Mongabay.co.id

Mengkritisi Salah Arah Kebijakan Cetak Sawah di Lahan Basah

Beberapa hari lalu (28/04), seperti diwartakan oleh media, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartato menyebut Presiden Joko Widodo telah memerintahkan BUMN untuk melakukan upaya pembukaan lahan baru persawahan di lahan basah dan gambut. Tujuannya untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi akibat dampak pandemi COVID-19.

Provinsi Kalimantan Tengah kembali diarah menjadi wilayah yang disasar. Adapun luasan cetak sawah baru ditarget tidak kurang dari 900 ribu hektar. Tentu, membuat kebijakan antisipasi krisis pangan sebagai dampak COVID-19 adalah hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, namun dengan cara cetak sawah, -terlebih di lahan gambut, jelaslah kebijakan itu salah langkah.

Tulisan ini hendak mengingatkan bahwa keliru dalam memutuskan kebijakan, akan membawa bangsa ini masuk pada lingkaran krisis multidimensi yang tidak berujung.

 

Ilustrasi areal persawahan. Ketahanan pangan harus dibangun dengan tetap memperhatikan lingkungan masyarakat beserta sosial budayanya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perlu Belajar dari Sejarah

Mari sedikit menengok pelajaran dari proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah pada masa orde baru, namun deritanya terus dialami hingga kini.

Sebagai kawasan ekosistem esensial, PLG telah meluluhlantahkan fungsi ekologis dan sosial ekosistem rawa gambut. Proyek cetak sawah PLG gagal total!

Baca juga: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar

Hingga tahun 2019, kebakaran hebat kembali terjadi di lahan gambut. Pengalaman panjang menghadapi tragedi kebakaran hutan dan lahan gambut, telah membawa keselamatan hidup rakyat terus terancam dengan kabut asap setiap tahunnya dan hancurnya fungsi ekologis yang tidak bisa dipulihkan seperti sedia kala.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 15 September 2019, menunjukkan ada 2.862 titik api dengan total luas lahan yang terbakar 328.724 hektar.

WALHI mencatat, sebanyak 36.952 titik api berada di Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) sepanjang tahun 2019. Dengan catatan ini, apakah tidak pernah dipikirkan bagaimana keselamatan rakyat akan semakin bertambah buruk, terlebih di tengah pandemi.

Kebakaran di lahan gambut juga telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang emisi gas rumah kaca, dan dampak turunannya akan semakin berat ke depan, termasuk lagi-lagi krisis pangan.

Dalam kajian WALHI tentang Kejahatan Ekosida; Memutus Impunitas Korporasi (Mei 2019), kebakaran hutan dan lahan gambut telah memenuhi unsur sebagai sebuah kejahatan ekosida dengan melihat keberulangan peristiwa, dengan dampak yang masif dan kumulatif dan diakibatkan dari kebijakan negara, yang artinya telah terpenuhi unsur terencana.

Komnas HAM sebagai lembaga HAM negara juga menilai negara telah gagal menjamin hak hidup, hak kesehatan, serta hak atas atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Rezim pertumbuhan ekonomi pada akhirnya selalu membuat pemimpin menjadi kreatif dengan ide-ide pembangunan, tapi destruktif. Kebijakan penguasaan lahan diprioritaskan bagi kepentingan investasi dan proyek-proyek infrastruktur skala besar.

Baca juga: Potret Kehidupan Warga di Lahan Gambut Kalteng

Deretan angka penghancuran ruang hidup rakyat, lahan pertanian dan pangan diubah menjadi industri ekstraktif tambang dan perkebunan monokultur sawit dan kebun kayu atau hutan tanaman industri.

Hutan dilihat sebagai komoditas kayu semata, bukan sebagai lumbung pangan bagi masyarakat adat. Sebagai contoh, hamparan hutan sagu sebagai penyangga pangan bagi orang Papua dan Maluku semakin hilang akibat ekspansi perkebunan sawit. Lagi-lagi atas nama investasi dan pembangunan.

 

Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng eks areal PLG pada tahun 2012. Foto: Greenpeace

 

Koreksi Mendasar

UN Environment Programme  (UNEP) telah mengingatkan kemunculan penyakit zoonosis disebabkan oleh aktivitas intensifikasi pertanian, industrialisasi dan penghancuran hutan dan lahan. Dan kini penduduk bumi dihadapkan pada ketidakpastian akan keselamatan hidupnya dari pandemi COVID-19 dan krisis iklim.

Situasi ini seharusnya menjadi momentum bagi para pemimpin dunia, termasuk Indonesia untuk mengambil langkah-langkah fundamental untuk mengoreksi secara mendasar kebijakan ekonomi dengan paradigma pertumbuhan (growth).

Dalam konteks ekonomi, WALHI menawarkan ekonomi nusantara sebagai jalan pemulihan dari krisis multi dimensi. Ekonomi nusantara diyakini akan menciptakan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Bukan hanya mengkritisi, tulisan ini juga menawarkan solusi kepada pemerintah untuk mengatasi ancaman krisis pangan. Tanpa ragu tulisan ini menawarkan solusi untuk segera menjalankan agenda Reforma Agraria.

Selain sebagai upaya penyelesaian konflik, reforma agraria menjadi jalan menuju kedaulatan pangan dengan meletakkan tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan konsumsi kepada pemangku kepentingan terbesar, yakni rakyat.

Segera redistribusi tanah-tanah yang selama ini dikuasai oleh korporasi kepada petani tak bertanah dan buruh tani, dan ini bisa dimulai dari tanah-tanah terlantar, HGU yang berkonflik dengan rakyat dan melanggar hukum/aturan, termasuk tanah yang dikuasai oleh perusahaan negara.

Bukankah Reforma Agraria adalah janji pak Presiden sendiri? Maka, tunaikanlah.

Krisis ini sekaligus menjadi momentum bagi pemerintah untuk segera mengubah politik pangan. Dari sistem pangan atau pertanian dari berbasis industri ke sistem pertanian yang berbasiskan pada pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat dengan keragaman pangan yang dimilikinya, yang terbukti memiliki daya lenting yang lebih tinggi dari terpaan krisis.

Yang tidak kalah mendesak dilakukan segera oleh Presiden adalah memerintahkan jajarannya untuk secara serius melakukan pemulihan pada kawasan ekosistem esensial yang telah dihancurkan seperti ekosistem rawa gambut, ekosistem karst dan pesisir laut.

Dan itu semua tidak bisa dilakukan oleh Presiden dengan cara business as usual. Yang artinya, Presiden juga sudah waktunya untuk menghentikan kebijakan yang akan menghancurkan lingkungan hidup dan mengancam keselamatan rakyat. Diantaranya RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU Minerba yang hingga saat ini pembahasannya masih berjalan di Senayan.

Tanpa itu, mengatasi krisis pangan tak lebih hanya menjadi tindakan yang karitatif.

 

* Khalisah Khalid, penulis adalah Koordinator Desk Politik Eksekutif Nasional WALHI. Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

Exit mobile version