Mongabay.co.id

Begini Dampak Pandemi Bagi Masyarakat di Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Timur

 

Perairan di Indonesia timur tidak hanya perairan umum dimana nelayan menangkap ikan, tetapi juga terdapat kawasan konservasi perairan. Ada delapan kawasan perairan di Indonsia timur yanag dikelola oleh Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang.

Kawasan tersebut  meliputi Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu, Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra, TWP Kepulauan Kapoposang, TWP Laut Banda, TWP Padaido, Suaka Alam Perairan (SAP) Raja Ampat, SAP Waigeo Sebelah Barat, dan SAP Aru Bagian Tenggara.

Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang Ikram M. Sangadji, kepada Mongabay Indonesia, Minggu (26/4/2020) menjelaskan, kawasan ini  dikelilingi oleh 4 pulau kecil dan  23 pulau sangat kecil dengan sebaran penduduk mencapi 153.967 jiwa.

“Sebanyak 51,63% berprofesi sebagai nelayan serta 25,45% sebagai pembudidaya ikan dan rumput laut. Sisanya sebanyak 22,9% bekerja diluar sektor perikanan seperti petani kebun, pegawai dan pedagangan serta  0,02 % sebagai pelaku wisata lokal,” kata Ikram.

baca : Begini Kondisi Nyata Nelayan NTT di Tengah Pandemi COVID-19

 

Perairan Laut Sawu diantara pulau Flores dan Solor dimana hiu aus dan berbagai jenis penyu serta lumba-lumba sering terjebak di jaring nelayan. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Pendapatan masyarakat di kawasan konservasi perairan nasional terang Ikram berdasarkan data sosial ekonomi tahun 2018-2019 tertinggi dicapai oleh pelaku wisata lokal di Gili Matra mencapai Rp71 juta sampai Rp85 juta/tahun.

Disusul nelayan di kepulauan Kapoposang, Raja Ampat, Laut Banda, Kepulauan Padaido berkisar antara Rp69 juta hingga Rp.83 juta/tahun hampir sama dengan nelayan dan pembudidaya ikan di TNP Laut Sawu sebesar Rp.71 juta sampai Rp.83 juta/tahun.

“Pendapatan terendah diperoleh nelayan di SAP Aru Bagian Tenggara hanya mencapai Rp. 46 juta hingga Rp.52 juta per tahun,” tuturnya.

Jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi di 8 kawasan konservasi perairan itu sebanyak 16.543 unit. Luasan areal pembudidaya ikan mencapai 13.523,08 Ha dan terbesar di TNP Laut Sawu seluas 13.454,58 Ha.

 

Produksi dan Harga Menurun

Pendemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada penurunan pendapatan, namun juga terhadap struktur sosial ekonomi nelayan.

Ikram mengatakan BKKPN Kupang telah melakukan pemantauan terhadap masyarakat nelayan diantaranya Laut Sawu, Kapoposang, dan Gili Matra.

Sampai April 2020, pendapatan nelayan ikan menurun berkisar 45-50% karena menurunnya permintaan sehingga harga turun sementara biaya operasional tidak berkurang.

Nelayan yang paling berdampak adalah nelayan penangkap ikan demersal baik skala menengah dengan hari operasi 7 hingga 11 hari maupun nelayan skala kecil yang sifatnya one day fishing.

“Walaupun produktivitas penangkapan ikan berlangsung normal artinya jumlah hasil tangkapannya normatif namun nilai produksi mengalami penurunan akibat penurunan harga ikan baik di perusahaan maupun di pasar lokal,” ungkapnya.

Harga ikan turun di perusahaan turun antara 25-35%. Namun tidak semua jenis ikan hasil tangkapan dapat diserap oleh perusahaan penampung.

baca juga : Pandemi COVID-19 Menurunkan Pendapatan Nelayan di NTT. Apa Solusinya?

 

Aktifitas jual beli ikan di TPI Alok Maumere Kabupaten Sikka, NTT yang tampak sepi dibanding sebelum merebaknya pandemi COVID-19. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Dalam kondisi normal, hasil tangkapan ikan demersal memenuhi pasar lokal sebagai penyangga serapan produksi nelayan. Namun saat kondisi COVID-19, pasar lokal hanya mampu menyerap 30-35% produksi ikan demersal karena menurunnya pembeli dan jumlah ikan yang dijual.

