Mongabay.co.id

Walau Bukan Sentra Beras, Maluku Utara Kaya Sumber Pangan Lokal

Abu Bakar (30), saat memindahkan tanaman sagu yang sudah di tebang. Dia mengaku, berbekal gergaji mesin dalam sehari bisa menebang rata-rata 100 tanaman sagu. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Maluku Utara, masih mengandalkan pasokan beras dan jagung dari daerah lain, terutama Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Banyak pihak mengkhawatirkan kalau pandemi Coronavirus Disease (CoVID- 19) berkepanjangan, tak hanya darurat kesehatan juga pangan. Meskipun begitu, pangan tak hanya beras atau jagung, Maluku Utara, kaya sumber karbohidrat lain seperti sagu, ubi, keladi, singkong, pisang, sukun dan lain-lain.

Data Pemerintah Malut melalui Dinas Tanaman Pangan menyebutkan, dari data penduduk 2017, sebanyak 1.275.831 jiwa, konsumsi beras per orang per hari 0,3 kg, satu tahun 109,5 kg beras atau 131.400 ton perorang per tahun.

Produksi beras Malut 2016, terutama ada Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Utara dan Halmahera Barat, sebanyak 50.451 ton, selisih ketersediaan 80.949 ton, jadi harus mendatangkan dari daerah lain.

Malut, memiliki ketersediaan pangan lokal, seperti sagu, pisang, dan kelompok ubi-ubian. Sebenarnya, dulu makanan pokok Malut itu sagu, tetapi karena ‘berasisasi’ pangan-pangan lokal pun berganti beras.

Data peta ketahanan dan kerentanan pangan (food security and vulnerability atlas/FSVA) Dinas Ketahanan Pangan, menunjukkan, ada kabupaten atau kota di Malut dengan kondisi pangan rawan. Daerah itu tak mampu produksi, mengharapkan pasokan luar daerah, terutama beras.

Hasil analisis FSVA, dari data produksi Dinas Pertanian kabupaten dan kota pada 2018, produksi gabah padi 106.113 ton, jagung 301.973 ton, ubi kayu 151.685 ton, ubi jalar 74.745 ton. Pemerintah Malut mengklaim, pada 2018 merupakan produksi tertinggi selama rentang 2016-2018. Dari empat produksi pangan, jagung penyumbang produksi terbesar untuk sumber pangan karbohidrat karena program ekstensifikasi cukup besar untuk jagung. Halmahera Utara, merupakan penghasil produksi cukup besar dibandingkan kabupaten lain. Produksi terendah di Pulau Taliabu, dan Kota Ternate dan Tidore Kepulauan.

“Untuk perkotaan minim produksi karena luas lahan turun, tinggi kecenderungan petani menanam komoditas selain serealia seperti hortikultura, serta makin meningkat permintaan lahan pemukiman dan perkantoran,” kata Saleh A Gani, Plt Kepala Dinas Tanaman Pangan Malut.

Kabupaten baru, yakni Pulau Taliabu, sebagai daerah pemekaran memerlukan program peningkatan ketahanan pangan masyarakat.

Berdasarkan data produksi padi 2016-2018 dari Dinas Pertanian kabupaten/kota, Halmahera Utara dan Halmahera Timur, sebagai kabupaten penghasil padi. Halmahera Utara dan Halmahera Barat sebagai kabupaten penghasil jagung.

 

Pangan pokok, tak hanya beras. Foto: AMAN Malut

 

Program memperluas luas tanam dan peningkatan produktivitas jagung cukup besar rentang waktu 2016-2018. Untuk ubi kayu sebagai makanan pokok lain, produksi produksi terus menurun, kecuali di Halmahera Barat dan Halmahera Utara. Hal ini karena sebagian masyarakat terutama usia muda tak terlalu menyukai pangan lokal.

“Karena kondisi ini kita rekomendasikan ada kampanye dan program peningkatan keragaman pangan pada kelompok usia sekolah agar dapat meningkatkan konsumsi dan permintaan serta produksi,”katanya.

Malut, katanya, bukanlah provinsi produksi utama tanaman pangan beras dan jagung. Dari peta itu menunjukkan, sebagian besar wilayah di daerah defisit pangan dengan masalah kondisi iklim, kesesuaian lahan, bencana berulang kekeringan, banjir, dan lain-lain.

“Ini faktor-faktor kendala kemampuan daerah yang mengalami defisit pangan pokok. Terutama kecamatan-kecamatan di kabupaten/kota yang bukan sentra produksi pertanian.”

