Mongabay.co.id

Cerita Armawati, Penggerak Bank Sampah dari Medan

Pengolahan sampah di bank sampah yang dibina Armawati. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Pengeloaan sampah di Kota Medan tak serius. Padahal, bisa menghasilkan pendapatan,”kata Armawati Chaniago, penggerak bank sampah. Perempuan berdarah Padang ini berhasil mengubah sampah jadi bernilai ekonomi. Dia pun mengubah tempat pembuangan akhir (TPA) Medan jadi bank sampah.

Arma bilang, dia belajar otodidak dari internet bagaimana cara kelola sampah dan mendaur ulang. Kemudian membangun kelompok dan jadi pendamping masyarakat untuk membuat bank sampah. Sekitar 268 bank sampah sudah dia bangun, dengan sekitar 46.000 anggota kelompok. Menurut dia, perlu kesabaran tinggi mengurus semua itu. Anggota beragam usia dari anak-anak maupun dewasa, perempuan ataupun laki-laki.

Perempuan kelahiran 1976 ini mendirikan Rumah Kompos dan Bank Sampah Induk Sicanang di Belawan. Menurut dia, Pemerintah Kota Medan, belum punya program penanganan sampah di Medan.

Idenya, membuat bank sampah bukan sekadar coba-coba. Dia sudah melanglang buana ke beberapa negara untuk mendapatkan pendidikan tentang pengelolaan limbah, baik limbah rumah tangga maupun industri.

Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Marelan, sudah terlalu banyak. TPA di Medan, menampung seluruh sampah dari Kota Medan. “Bayangkan saja, sekarang sampah di situ ada sekitar 40 juta ton. Bahaya bagi masyarakat sekitar,”katanya.

Sampah produksi Kota Medan sampai TPA bisa sampai satu ton sehari. Sejak 80-an, sudah puluhan tahun tak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Bersama komunitas yang dibangun, dia membentuk sejenis koperasi. Setiap anggota akan jadi nasabah dan mempunyai kartu tabungan sampah.

Dia bilang, masalah paling sulit adalah warga Indonesia belum memiliki pengetahuan maupun kesadaran membuang sampah. Sampah ke tempat pembuangan dari pengangkut masih bercampur.

 

Armawati Chaniago, penggerak bank sampah. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Sampah di tempat pembuangan anggota komunitas akan mendapat pemahaman dan pelatihan bagaimana mengelola sampah organik maupun non organik. Setelah pemisahan jenis sampah, mereka dapat kemampuan membuat sesuatu yang bernilai ekonomi.

Dia contohkan, para anggota komunitas diberi pelatihan membuat kerajinan tangan seperti tas belanja, souvenir, perhiasan dan lain-lain. Nantinya, dijual ke daerah-daerah wisata. Ada juga ekspor ke beberapa negara seperti India, Tiongkok, dan berbagai daerah di Eropa.

Kota Medan, katanya, mendapat predikat Kota Metropolitan paling kotor di Indonesia. Menurut Sarjana Biologi Universitas Sumatera Utara ini, persoalan sampah tak melulu salah pemerintah.

“Masyarakat harus diberi pemahaman tentang pentingnya membuang sampah. Misal, pemisahan sampah organik dan anorganik sejak awal,”katanya.

Pada 2012, Armawati bersama beberapa tim memberikan edukasi tentang bank sampah. Saat ini, ada 214 kelompok yang berminat ikut program bank sampah ini. Ia tersebar di dua provinsi, Aceh dan Sumatera Utara. Ada lebih 13.000-an orang menerima manfaat kegiatan ini. Keuntungan dari program bank sampah ini pernah sampai Rp1,8 miliar.

Pada 2018, Bank Sampah Induk Sicanang yang terletak di Sicanang, Belawan, dekat pelabuhan ini bekerjasama dengan Pemerintah Medah. Hampir semua program bank sampah menyetor ke tempat mereka. Kemudian, mereka berurusan langsung dengan industri daur ulang untuk pemasaran.

“Misal, sampah dari kegiatan yang diselenggarakan Pekan Raya Sumatera Utara dan Medan Fair, banyak. Pengelolaan masih sangat buruk. Mereka setor langsung ke kita. Kita pisahkan dan kelola jadi barang ,”katanya.

Menurut data, sampah di Medan dari 2008-2013 meningkat tajam sesuai pertumbuhan penduduk. Pada 2008-2009, produksi sampah mencapai 33.850 ton. Tahun 2009-2010 mencapai 677.890 ton, 2010-2011 turun jadi 22.000 ribu ton dan 2011-2012 naik lagi jadi 27.000 ton.

Pada 2013, volume sampah Medan setiap hari mencapai 1.700 ton. Artinya, setiap bulan penduduk kota ini bisa menghasilkan 44.000 ton. Pada 2015, 1.900 ton per hari.

Awal memulai bank sampah, kata Arma, selalu memegang prinsip 3R (reduce, reuse, recycle). Hal itu selalu dia sampaikan setiap pemaparan jadi konsultan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Dia bilang, prinsip 3R penting untuk mengatasi masalah limbah.

