Mongabay.co.id

Menu Batang dan Bonggol Pisang Khas Lombok, Kisah Pangan di Masa Paceklik

 

 

Ares, begitu nama masakan itu. Nama ini mengingatkan pada dewa perang dalam mitologi Yunani. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dalam pesta-pesta siklus hidup masyarakat Lombok, ares jadi menu utama. Ia selalu bersanding dengan nangka muda dimasak santan.

Tanpa ares, rasanya belum lengkap sebuah pesta. Dari pesta-pesta di kampung, ares jadi masakan di rumah makan, menu khusus wisatawan. Ares biasa hanya dijumpai saat pesta di kampung, kini mudah ditemui di kota.

Rasanya lembut. Sedikit manis terselip di antara campuran ragi rempah yang diguyur santan kental. Bahan dasar ares adalah batang pisang dipotong kecil, sesuai ukuran yang bisa sekali telan. Batang pisang muda banyak getahnya. Untuk menghilangkan getah itu, potongan itu diaduk dengan tangan atau kayu. Getah itu akan menempel, seperti jaring laba-laba. Setelah itu barulah direndam dengan garam kasar. Lalu masak dengan tambah santan, cabai, merica, dan jenis rempah lain, tergantung selera.

Ares ini adalah batang pisang muda. Di luar pesta, batang pisang itu jadi makanan ternak, terutama sapi. Lain waktu, jadi makanan yang kini diakui sebagai branding makanan lokal Lombok. Pariwisata telah mengangkat ares.

Karena berhubungan dengan menebang pisang, dalam setiap pesta, hampir semua pengolah ares adalah laki-laki. Mulai dari memilih batang pisang, menguliti hingga dapat batang bagian dalam dan potong kecil. Kemudian, hilangkan getah, memasak, hingga menyajikan di hadapan tamu.

Bersama seniman Lombok, Muhammad Safwan, saya pernah berkeliling ke beberapa desa tradisional menanyakan sejarah masakan ares ini. Tidak ada cerita pasti siapa pertama kali memasak dan kenapa muncul ide memasak batang pisang. Semua cerita hampir sama, ares muncul saat musim kering dan kelaparan.

Saat kemarau, rumput pakan utama sapi sulit didapatkan. Ada satu tanaman bisa bertahan dan mudah, yaitu pisang. Bahkan, di daerah tandus sekalipun pisang tetap bisa hidup.

Alkisah, peternak itu melihat sapi makan dengan lezat. Terbesit untuk mencoba memasak batang pisang itu. Rasanya enak. Mulai saat itu, batang pisang itu jadi makanan, terutama di pedesaan.

“Tidak ada cerita pasti, cuma kisah-kisah di masyarakat, nama peternak yang pertama kali mencoba itu namanya Loq Ares. Maka dinamakan ares. Ini hanya cerita saja. Saya tanya beberapa orang tua kita juga kadang bilang begitu,’’ kata Safwan.

Kisah makanan ini jadi penyelamat ketika paceklik dibenarkan para orang tua yang hidup di era kolonial Belanda dan Jepang. Ketika penjajah datang ke Lombok, sering kali hasil panen dibeli dengan harga murah. Bahkan, sering dengan pemaksaan.

Saat musim paceklik dan hasil panen dikuasai penjajah, ares jadi penyelamat warga. Bumbu-bumbu tanam di halaman rumah. Karena ares rasanya enak, penduduk yang menderita kelaparan mencoba bahan lain, masih bagian dari batang pisang : bonggol. Bagian bawah pisang tempat akar,. Bonggol pisang ini juga pakanan sapi dan lebih awet dibandingkan batang pisang.

Saya sering mendengar cerita dari almarhum nenek tentang kelaparan di Lombok. Sudah biasa warga memakan bonggol dan batang pisang. Bahkan, ketika tidak ada bumbu, mereka hanya merebus.

Kalau mengambil batang pisang muda, bonggol pisang bisa diambil dari yang sudah berbuah maupun belum. Cerita kakek saya, yang berusia 83 tahun, praha politik 1965, banyak warga makan bonggol pisang. Saat itu, pangan langka, hingga banyak warga apa yang ada di kebun.

 

Bonggol pisang diolah menjadi abon.Abon bonggol pisang ini cukup diminati. Banyak yang memesan karena penasaran. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

***

Di tangan Aminah, bonggol pisang jadi makanan lezat. Warga Desa Pusuk Lestari, Lombok Barat ini mengolah bonggol pisang jadi abon.. Dicampur berbagai bumbu, abon bonggol pisang itu jadi produk sampingan usaha kelompok tani yang dia pimpin. Bersama ibu-ibu di kampung di bukit hutan Pusuk Lestari, mereka juga mengolah gadung (Dioscorea hispida) jadi keripik dan kue. Mereka juga memproduksi tepung gadung. Bonggol pisang awalnya coba-coba kini sudah dipasarkan.