Kecamatan yang mengalami defisit produksi pangan pokok, katanya, memiliki potensi sumberdaya lain yang dapat memberikan pendapatan daerah hingga dapat memenuhi keperluan pangan pokok dari daerah surplus.

Aksesibilitas terutama daerah kepulauan jadi kendala. Ia memicu ketergantungan penduduk memenuhi kebutuhan pangan dari luar daerah sangatlah tinggi.

 

Pertambangan, deforestasi dan perubahan iklim

Dari analisis peta keamanan dan kerawanan pangan dapat terlihat keseluruhan kecamatan di perkotaan mengalami defisit pangan pokok. Saleh bilang, Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan, misal bukan penghasil pangan.

Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula, memiliki kecamatan terbanyak defisit pangan pokok. Halmahera Barat, Halmahera Timur, Halmahera Utara dan Pulau Morotai, sebagian besar kecamatan surplus produksi pangan pokok.

Penyebab defisit pangan antar kecamatan juga bervariasi. Berdasarkan analisis ini , karena perluasan areal perkebunan kelapa, cengkih dan pala. Selain itu juga pertambangan terbuka, sistem produksi padi lahan kering produktivitas rendah, dan ketersediaan lahan kurang untuk bercocok tanam dibandingkan kepadatan penduduk.

“Banyak daerah yang sebelumnya surplus pangan pokok mengalami bencana alam karena deforestasi, kekeringan atau banjir akibat dampak perubahan iklim ataupun urbanisasi. Ini akan mengancam keberlangsungan produksi Malut saat ini dan mendatang.”

 

Pisang juga sumber karbohidrat. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Agung Hendriadi, Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian saat berkunjung ke Malut, mengatakan, provinsi ini tidak semua rawan pangan, hanya di beberapa kecamatan berwarna merah di peta.

Untuk itu, katanya, perlu intervensi dengan memperbaiki sistem logistik, misal, membangun jalan dan transportasi, kemudian mengajak masyarakat memproduksi bahan pangan sendiri, serta bantuan pupuk dan modal. Untuk itu, katanya, harus melibatkan dinas atau instansi daerah terkait karena berkaitan satu sama lain.

Dia bilang, ada sembilan intervensi yang dikelompokkan jadi tiga, yaitu, ketersediaan, akses dan perawatan pangan. “Penekanan memberikan modal tapi modal tidak bisa dikembalikan. Cuma harus konsisten. Misal, dia tanam lalu produksi dan tanam kembali. Jadi, anggaran ini langsung kepada kelompok tani, bukan dinas.”

Saleh mengatakan, mengurangi kerentanan dan kerawanan ini, akan mengefektifkan fungsi dan peran Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Malut. Pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, katanya, juga didorong meningkatkan perhatian dalam alokasi anggaran dan program untuk kabupaten atau kecamatan yang jadi titik perhatian.

Program peningkatan penyediaan pangan di daerah non sentra produksi, katanya, dengan mengoptimalkan sumberdaya pangan lokal. Juga pendidikan atau pola pikir soal penyediaan gizi bagi keluarga, peningkatan akses air bersih, dan program kesadaran gizi maupun kebersihan lingkungan.

Mengenai ketersediaan dan kerawanan pangan, Pemerintah Malut, melalui Dinas Pangan, telah mendesain beberapa kegiatan prioritas jangka pendek, seperti, pengembangan ketersediaan dan penanganan rawan pangan dengan koordinasi dan penyusunan peta kerentanan pangan. Juga penanganan daerah rawan pangan, pengembangan kawasan pulau terluar, pembinaan dan pengemban cadangan pangan serta menyiapkan informasi ketersediaan pangan lokal.

Untuk rencana jangka menengah dan panjang, katanya, gubernur telah menandatangani perjanjian kerjasama (PKS), tentang Percepatan Pengentasan Daerah Rentan, Rawan Pangan dengan Badan Ketahanan Pangan Nasional (BKP) Kementerian Pertanian, pada 5 Februari 2020.

Perjanjian itu, katanya, jadi landasan rencana aksi daerah untuk pengentasan daerah rawan pangan di Malut.

