Mongabay.co.id

Ini Skema Jaring Pengaman Sosial untuk Nelayan dan Pekerja Perikanan

 

Pemerintah Indonesia harus bisa menyelesaikan persoalan tekanan ekonomi yang saat ini sedang dialami oleh kelompok masyarakat pesisir, terutama yang terbiasa mendapatkan penghasilan harian dari industri perikanan. Di antara mereka, ada warga yang bekerja sebagai nelayan, sebagai awak kapal perikanan (AKP), dan tenaga perikanan rakyat lainnya.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menjelaskan, tanpa sokongan langsung dari Pemerintah Indonesia, nasib warga masyarakat pesisir akan langsung ke jurang ekonomi terdalam. Ancaman ini, tak hanya sekedar dirasakan semua warga pesisir, namun juga akan berlangsung dalam jangka waktu tidak sebentar.

“Hari-hari ke depan nelayan dan pekerja perikanan akan mengalami kesulitan ekonomi yang luar biasa, karena kegiatan produksi telah menurun dan semakin melemah,” ungkap dia dalam diskusi daring dengan topik “Pelaksanaan Jaring Pengaman Sosial Bagi Nelayan dan Pekerja Perikanan” yang digelar pekan lalu di Jakarta.

baca : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19

 

Penjual ikan eceran di TPI Alok Maumere kabupaten Sikka,NTT yang sedang menanti pembeli yang tampak sepi semenjak merebaknya pandemi COVID-19. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus bisa membuat strategi yang tepat dan pas untuk stimulus bagi kelompok yang disebut di atas. Tak hanya itu, KKP juga tak boleh terlambat dalam memberikan stimulus yang saat ini sedang sangat dibutuhkan oleh warga pesisir.

“Sudah sebulan lebih ini kehidupan mereka mengalami tekanan,” tutur dia.

Imbauan yang diungkapkan DFW Indonesia, didasarkan pada fakta bahwa saat ini sudah semakin banyak nelayan dan pekerja perikanan yang terkena dampak akibat merebaknya wabah COVID-19 di Indonesia. Bahka, lebih dari itu sektor perikanan secara umum juga sudah terkena dampaknya.

Contoh dampak negatif yang terjadi sekarang, sudah dirasakan oleh nelayan dan pekerja perikanan yang ada di Jawa Tengah dan Bitung, Sulawesi Utara. Di sana, harga ikan sudah mengalami penurunan dan itu memicu terjadinya penurunan daya beli masyarakat, hingga mengakibatkan berhentinya kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tradisional.

Lebih detil, contoh nyata bagaimana COVID-19 sudah mulai menurunkan ekonomi masyarakat pesisir, adalah bisa dilihat dari nelayan keci penangkap rajungan yang ada di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Di wilayah pesisir Pantai Utara (Pantura) Jawa itu, 90 persen para penangkap rajungan kini sudah tidak bisa melaut lagi.

Menurut DFW Indonesia, penyebab banyak nelayan yang berhenti melaut, karena harga rajungan saat ini jatuh hingga mencapai Rp30 ribu/kg. Sebelum COVID-19 merebak di Indonesia, harga rajungan dipatok di kisaran Rp55 ribu/kg.

Terus turunnya harga, karena banyak pabrik pengolahan rajungan di Tegal yang sudah menutup operasionalnya, akibat harus mengikuti anjuran Pemerintah Indonesia untuk menghentikan operasional. Selain itu, sejak COVID-19 merebak, permintaan rajungan dari konsumen juga terus mengalami penurunan.

baca juga : Negara Wajib Selamatkan Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Nelayan Skala Kecil

 

Nelayan menyiapkan perbekalan sebelum berangkat melaut di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan, Jatim. Nelayan mengalami dampak pandemi covid-19, salah satunya harga ikan yang menurun. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Pekerja Perikanan

Bukan cuma nelayan, Abdi Suhufan mengatakan bahwa AKP yang bekerja di dalam dan luar negeri juga sudah mulai banyak yang kembali ke desa masing-masing. Di Kabupaten Tegal dan Pemalang, Jawa Tengah saja, sedikitnya sudah ada sekitar 200 orang AKP yang kembali ke dua desa migran dari tempat mereka bekerja pada kapal perikanan luar negeri.

“Mereka kembali karena penghentian operasional penangkapan ikan di negara asal mereka bekerja,” pungkasnya.

Direktur Program Safeguarding Against and Addressing Fisheries Exploitation at Sea (SAFE Seas) Nono Sumarsono mengingatkan, jika Pemerintah Indonesia melaksanakan jaring pengaman sosial (social security) bagi nelayan dan pekerja perikanan, maka itu harus senantiasa berpedoman pada basis data yang akurat.

Selain itu, dalam melaksanakan jaring pengaman sosial, Pemerintah juga wajib untuk mengikat kerja sama antara Pusat dengan Daerah. Hal itu, untuk menjamin keberlangsungan program dengan baik dan bisa sampai dengan tepat ke tangan warga perikanan yang terkena dampak akibat merebaknya COVID-19.