 

Proses pembuatan kompos dari eceng gondok. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

***

Hasil kerja keras dan kesabaraan, Arma mendapat penghargaan baik lokal, nasional maupun internasional. Dia mendapatkan Penghargaan Kartini dari Forum Jurnalis Perempuan pada 21 April 2016 dan Penghargaan Kartini Sumatera Utara Kategori Lingkungan Hidup dari Konsulat Jenderal India pada 21 April 2017.

Perempuan yang suka berpetualang ini memang sudah akrab dengan kecintaan alam sejak bangku kuliah di Universitas Sumut, jurusan Biologi. Dia bercerita, pernah jadi asisten dosen Taksonomi Tumbuhan Rendah Jurusan Biologi Universitas Islam Sumut. Pada 2005, dia juga pernah jadi guru Biologi di Madrasah Aliyah, Pesantren Alkaromah, Brastagi, Sumut.

“Saya sudah beberapa kali ditawarkan bekerja di perusahaan. Tapi saya memang senang mengajar. Sudah jadi bagian hidup saya,” katanya.

Arma mempelajari tentang pengelolaan sampah secara otodidak lewat internet. Pada 2010, dia jadi fasilitator pendamping masyarakat dalam program oleh Pemerintah Kota Medan. Dia mendapatkan penghargaan sebagai manajer fasilitator dan dikirim ke Kitakyusu, Jepang untuk mempelajari mekanisme dan proses pengelolaan sampah skala kota.

“Setelah pulang dari Jepang, pada 2014, saya ditunjuk sebagai Direktur Bank Sampah Sicanang. Kerjasama antara Pemko Medan dan Pemko Kitakyusu, Jepang,” katanya.

Dari 2.000 lingkungan Kota Medan, ada 60 lingkungan dia kelola sampahnya. Sebagian orang termasuk pemerintah anggap ini pekerjaan tambahan. Padahal, kalau mengelola sampah denga serius bisa menghasilkan dan jadi bisnis menjanjikan. Dari hasil kelola sampah, kata Arma bisa mendapatkan jutaan per bulan.

Kini, dia fokus desain dan pemasaran produk dari hasil daur ulang sampah bank sampah binaannya. Pasar, bisa tembus hingga Malaysia.

Mengelola sampah, katanya, bukan tanpa tantangan, terlebih limbah rumah tangga. Masyarakat belum paham soal pentingnya memilah sampah organik dan anorganik. Kesulitan itu, katanya, juga karena tak ada edukasi atau sosialisasi ke masyarakat.

Mestinya, kata Arma, pemerintah juga mendukung usaha pemilahan sampah itu sebelum masuk ke truk sampah. Kemudian di TPA, sampah bisa mudah didaur ulang.

“Dengan begitu, kerja-kerja para pendaur ulang lebih mudah.”

 

Mesin pengelola sampah. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Sampah jadi kompos

Dia biasa bekerja sama dengan perusahaan untuk memanfaatkan limbah industri jadi pupuk kompos. Tahun ini, dia mendapatkan kepercayaan dari PT. Perum Tirta Jasa I, untuk mengelola enceng gondok jadi pupuk kompos. Armawati memberdayakan masyarakat sekitar Sungai Asahan. Inalum ada PLTA Sigura-gura.

“Nanti masyarakat setempat diajari bagaimana mengelola limbah enceng gondok menjadi pupuk kompos,”katanya.

Eceng gondok di sekitar PLTA dihambat dengan pembatas buatan. Kalau masuk ke turbin akan mengganggu perputaran mesin hingga bisa berhenti produksi. Tanaman ini dianggap limbah perusahaan yang memasok listrik di Sumut ini.

Tirta  memiliki tiga bendungan, pertama, 14,5 km dari Danau Toba, sebagai pengatur di Siruar agar air keluar dengan stabil ke stasiun pembangkit listrik secara konstan. Kedua, di Simorea, sembilan kilometer dari bendungan pengatur. Fungsinya, sebagai penadah air Sigura-gura agar sumber air stabil, untuk stasiun pembangkit listrik Sigura-gura.

Ketiga, merupakan bendungan tangga, empat kilometer di bawah stasiun pembangkit. Fungsinya, memanfaatkan kembali air dari Stasiun Pembangkit Sigura-gura. Tanaman enceng gondok yang mengalir ke turbin akan menghambat aliran pembangkit listrik. Eceng gondok itu dikumpul di bank sampah. Armawati juga kerjasama dengan perusahaan lain.

Setiap hari, ada satu truk atau sekitar lima ton sampah di bank sampah. Setelah kumpul di satu lokasi, sampah-sampah itu disiram dengan cairan penghilang bau sampah (one clean). Sampah tadi akan dikeringkan selama 21 hari, dan ditutup dengan terpal plastik. Kemudian, disiramkan lagi dengan cairan bibit kompos (one geest) sebelum lebur menjadi kompos.

Cairan itu Arma dapatkan dari India. Harga Rp700.000 per liter. Cairan berasal bahan olahan bakteri, isolasi bakteri dari tanah. Menurut dia, cairan sudah ada di pasaran, tetapi olahan India lebih efektif dari produk lain.

“Cairan ini juga tidak berbahaya bagi kesehatan, cukup dengan mencuci bersih tangan,” katanya.

 

Keterangan foto utama:  Pengolahan sampah di bank sampah yang dibina Armawati. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Proses pengelolaan sampah. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version