Ada juga dukungan APBN untuk pengentasan daerah rentan rawan dan identifikasi daerah rentan rawan pangan berbasis kecamatan. Kementerian Pertanian, katanya, mendorong masyarakat di daerah rentan atau rawan pangan mampu menyediakan pangan beragam sendiri yang bergizi seimbang dan aman melalui pertanian keluarga berbasis kecamatan. Juga, pertanian masuk sekolah (PMS), pengembangan lumbung pangan masyarakat, dan pekarangan pangan lestari (P2L). Berbagai kegiatan ini, dana bersumber dari APBN.

 

Tepung sagu siap bakar. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Erna Rusliana M. Saleh, Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Cabang Ternate sekaligus pengurus pusat, memberikan beberapa catatan atas rekomendasi pemerintah Malut.

Menurut dia, hasil ini belum tentu mewakili fakta lapangan, masih perlu pendalaman. Beberapa hal, katanya, perlu mendapat perhatian terkait pengambilan data, sumber data, metode pengambilan data, siapa sumber, dan instrumen.

“Sejauh ini, kita belum pernah mendengar ada masyarakat di Maluku Utara kelaparan karena kesulitan mengakses pangan. Ini karena alam Malut berlimpah produksi baik pangan sumber karbohidrat (selain beras-red) maupun sumber protein,” katanya.

 

Malut kaya sumber pangan

Sumber pangan yang jadi analisis Pemerintah Malut, katanya, bukan hanya beras dan jagung, juga ubi-ubian. “Kalau beras dan jagung memang kita belum termasuk daerah penghasil beras lokal yang besar dibanding Sulawesi dan Jawa. Untuk ubi-ubian Maluku Utara cukup mandiri sebagi penghasil ubi-ubian lokal yang besar,” katanya seraya bilang, ada beragam ubi-ubian lokal dapat jadi sumber karbohidrat, seperti, singkong, ubi jalar, talas, gadung, dan banyak lagi.

Selain itu, terdapat sumber karbohidrat lain yang cukup berlimpah di Malut, yakni, sagu, pisang dan sukun. Pangan-pangan ini, katanya, dapat jadi pengganti beras. Selain ragam pangan ini, kalau dibandingkan beras, memiliki indeks glikemik atau pengolongan makanan yan mengandung karbohidrat lebih rendah dari beras, hingga lebih menyehatkan, terutama bagi penderita diabetes.

Indeks glikemik nasi termasuk tinggi, antara 88– 89, singkong di bawah 55, ubi jalar 54, talas sekitar 54. Jadi, katanya, selain dapat jadi sumber karbohidrat juga menyehatkan.

Bagi dia, seharusnya sagu tidak diabaikan sebagai sumber pangan pokok utama Malut, karena termasuk di antara daerah penghasil besar di Indonesia. Berdasarkan data Dirjen perkebunan pada 2019, produksi sagu Malut sekitar 1.403 ton, naik dibanding tahun 2018, sebanyak 1254 ton.

Dari segi kemampuan memberikan asupan karbohidrat, sagu mengandung 84 gram karbohidrat per 100 gram. Ia sumber energi sangat bagus.

Dia kilas balik kebijakan pada 1980-an, pengalihan konsumsi pangan pokok lokal ke beras. Saat ini, katanya, sudah mulai menghidupkan kembali ke pangan pokok lokal. Fakta lapangan warga di Malut, katanya, sudah jadi kebiasaan dalam berbagai momen tertentu di keluarga atau tempat kerja kota maupun desa, mengkonsumsi sagu olahan jadi popeda maupun kobong.

Bahkan, ada tradisi di beberapa daerah, pada Jum’at, tersaji makanan kobong terdiri dari papeda, rebus-rebusan ubi-ubian dan pisang, lalapan sayur serta kuah ikan. Tradisi ini, katanya, untuk mengistimewakan hari itu, setelah hari-hari lain mengkonsumsi beras.

Soal sumber karbohidrat, lebih aman kalau jenis pangan rekomendasi sebagai bagi masyarakat Malut bukan hanya Beras, jagung dan ubi-ubian. Juga semua pangan yang dapat jadi sumber asupan karbohidrat bagi masyarakat, seperti sagu, pisang, sukun, dan lain lain.

Dosen Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Khairun ini mengatakan, kalau problem pada kebiasaan masyarakat pada beras, dapat lakukan gerakan kembali ke pangan lokal. Hal itu tidak sulit bagi masyarakat Malut, katanya, karena sudah jadi tradisi mengkonsumsi pangan non beras.

Selain itu, telah dilakukan berbagai penelitian yang mengkonversi sagu, ubi-ubian dan sumber karbohidrat lain jadi macam beras dengan nama beras analog. Beras analog ini memiliki bentuk seperti beras namun bahan baku berasal sumber karbohidrat selain sagu.

