Mongabay.co.id

Virus Corona dan Kesehatan Mental Kita

 

Fokus dunia saat ini tercurah pada penanganan virus corona, khususnya aspek kesehatan. Namun, sangat sedikit yang membahas bagaimana kondisi psikologis manusia saat ini, di tengah pandemi COVID-19, yang begitu kencang memberi tekanan mental.

Kita tidak bisa melihat secara kasat mata di mana virus itu berada. Bisa jadi, kita telah membatasi secara ketat interaksi sosial dengan orang lain, namun masih juga terinfeksi melalui benda-benda yang tidak kita sadari telah terpapar. Seperti pada uang, makanan yang kita beli, atau gagang pintu yang sempat kita pegang entah di mana.

Karena itu, kita harus sering mencuci tangan ataupun melumurinya dengan alkohol. Kita terpaksa memakai masker dalam jangka waktu lama –yang kadang membuat sesak untuk bernapas. Beserta hal-hal lain yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan bakal serumit ini.

Kita tidak tahu kapan situasi ini berakhir. Di rumah terus dalam jangka waktu, juga membosankan. Semakin hari, kondisi ini membuat kita gamang, sedih, cemas, dan stres. Ujung-ujungnya, kecemasan dan stres justru menekan sistem kekebalan tubuh dan membuat kita mudah sakit.

 

Virus corona yang mewabah dan menimbulkan kecemasan masyarakat dunia. Ilustrasi virus corona: Alissa Eckert & Dan Higgins/Centers for Disease Control and Prevention

 

Dilansir dari The Ecologist [09/4/2020] Dr. Amy Pollard, pendiri dan Direktur Mental Health Collective, mengatakan bahwa dengan orang-orang di seluruh negeri dipaksa tinggal di rumah mereka dan mengorbankan kebebasan pribadi yang kita terima begitu saja, kesehatan mental kolektif kita berada di bawah ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Alam menenangkan kita dan mengurangi kecemasan. Jadi, kita mengumpulkan ide-ide dan sumber daya mendukung orang untuk terhubung dengan alam, dengan cara apapun yang mereka bisa,” tuturnya.

Atas dasar itu Royal Society for the Protection of Birds, The Wildlife Trusts, National Trust, World Wide Fund for Nature, the Wilderness Foundation, Nature Friendly Farming Network, The Climate Coalition, Mental Health Collective dan Jordans Cereals membuat kampanye mengakses dosis alam harian yang dapat menjaga kesehatan manusia selama pandemi. Kampanye ini telah diluncurkan sejak hari libur Paskah, di mana cuaca cerah biasanya membuat orang-orang ke luar untuk menikmati udara segar. Tetapi dengan saran penting Pemerintah untuk tinggal di rumah dan membatasi perjalanan, itu bisa menjadi tantangan untuk melakukan aktivitas ini.

Koalisi menyusun serangkaian aktivitas sederhana agar kita mendapatkan vitamin alam. Sebut saja berjemur, membangun hotel bug [sejenis rumah serangga] di ambang pintu, mendengar kicauan atau mengamati burung dari jendela, menanam pohon dan bunga-bungaan. Atau, paling tidak menaman beberapa biji sayuran pada nampan, hingga menyelipkan gerakan-gerakan hewan dalam pose yoga yang Anda lakukan di rumah, untuk dicoba oleh anggota keluarga selama isolasi.

Isolasi di rumah menekan grafik penyebaran virus, sementara kegiatan yang digalakkan dalam kampanye vitamin alam ini menguatkan kondisi psikis sehingga dengan itu imun tubuh juga kuat.

CEO The Wildlife Trusts, Craig Bennett, berpendapat bahwa, “Setiap orang harus memiliki kesempatan untuk mengalami kegembiraan di kehidupan liar dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dampaknya terhadap kesehatan dan kesejahteraan kita terbukti baik –kontak dengan alam dapat mengurangi stres, kelelahan, kecemasan dan depresi.”

 

Menghabiskan waktu di alam membantu orang merasa lebih bahagia dan terhubung dengan lingkungan sekitar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pengaruh alam bagi kesehatan tubuh

Berhubungan dengan alam sejak lama telah diketahui memiliki manfaat pada kesehatan tubuh. Dalam artikel ilmiah berjudul View Through a Window May Influence Recovery From Surgery [diterbitkan Jurnal Science, Vol. 224: Issue 4647: 1984] para peneliti Pennsylvania menemukan ada pengaruh kuat antara alam [nature] dengan kesehatan tubuh seseorang.