“Informasi yang didapat pembatasan penyerapan ikan demersal oleh perusahaan disebabkan oleh menurunnya distribusi ke pulau Jawa dan pasar ekspor,” terangnya.

Dalam kondisi normal sebutnya, penjual ikan mengeluarkan modal sebesar Rp2 juta – Rp2,5 juta untuk satu hari penjualan dengan keuntungan bisa mencapai Rp.500 ribu sampai Rp.750 ribu.

Namun dengan kondisi COVID-19, pengeluaran modal menurun mencapai 50%, sedangkan keuntungannya tidak stabil, bahkan bisa rugi. Beberapa penjual ikan bahkan ada yang membuang atau mengubur ikan karena tidak terjual.

Pembudidaya rumput laut di laut Sawu, jelas Ikram, juga ikut terdampak. Dia memaparkan, terjadi penurunan harga rumput laut dari Rp20 ribu/kg kering menjadi Rp15 ribu/kg kering.

“Walaupun penurunan harga tidak terlalu besar dan pasar penampung tidak membatasi jumlah pasokan produksi rumput laut hasil panen, namun hal ini tentu berdampak bagi pembudidaya,” ungkapnya.

Sampai saat ini aktivitas penangkapan dan penjualan ikan masih terus berlangsung.  Namun memasuki minggu ke dua bulan April 2020 telah terjadi penurunan pendapatan nelayan.

Dia mencontohkan, kepulauan Kapoposang yang selama ini menjadi pemasok ikan kerapu sunu hidup untuk pasar ekspor melalui Makassar. Sejak bulan November 2019 telah mengalami penurunan pendapatan akibat permintaan ekspor ke Tiongkok mulai berkurang.

Untuk saat ini jelasnya, kegiatan penangkapan ikan di kepulauan Kapoposang masih terus berlangsung hanya untuk konsumsi dan memenuhi permintaan pasar lokal.

“Namun jumlah yang terbatas dan harga yang lebih murah tidak berimbang dengan biaya produksi dan transportasi dari pulau ke pasar lokasl di Makassar,” jelasnya.

baca juga : Pentingnya Perlindungan Nelayan NTT Saat Pandemi COVID-19, Kenapa?

 

Kapal nelayan tradisional sedang membongkar ikan pelagis berukuran kecil hasil pukat untuk dijual di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Alok Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Penutupan Tempat Wisata

Di bidang pariwisata perairan, menurut Ikram, hasil pemantauan BKKPN Kupang di KKPN TWP Gili Matra pada minggu ke empat bulan Maret telah berada pada zero activity

Sementara pada bulan Januari hingga minggu ketiga Maret, aktivitas wisata snorkeling dan diving mencapai 20.974 wisatawan mancanegara. Terjadi penurunan pendapatan dari pariwisata alam perairan yang dialami oleh pelaku wisata di Gili Matra mencapai 100%.

“Pemerintah daerah Lombok Utara telah mengambil kebijakan memberikan insentif pajak selama 3 bulan ke depan. Sementara BKKPN Kupang telah menghentikan sementara pelayanan PNBP sampai dengan kondisi normal,” ujarnya.

Hal serupa terjadi di Raja Ampat. Pada bulan April 2020, seluruh aktivitas wisata diving telah dihentikan. Padahal bulan Januari hingga Maret 2020 jumlah kunjungan mencapai 7.690 wisatawan.

“Pengaruh pandemi COVID-19 terhadap masyarakat perikanan dan pelaku wisata local di kawasan konservasi perairan nasional tidak hanya penurunan pendapatan. Namun lebih dari itu, berdampak terhadap struktur sosial ekonomi rumah tangga,” jelasnya.

Kondisi ini terjadi akibat kenaikan harga pangan, pengeluaran biaya listrik serta biaya air bersih. Juga ada pengeluaran tambahan untuk pembelian barang masker dan vitamin yang terkait dengan pencegahan COVID-19 dirasakan sangat mahal sehingga tidak menjangkau seluruh ABK dan anggota keluarga

“Biaya ini  belum termasuk bagaimana mendapatkan biaya pemeliharaan kapal dan penggantian alat tangkap yang saat ini harganya sudah naik,” ungkapnya.

perlu dibaca : Ini Skema Jaring Pengaman Sosial untuk Nelayan dan Pekerja Perikanan

 

Perairan Laut Sawu diantara pulau Flores dan Solor dimana hiu aus dan berbagai jenis penyu serta lumba-lumba sering terjebak di jaring nelayan. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Kepala cabang Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi NTT wilayah Alor Muhamad Saleh Goro dalam surat yang diterima Mongabay Indonesia akhir Maret 2020 mengatakan telah melakukan penutupan sementara kawasan SAP Selat Pantar dan laut sekitarnya.