Ada beberapa penelitian di Prodi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Khairun tentang beras analog beberapa tahun lalu.

Pangan jenis ini dapat jadi pilihan selain beras yang minim pasokannya. Ada juga riset yang memanfaatkan sagu, cakalang dan pisang mulu bebe diolah jadi pangan darurat dalam bentuk food bar (produk pangan padat berbentuk batang dan campuran berbagai bahan kering seperti sereal, kacang-kacangan, buah-buahan kering digabung jadi satu). Food bar, katanya, dapat jadi alternatif pangan ketika bencana seperti pandemi ini.

 

Jagung, salah satu sumber karbohitdrat. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Masa pandemi

Menghadapi pandemi Corona ini, Erna meminta pemerintah harus bersiap mengantisipasi berbagai kemungkinan. Ada beberapa hal dapat dilakukan masyarakat dan pemerintah daerah, katanya, baik mikro serta makro.

Pertama, pendekatan mikro, masyarakat harus mandiri memproduksi pangan pokok, sayur mayur dan rempah-rempah dengan memanfaatkan lahan mereka. Kalau lahan minim dapat gunakan sistem hidroponik, pot, polybag, plastik susun vertikal atau digantung hingga mengefisienkan lahan.

Untuk pemerintah daerah dapat mengupayakan lahan produksi milik daerah guna hasilkan pangan intensif, baik bahan pokok seperti beras, jagung, pisang, ubi-ubian, sagu, dan lain-lain, maupun pangan tambahan seperti sayur-mayur, buah dan rempah sebagai cadangan pangan.

Pemerintah lewat dinas terkait, katanya, dapat mendukung dengan berbagai subsidi berupa modal, sarana produksi pertanian (saprotan), teknologi pendukung atau pendampingan kepada petani guna penanaman pangan pokok.

Untuk teknologi, katanya, guna meminimalisasi dampak wabah bagi petani seperti pakai drone, sensor, dan lain-lain. Juga perlu menerapkan teknologi pengawetan yang sesuai untuk pangan pokok hingga dapat tersimpan dalam jangka panjang. Dia contohkan, dengan teknologi pengeringan, penambahan garam dan gula tinggi, pengasaman, fermentasi, pemberian bahan tambahan, pengemasan dan penyimpanan yang tepat.

Kedua, pendekatan makro. Jadi, perlu penguasaan rantai pasok pangan agar tak dikuasai swasta atau korporasi tertentu hingga menghindari penimpunan dan permainan harga. Kondisi ini, katanya, akan menjamin pemenuhan pangan tanpa intervensi dalam keadaan apapun.

Saat ini, katanya, terjadi distorsi pasar yang muncul oleh spekulan, mafia atau kartel karena penguasaan setok pangan di mereka hingga leluasa mengendalikan harga.

Pemerintah daerah, katanya, dapat membeli produksi pertanian petani atau swasta sebagai cadangan daerah untuk keperluan masyarakat selama wabah. Ia bisa jadi setok saat suplai minim. Dalam hal distribusi, katanya, Pemerintah Malut perlu menyiapkan sarana dan prasarana logistik yang memadai ke daerah yang terkena wabah.

Senada dengan Erna, Asgar Saleh, Direktur LSM Rorano Maluku Utara, mengatakan, Malut kaya sumber pangan sebenarnya tak perlu terlalu khawatir.

Namun, katanya, pemerintah daerah mesti memiliki skema optimasi produk pagan lokal. Singkong, pisang, ubi jalar dan lain-lain, katanya, bisa produksi dalam jangka pendek. “Sayuran, daging, talor itu juga jangka pendek. Tinggal bagaimana menggerakkan warga menanam. Mau ikan juga di Malut melimpah.”

Memang, katanya, perlu ada substitusi antardaerah. “Itu penting dipikirkan. Daerah mana menanam padi, daerah mana menanam sayur, mana singkong, mana daerah punya peternakan ayam. Nah, ini perlu ada pembagian tugas dan peran tiap daerah yang dimulai dari sekarang.”

Pandemi Corona ini, katanya, mesti ambil hikmahnya. Selama ini, mengimpor berbagai bahan pokok hingga neraca perdagangan defisit tiap tahun menyebabkan inflasi tinggi. “Ini saatnya membangun kemandirian. Perlu ada perbaikan skema. Saatnya pemerintah daerah, kita semua mulai hidup dengan produk lokal. Uang juga berputar dalam daerah. Giliran petani nelayan dan pedagang jadi makmur,” katanya.