Bagi Nono, sebagai bagian dari kelompok sangat rentan, nelayan dan pekerja perikanan harus dipastikan bisa masuk dalam skema Pemerintah Indonesia untuk penyaluran bantuan sosial. Kepastian mereka diperhatikan, bukan karena berdasarkan data asuransi nelayan ataupun asuransi mandiri saja, namun juga karena harus ada perluasan verifikasi calon penerima stimulus.

“Verifikasi itu harus dilakukan dengan akurat,” tegas dia.

perlu dibaca : Ini Strategi Lindungi Nelayan dan Pembudidaya Ikan dari Dampak Wabah COVID-19

 

Ilustrasi. Hasil tangkapan ikan tongkol di kapal oleh nelayan yang didaratkan di di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada waktu berbeda menjelaskan, sektor kelautan dan perikanan memang diakui menjadi sektor yang terkena dampak dari merebaknya COVID-19 sekarang. Untuk itu, Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan kebijakan terbaik untuk memastikan sektor tersebut tetap berjalan.

Luhut mengatakan, dari data yang dimilikki Kemenko Marves, pandemi COVID-19 memicu terjadinya penurunan harga ikan minimal 50 persen dari harga sebelumnya. Kondisi itu kemudian memicu penurunan penghasilan nelayan yang asalnya bisa menghasilkan Rp3,5 juta untuk sekali melaut, menjadi hanya sekitar Rp1-1,5 juta per sekali melaut.

“Hal tersebut disebabkan karena adanya pembatasan atau lockdown di beberapa negara tujuan ekspor, sehingga dengan demikian volume ekspor ikut turun, dan komoditas eskpor yang terdampak antara lain kepiting dan lobster hidup,” jelas dia pada pekan lalu di Jakarta.

 

Antisipasi

Untuk memecahkan persoalan yang ada di lapangan, Luhut sudah menyiapkan sejumlah langkah. Termasuk, persoalan terjadinya penumpukan stok ikan yang ada di pelabuhan perikanan dan tempat pelelangan ikan (TPI).

Untuk persoalan di atas, Kemenko Marves merekomendasikan dikeluarkan kebijakan nasional berupa diskon biaya kirim khusus produk perikanan yang didistribusikan secara daring dan juga percepatan untuk penerapan sistem resi gudang (SRG).

Kemudian, untuk permasalahan nelayan yang mengalami penurunan ekonomi, rekomendasi kebijakannya adalah dengan melaksanakan penyaluran bantuan Pemerintah dan bantuan langsung tunai kepada masyarakat yang terdampak langsung seperti nelayan, pembudi daya ikan, pengolah/pemasar, dan petambak garam.

“Juga program padat karya di (sub)sektor perikanan budi daya,” tambah dia.

Selanjutnya, rekomendasi untuk persoalan penurunan ekspor ikan adalah dilakukan penurunan tarif kargo udara dan juga penambahan jumlah layanan kargo, serta memberikan kemudahan distribusi logistik produk kelautan dan perikanan.

Di luar itu semua, Luhut ingin memastikan bahwa pandemi COVID-19 tidak boleh sampai menghentikan aktivitas pada subsektor perikanan tangkap dan ekspor hasil laut. Untuk itu, protokol kesehatan sesuai standar WHO untuk pandemi COVID-19 harus disiplin diterapkan selama dilaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut.

baca juga : Bergerak Bersama untuk Serap Seluruh Produksi Perikanan

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok,Maumere,kabupaten Sikka,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebelumnya juga mengatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan sejumlah kebijakan antisipatif dan akan fokus untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat perikanan yang saat ini sedang menghadapi pandemi COVID-19. Pelayanan diberikan kepada nelayan skala kecil dan besar, hingga pelaku usaha perikanan skala kecil dan besar.

Di antara langkah-langkah yang dilakukan, adalah dengan mendata jumlah estimasi produksi perikanan tangkap dan perikanan budi daya selama periode April hingga Juni 2020. Kemudian, didata juga semua infrastruktur sistem rantai dingin (cold chain) yang ada di seluruh Indonesia.

“Jalan keluar terhadap akses pemasaran lainnya, adalah melalui penyiapan sarana media penjualan ikan secara online,” tandasnya.

Untuk kendala pemodalan bagi nelayan, KKP telah menyiapkan dana melalui Badan Layanan Umum (BLU) Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP).

Upaya lain ialah bekerja sama dengan BUMN di sektor perikanan untuk menyerap tangkapan nelayan serta produksi pembudidaya. Edhy juga mengajak Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) untuk turut terlibat usaha pembelian ikan dengan cara memanfaatkan dana pinjaman BLU dengan bunga hanya 3 persen. Hal itu diungkapkan Menteri Edhy saat audiensi virtual dengan 56 perwakilan KNTI, Kamis (30/4).

Sedangkan mengenai harga ikan Edhy telah mengirimkan surat edaran (SE) kepada pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota yang mengajak Pemda untuk melibatkan nelayan dan pembudidaya pada setiap bantuan sosial maupun bantuan lainnya.

KKP juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Sosial agar memasukkan ikan dalam paket Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Bahkan, usulan ini mendapat dukungan dari Presiden Joko Widodo yang mengajak masyarakat untuk mengonsumsi ikan guna meningkatkan imunitas.

 

Exit mobile version