“Banyak yang suka,’’ kata Aminah.

Suaminya, Samsudin mengajak saya mencoba bikin abon bonggol pisang. Tidak semua jenis pisang bonggolnya enak jadi abon. Dari beberapa kali percobaan, ada tiga jenis pisang bisa diolah jadi makanan, yakni, pisang lomak, saba, dan pisang Jawa (ada biji dalam daging pisang). Pisang lain, tak seenak tiga jenis ini.

Bonggol pisang bagian dalam dipotong jadi kecil lalu rendam di air garam. Kemudian, keringkan dan potong lagi jadi lebih halus. Setelah kering, goreng dan campur dengan ragi.

“Kalau bumbunya tergantung selera,’’ kata Aminah.

Usaha utama kelompok Jaya Berkah ini adalah mengolah gadung. Gadung ini sejenis umbi yang beracun. Tanaman berduri dan menjalar. Banyak mereka temukan di hutan.

Mengolahnya harus hati-hati. Kalau kurang sempurna bisa jadi racun. Dalam dosis kecil membuat mabuk, lebih parah bisa halusinasi bahkan pingsan. Air rendaman gadung jika disirimkan ke kerumunan semut akan mati.

Potong gadung jadi kecil lalu rendam dengan air garam selama lima hari. Setiap hari, air harus diganti sampai benar-benar jadi jernih.

Warga pesisir Senggigi merendam gadung di laut. Gadung sudah terpotong masukkan dalam karung dan rendam di laut. Daerah yang ada sungai, gadung juga mereka masukkan dalam sungai hingga empat atau lima hari. Gadung jadi pangan ketika musim paceklik. Ketika para suami mereka tak melaut karena cuaca buruk.

 

Perlu waktu lima hari untuk menghilangkan getah beracun di umbi gadung. Direndam dalam air garam dan setiap hari harus diganti airnya. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kalau yakin sudah bebas racun, gadung diparut atau potong kecil. Setelah itu kukus dan jadikan tepung. Tepung diolah jadi berbagai jenis kue basah dan kering. Kalau ingin membuat keripik, gadung diiris tipis, kukus, keringkan dan goreng.

“Tepung gadung ini banyak permintaan. Selalu habis kalau kami buat,’’ kata Aminah.

Di tengah pandemi Virus Corona, Aminah berseloroh, mereka sekeluarga tak khawatir kekurangan pangan. Kalau nanti mereka tak mendapat bantuan bahan pokok dari pemerintah, sudah siap dengan berbagai hasil hutan dan kebun di Pusuk Lestari.

Kalau pandemi makin panjang, Aminah bilang akan mulai mengumpulkan gadung, jadikan tepung dan tak akan dijual. Di halaman rumahnya juga banyak sayuran.

Sejak NTB memutuskan membatasi aktivitas di keramaian sejak 16 Maret 2020, Aminah tak merasa kekurangan bahan makanan. Dia hanya turun gunung untuk membeli beras. Selebihnya, tersedia di alam.

“Kita juga lockdown di sini. Saya sudah tidak ke pasar, tapi aman untuk makan sehari-hari. Cuma anak-anak bosan karena tidak sekolah,’’ katanya tertawa.

 

Bergizi tinggi

Immy Suci Rohyani adalah dosen Ilmu Lingkungan Universitas Mataram. Selain dosen di kampus negeri di Kota Mataram itu, Immy juga pengasuh madrasah alam “Madrasah Sayang Ibu”. Sekolah dengan konsep menyatu dengan alam itu, Immy menanam berbagai bumbu, tanaman obat, termasuk pangan lokal langka. Tanaman yang biasa tumbuh liar di hutan dan kebun kini dibudidayakan di halaman madrasahnya.

“Ada beberapa jenis sayuran lokal yang sudah sulit dicari,’’ kata Immy.

Beberapa kali Immy riset tentang pangan lokal. Dia berburu ke pasar-pasar tradisional Lombok untuk mencari, mendokumentasikan, dan mengidentifikasi jenis tanaman itu.