Baginya, skema ekonomi versi pemerintah saat ini hanya melindungi para cukong kaya yang takut barang tak laku.

Jadi, katanya, yang mesti ada intervensi pemerintah provinsi adalah pasar bagi orang yang menanam kemudian.

 

Srikaya dari Sumenep. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Petani srikaya

Kalau di Malut, membahas pangan pokok beras dan jagung minim padahal kaya sumber pangan lokal, di Sumenep, Madura, Jawa Timur, masa pandemi ini petani buah srikaya terdampak permintaan menurun.

Sujipto, petani srikaya dari Desa Tanah Merah, Bluto, Sumenep, mengatakan, pada masa pandemi ini ada penutupan akses hingga distribusi buah berkurang. “Padahal srikaya tidak tahan lama… cepet busuk, apalagi kena hujan,” katanya. Biasa dia dari kebun, langsung jual ke pengepul

Belum lagi, katanya, saat panen, buah belum semua terbeli pengepul atau pedagang besar. Pengepul akan memilah-milah terlebih dahulu. Biasa, satu sarajhu’ (isi 60 biji) seharga R40.000–Rp60.000.

Mun tapojur olle pa’ polo ebuh, ye kadhang burnyo, du are ta’ pajuh. Ye mun lambe’ ghik tak osom Corona, sorbhajha’an, motoran, posoan. (Kalau mujur bisa mendapat hasil Rp40.000, kadang rusak karena dua hari tidak laku. Kalau dulu, masih belum musim Corona, yang dikirim ke Surabaya, bermobil-mobil).”

Sujibto bilang, srikaya tidak bisa bertahan lama, paling lama dua hari. Kalau ada pedagang ingin kirim ke Jakarta, misal, harus membawa buah setengah matang. Ketika sampai ke Jakarta, tidak rusak dan siap konsumsi. Bila sudah matang, katanya, hanya mampu bertahan satu hari.

Maryam, distributor srikaya dari Madura ke Surabaya, tetap beraktivitas di masa pandemi ini. Pedagang asal Camplong, Sampang, ini sudah menekuni bisnis buah selama 20 tahun.

Setiap hari dia membeli srikaya ke para pedagang kecil di beberapa daerah di Madura, seperti Sumenep, Sampang, Pamekasan, bahkan Lamongan.

Dalam setiap hari, membawa srikaya ke Surabaya sesuai ketersediaan barang, antara 30-40 kotak kayu khusus buah.

Dia membeli per satu keranjang srikaya kepada pedagang kecil, harga sesuai kualitas, besar atau kecil. “Kisaran di bawah Rp100.000, atau Rp100.000 kalau barang bagus.”

Per hari, dia bisa untung sampai Rp3 juta. “Paleng sakoni’en ye lemaratos ka sajutah (paling sedikit Rp500.000 sampai Rp1 juta).”

Siti, juga distributor srikaya dari Madura ke Surabaya, dalam satu kali kirim bisa membawa satu sampai dua truk dari Madura, per truk sekitar 150 keranjang besar buah.

Saat mengangkut dagangan, dia disemprot cairan disinfektan di perbatasan Sumenep, di Tangkel, Bangkalan, dan Suramadu.

Widiarti, Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat Polisi Resor (Humas Polres) Sumenep, mengatakan, di Sumenep ada empat pos pantau penanganan Virus Corona, terutama di perbatasan, Pragaan, Guluk-guluk, Kalianget, dan Pasongsongan.

“Di pos itu, bilik sterilisasi ada, kemudian alat penyemprot disinfektan ada, kemudian … perlengkapan APD (alat perlindungan diri-red), termasuk petugasnya.”

 

***

Srikaya banyak tumbuh di berbagai daerah di Madura, namun, ada beberapa perbedaan dari bentuk maupun rasa. Maryam bilang, dari pasokan yang didapat, srikaya Sumenep kualitas paling bagus, rasa lebih manis dan daging buah lebih tebal, biji lebih tipis dari daerah lain.

“Kalau dari Lamongan, besar biji.”

Sujibto, bilang, srikaya berbuah hanya musim hujan, dari masa berbunga sampai berbuah perlu lima bulan baru masuk panen.

 

***

Keterangan foto utama: Sagu, satu pangan pokok lokal sumber karbohidrat. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Srikaya di pedagang. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version