDP, misal, rangkong Sulawesi (Aceros cassidix) pada November mati satu. Bulan sama nuri kepala hitam (Lorius lory lory) juga mati satu. Kakatua raja paruh besar (Probosciger atterimus goliath) juga mati satu.

Mukhlis Amans Hady , Direktur Citra Satwa Celebes, mengatakan, sejauh ini mereka belum berdampak. “Sejak awal kami membangun Bontomarannu Park, tidak khusus wisata. Benar-benar untuk memelihara dan menjaga. Jadi pusat penelitian. Untuk pakan, masih seperti biasa,” katanya.

Bahkan beberapa pakan, katanya, seperti pepaya dan sayur kol, mereka dapat gratis dari petani. “Saya kira paling terdampak pandemi adalah petani. Kami, misal, diberi petani sayur kol berkarung-karung bahkan ada wortel, karena tidak ada pembeli,” katanya.

Bontomarannu Park, memelihara 12 anoa dataran tinggi (Bubalus quarles), juga beberapa rusa dan burung. “Sebagian besar satwa di Bontomarannu pakan masih mudah. Masih aman.”

Kangkareng koleksi Gowa Discovery Park . Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Satwa di Medan Zoo terancam kelaparan

Tak hanya di Sulawesi Selatan, kesulitan pangan satwa terjadi di berbagai daerah, termasuk Medan Zoo, di Sumatera Utara. Setelah penutupan sementara kebun binatang milik Pemerintah Kota Medan ini praktis dana pakan hewan tidak bisa terpenuhi.

Putrama Alkhairi, Direktur Utama Perusahaan Daerah Pembangunan, Pemerintahan Kota Medan, menjelaskan, pembelian pakan satwa-satwa dilindungi dan terancam punah ini tak ada lagi. Biasa manajemen membeli pakan untuk ratusan satwa, dari uang tiket pengunjung.

Berbagai hal mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan pakan satwa-satwa di Medan Zoo, seperti membuka donasi pembelian pakan, ada pula masyarakat datang membawa makanan buat satwa di sana. Meskipun begitu, tak dapat memenuhi kebutuhan ratusan koleksi satwa di Medan Zoo. Biaya pemberian pakan ratusan satwa sekitzr Rp90 juta.

Di Medan Zoo, ada 270 koleksi satwa, termasuk 14 harimau Sumatera dan harimau Benggala, dua orangutan Kalimantan, satu gajah Sumatera. Ada juga satwa endemik lain, termasuk beruang dan burung dari berbagai wilayah di Indonesia.

“Dana Rp90 juta per bulan untuk pakan ratusan satwa tak bisa terpenuhi. Masalah ini sudah kami sampaikan ke Pemerintahan Kota Medan untuk cari solusinya,” kata Putrama.

Dia mengatakan, karena ketiadaan anggaran, sebagian besar pekerja di Medan Zoo terpaksa dirumahkan. Mereka memiliki dua dokter hewan yang terus memantau kesehatan satwa.

“Kami mengajukan pelimpahan pengelolaan Medan Zoo pada Pemerintahan Kota Medan.”

 

 

Pelaksana Tugas Walikota Medan Akhyar Nasution, sudah menerima pengajuan ini. “Kita tunggu apa hasilnya. Yang terpenting, penyelamatan ratusan satwa ini dari kematian.”

Akhyar mengatakan, dampak pandemi COVID-19 ini Kebun Binatang Medan tidak beroperasi, hingga mengalami kesulitan pengadaan pakan hewan.

Tahap pertama, seluruh pejabat Pemerintahan Kota Medan, sudah menyumbang untuk pemberian pakan hewan. Pemerintah Medan juga mencari peraturan-peraturan yang membolehkan menangani masalah di Medan Zoo ini.

Dia menugakan Dinas Pertanian sebagai penanggung jawab pengelolaan akan mengambilalih meneruskan merawat hewan-hewan konservasi di Medan Zoo ini.

“Suratnya sudah ditandatangani dan sudah disposisi ke gugus tugas penanganan Coronavirus Kota Medan, karena yang terjadi merupakan dampak pandemi ini.”

“Bagi masyarakat yang mau menyumbang syukur. Alhamdulillah, silakan, tapi Pemerintah Kota Medan sudah menyiapkan langkah-langkah antisipasi. Ini dampak dari Coronavirus, sudah kita masukkan ke gugus tugas laporannya.”

Setelah penyerahan ke Dinas Pertanian, ke depan akan evaluasi apakah nanti tetap ditangani Perusda Kota Medan lagi atau tidak.

“Terpenting saat ini, menyelamatkan ratusan satwa konservasi itu dari kematian. Yang dibutuhkan pakan untuk mereka.”

 

Merak hijau di Medan Zoo. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Singky Soewadji, Koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI ) mengatakan, kebun binatang adalah lembaga konservasi dengan izin dari KLHK.

Faktanya, malah motif bisnis hingga kebun binatang ada di mana-mana. Dulu peraturan hanya satu di setiap provinsi, berubah jadi satu di setiap kabupaten dan kota. Di lapangan, ada beberapa di setiap kabupaten dan kota walaupun nama berbeda-beda. Ada disebut kebun binatang, taman satwa, taman burung, taman reptil dan lain-lain.

Saat panen di hari libur dan Lebaran, kata Singky, tak ada yang ‘ribut’ karena dapat banyak keuntungan. Saat pandemi menghantam dan harus tutup, baru sebulan setop ratapan berkumandang seakan kiamat terjadi. “Ada yang berteriak tidak mampu memberi makan satwa. Ini sangat aneh.”

Singky bilang, kalau ada lembaga konservasi atau kebun binatang menyatakan tak sanggup lagi mengurus satwa-satwa mereka, tutup saja. Semua satwa, katanya, berstatus milik negara.

Doa menganjurkan, pengelola kebun binatang mengajukan surat kepada KLHK, lalu mengembalikan semua satwa ke pemerintah.

“Berani? Tutup saja kebun binatangnya! Satwa di lembaga konservasi merupakan satwa titipan. Itu milik negara. Kalau kebun binatang tidak sanggup, tutup, serahkan satwa-satwa ke negara.”

KLHK pun, katanya, harus tegas. Mereka berteriak dan merasa tak sanggup, segera cabut izin dan menarik satwa serta membagikan ke lembaga konservasi yang dianggap mampu.

Momen ini, katanya, sekaligus jadi seleksi alam mengurangi kebun binatang atau lembaga konservasi abal-abal di republik ini.

“Ada yang berteriak, sebulan ke depan bakal ada 92% binatang kolaps. Ini jadi pertanyaan besar karena sangat mustahil.”

Dari pantauannya, hanya kebun binatang Medan dan Semarang yang sedikit bermasalah. Meskipun begitu, kedua kebun binatang ini milik pemerintah daerah setempat, pasti teratasi.

Masa’ kalah dengan Kebun Binatang Gembiroloka Jogjakarta justru   sempat mengirim bantuan ke Kebun Binatang Medan dan Semarang?”

 

 

Keterangan foto utama: Rambo, beruang madu di Gowa Discovery Park . Foto: Agus Madan/ Mongabay Indonesia

 

Burung elang di Medan Zoo.. Pengelola Medan Zoo, mulai kesulitan anggaran untuk pakan satwa. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

Exit mobile version