Meleka melakukan sebuah eksperimen. Dua puluh tiga pasien bedah yang ditempatkan pada sejumlah kamar dengan jendela-jendela menghadap ke pemandangan alami, memiliki masa inap lebih pendek di rumah sakit pasca-operasi.

Para pasien ini menerima lebih sedikit komentar evaluasi negatif dalam catatan perawat, dan menggunakan lebih sedikit analgesik [obat penghilang rasa sakit] –dibanding dua puluh tiga pasien bedah yang ditempatkan pada kamar serupa namun jendelanya menghadap dinding bata.

Peneliti lain, Miles Richardson, profesor psikologi dari Universitas Derby, Inggris, memiliki tesis bahwa peningkatan kesehatan dipengaruhi oleh peningkatan kebahagiaan, tetapi hubungan ini dimediasi peningkatan koneksi ke alam. Jadi, menghabiskan waktu di alam membantu orang merasa lebih bahagia dan lebih terhubung. Menjadi bahagia dan terhubung membuat orang merasa lebih sehat.

Richardson bersama Kirsten McEwan, Frances Maratos dan David Sheffield [mereka semua ahli dari departemen psikologi Universitas Derby] dalam artikel Joy and Calm: How an Evolutionary Functional Model of Affect Regulation Informs Positive Emotions in Nature [diterbitkan Jurnal Ilmu Psikologi Evolusi, volume 2: 2016] menunjukkan bagaimana alam mengatur emosi dan hati manusia. Manusia mengalami tiga dimensi yaitu ancaman, dorongan, dan kepuasan.

Setiap dimensi membawa perasaan berbeda [seperti kecemasan, kegembiraan, dan ketenangan], serta motivasi berbeda [menghindari, mengejar, dan beristirahat], yang masing-masing melepaskan berbagai hormon dalam tubuh. Ketika respons ancaman kita terlalu aktif, misalnya karena wabah corona ini, emosi positif kita berkurang dan kita bisa menjadi cemas atau tertekan.

 

Laut, karang, dan hutan yang indah di Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Alam yang lestari akan membuat mental dan kehidupan manusia lebih sehat. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Untuk kesejahteraan, kita membutuhkan keseimbangan tiga dimensi; kebahagiaan dan kepuasan yang datang dengan menyeimbangkan ancaman, dorongan, dan kepuasan. Richardson et al menganalisis bagaimana tubuh bereaksi terhadap aktivitas di alam dibandingkan dengan aktivitas yang sama di lingkungan perkotaan. Shinrin-yoku atau tradisi berjemur dari hutan Jepang merupakan bahan analisisnya.

Hasil tersebut menunjukkan, berada di hutan itu menenangkan, mengaktifkan sistem saraf parasimpatis yang terkait dengan kepuasan. Sedangkan lingkungan perkotaan, menstimulasi sistem saraf simpatik yang terkait dengan dorongan dan ancaman.

Ancaman, dorongan dan kepuasan, dalam kaitannya dengan pikiran dan tubuh kita, mudah dipahami dalam konteks kehidupan sehari-hari. Terdapat narasi berbasis fisiologis yang dapat diakses untuk membantu menjelaskan manfaat alam. Penjelasan neurofisiologis dan evolusi seperti itu memberikan argumen tentang peran, dan kebutuhan akan alam dalam kehidupan kita sehari-hari [Richardson, 2017].

Bagaimana kebutuhan akan alam dalam kehidupan kita sehari-hari dapat terpenuhi? Silahkan baca lebih lanjut buku Richard Louv, The Essential Guide to a Nature-Rich Life: 500 Ways to Enrich Your Family’s Health & Happiness. Itu adalah panduan untuk kehidupan yang kaya alam dan menjadi buku terlaris versi New York Times.

Semua ini bisa sangat bernilai namun dengan satu catatan. Tentunya, manfaat alami untuk mental, kognisi, dan kesehatan kita tidak akan relevan jika kita terus merusak alam sekitar.

 

* Tri Wahyuni, Pemerhati lingkungan hidup, berkegiatan di Institute for Population and National Security. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version