 

Kue basah, keripik, dan tepung gadung yang dibuat oleh kelompok usaha Jaya Berkah di Desa Pusuk Lestari, Kabupaten Lombok Barat. Gadung (Dioscorea hispida) adalah umbi yang beracun dan tumbuh di kebun dan hutan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Beberapa jenis tanaman sayuran, kue, olahan makan itu memang tumbuh liar. Ketika tanaman mulai hilang dari pasar, menandakan ada perubahan di desa.

“Di Lombok Selatan ada sayur namanya bebante dan kepare. Dua tanaman ini sudah langka,’’ kata Immy.

Pangan lokal ini khas di beberapa daerah. Kepere ditemukan di Lombok bagian selatan yang kering. Di Sembalun, wilayah kaki Gunung Rinjani, dengan ketinggian 1.000 mdpl ditemukan sayuran delong, biasa buat urap. Di daerah yang sepanjang tahun bisa mengolah sawah untuk menanam padi, dijumpai sayuran gegaok, mirip bayam, tetapi rasa berbeda.

Dulu, gegaok banyak di pasar Kotaraja, Tetebatu, di warung-warung kecil di kampung. Sekarang makin langka. Tanaman ini sering dianggap gulma dan jadi pakan itik.

Pada 2015, Immy riset kadungan gizi beberapa pangan lokal di Lombok, seperti buah juwet (Syzygium cumini), bune (Antidesma burnius), dan kepundung (Baccaurea racemosa). Umbi-umbian sabrang (Coleus tuberosa), lomak (Xanthosoma sagittifolium), dan sebek (Canna edulis). Dari hasil riset itu, juwet memiliki kadar air paling tinggi di antara keenam tumbuhan yang diuji hingga daya simpan paling rendah.

Kandungan karbohidrat dan vitamin C tertinggi pada buah bune, diduga dari kadar glukosa ditandai rasa sangat manis. Umbi sabrang memiliki kadar protein dan kalsium paling tinggi hingga sangat baik sebagai cemilan maupun pengganti nasi.

 

Bonggol pisang yang biasa jadi pakan ternak sapi bisa menjadi pangan alternatif ketika musim paceklik. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Di tengah pandemi Corona, banyak anjuran mengkonsumsi vitamin C. Beberapa minuman vitamin C laris manis. Pedagang buah, khusus jeruk juga banyak dijumpai di pinggir jalan di sekitar Kota Mataram dan Lombok Barat. Melihat kandungan vitamin C tinggi pada bune, buah ini bisa jadi antioksidan dan suplemen kesehatan. Tanaman yang biasa tumbuh liar di kebun dan hutan ini bisa jadi sumber minuman vitamin C.

“Tanaman-tanaman ini bisa dikembangkan di kawasan wisata. Bisa jadi ekowisata dan eduwisata tentang tanaman pangan lokal Lombok,’’ kata Immy.

Menurut dia, pangan lokal ini harus dilindungi dan budidaya khusus. Di Lombok terdapat hutan wisata, kebun raya, hutan kemasyarakatan bisa sebagai tempat budidaya tanaman ini.

Pada 2017, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengeksplorasi tanaman sayuran. Pada Juli 2017, tim eksloprasi tumbuhan PKT Kebun Raya LIPI menemukan bebante (Dregea volubilis (L.f) Benth. ex Hook.f.). Tanaman ini tumbuh di pematang sawah. Bagian tanaman yang dimasak adalah buah muda dan bunga.

Tim eksplorasi juga membuat penjelasan tentang kepere (Chynanchum dimidiatum (Hassk.) Boerl.). Tanaman ini tumbuh di dataran rendah kering. Bagian tanaman yang dimasak adalah daun muda, bunga, dan buah muda.

“Sudah langka tanaman ini karena tidak dibudidayakan,’’ katanya.

Immy bilang, masyarakat Lombok suka bereksperimen dengan berbagai jenis tanaman, buah, biji-bijian. Pada pesta-pesta tradisional di desa, banyak tanaman jadi urap. Begitu juga dengan umbi-umbian banyak jadi kue dan cemilan.

Tanaman ini juga menunjukkan lingkungan masih terjaga. Tanaman ini tumbuh subur di sekitar kebun, sawah, bahkan dalam hutan. Kalau tidak ditebang atau dihilangkann sengaja, tanaman ini akan tetap bertahan. Dalam kondisi pandemi Corona, seandainya berkepanjangan, pangan lokal ini bisa jadi solusi. Kalau alam terjaga, alam akan menyediakan pasokan pangan bagi manusia.

 

Anak-anak sekolah yang libur karena pandemi Virus Corona ikut ke hutan mencari gadung. Kegiatan ini mengisi waktu karena tidak memungkinkan untuk belajar online karena ketiadaan HP dan jaringan internet. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version