Saleh menyebutkan sejak tanggal 21 Maret sampai 29 Mei 2020 kawasan konservasi Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar dan laut sekitarnya di kabupaten Alor untuk tidak dikunjungi wisatawan dan ditutup sementara dari semua aktifitas kegiatan pariwisata alam perairan.

“Nelayan ataupun pemasar hasil perikanan dan kelautan diminta tidak membawa hasil kelautan dan perikanan ke Republik Demokratik Timor Leste tanpa memiliki izin dan dan prosedur yang berlaku sesuai prosedur yang diwajibkan untuk mengantisipasi penularan COVID-19,” ungkapnya.

Saleh menambahkan, kapal pengumpul dan pemasar hasil perikanan dari luar kabupaten Alor yang melakukan pembelian hasil kelautan dan perikanan untuk dibawa ke luar harus berlabuh di pelabuhan Kalabahi, Dulionong dan Baranusa untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kalabahi.

 

Salurkan Bantuan

Kekhawatiran nelayan kecil dan penjual ikan di pasar lokal saat memasuki bulan puasa dan tidak ada kegiatan di laut akibat musim dan cuaca membuat nelayan akan menghentikan seluruh kegiatan penangkapan ikan saat pendemi COVID-19 belum normal,

Kondisi ini memerlukan perhatian dari pemerintah karena nelayan berperan penting dalam menjaga ketersediaan pangan dari laut dan menjaga perputaran ekonomi di suatu wilayah.

Sebagai langkah awal,  kata Ikram, Ditjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui BKKPN Kupang menyalurkan bantuan.

“Bantuan tersebut berupa 5.400 Masker kain, 500 strip vitamin dan 2 unit thermogun kepada masyarakat nelayan, pembudidaya ikan di kepulauan Kapoposang, kepulauan Padaido, Laut Sawu dan pelaku wisata lokal di Gili Matra,” paparnya.

 

Penyerahan bantuan untuk pengendalian COVID-19 bagi nelayan, pembudidaya ikan, penjual ikan dan pelaku wisata di kawasan konservasi perairan nasional Kupang, NTT. Foto : BKKPN Kupang/Mongabay Indonesia

 

Penyerahan bantuan ini kata Ikram dimaksudkan untuk mengurangi beban pengeluaran tak terduga akibat COVID-19. Selain itu kata dia, guna membangkitkan psikologi dan rasa kebersamaan dalam gotong royong antara KKP bersama masyarakat untuk penanganan wabah COVID-19 di lingkungan keluarga dan desanya.

“Beberapa kawasan belum dapat diidsitribusikan karena terkendala akses pengiriman ke lokasi,” tuturnya.

BKKPN Kupang melalui unit kerja Wilker di kawasan, ungkap Ikram, tetap melakukan pemantauan kawasan dan montoring terumbu karang. Hal itu untuk memastikan kegiatan penangkapan ikan dan budidaya rumput laut terus berlanjut dan menjamin tidak terjadi aktivitas destructive fishing.

Penurunan aktivitas pariwisata alam perairan pada masa pendemi COVID-19 diharapkannya, dapat terjadi proses recovery secara alami. Sehingga akan meningkatkan kesehatan karang, kelimpahan ikan karang, populasi dan kehadiran biota laut dilndungi.

“Kami telah melakukan zoom meeting dengan pemda Lombok Utara dan pelaku wisata di Gili Matra untuk mempersiapkan strategi pengembangan paket wisata yang selama ini menjadi minat dan target wisman dan domestik, “ ungkapnya.

Paket wisata ini kata Ikram seperti night dive dan foto ID untuk target spawning coral, tagging whale shark dan manta ray, penyu dan hiu, serta adopsi coral yang menyasar family tourism.

Selain itu sambungnya, juga ada program bantuan pemerintah kepada nelayan dan pembudidaya ikan serta Kelompok Sadar Wisata melalui program Kompak pasca COVID-19.

“Ini dilakukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi kelautan dan perikanan di kawasan konservasi perairan nasional,” tambahnya.

 

Exit mobile version