Mongabay.co.id

Ratusan Hektar Sawah Kebanjiran, Petani Bisa Klaim Asuransi Kegagalan

 

Mendung bergelayut ketika sejumlah buruh tani sedang memanen padi di lahan pertanian di Desa Pucuk, Kecamatan Pucuk, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Para buruh tani ini menuai padi dengan cara manual.

Meski kondisi lahan tergenang air dengan ketinggian 50-80 centimeter (cm) mereka masih terlihat cekatan memotong tanaman yang mempunyai nama latin Oryza sativa ini. Hal ini berbeda ketika kondisi normal, kebanyakan dari mereka sudah menggunakan teknologi pemanen padi.

Saat musim penghujan, lokasi setempat memang dipastikan terendam air. Hal ini dikarenakan karakter lahannya berada di kawasan rawa dataran rendah. Hanya untuk musim ini berbeda. Genangan airnya lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya.

Alhasil, untuk menghindari kerugian yang lebih besar petani memanennya lebih awal dari jadwal masa panen. Menurut perhitungan petani seharunya jenis tanaman budidaya ini membutuhkan waktu seminggu lagi untuk dipanen.

Potongan padi itu kemudian ditaruh di atas terpal yang digunakan untuk proses pengangkutan, bentuknya seperti perahu. Setelah tumpukan padi di terpal itu penuh, selanjutnya dibawa ke tempat yang lebih tinggi untuk dilakukan proses perontokan, atau memisahkan butir padi dari batangnya.

“Panen tahun ini membutuhkan tenaga lebih ekstra, berbeda dengan tahun-tahun lalu yang airnya tidak setinggi ini” kata salah satu buruh tani setempat, Mawardi, kepada Mongabay, Selasa (28/04/2020).

baca : Rintih Petani Cabai Rawit Dikala Harga Panen Tidak Menentu

 

Sejumlah buruh tani memanen padi yang mengalami kebanjiran di lahan pertanian Desa Pucuk, Kecamatan Pucuk, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Dengan menggunakan terpal sebagai transportasi, buruh tani ini membawa tanaman dengan lama latin Oryza sativa ini ke tempat yang lebih tinggi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Tanggul Jebol

Kondisi tersebut membuat Mawardi terancam mengalami kerugian. Selain karena kondisi padi masih belum layak panen juga lantaran sebelumnya sebagian dimakan hama tikus. Selain itu, hama wereng juga cukup mempengaruhi penurunan hasil panen hingga 50 persen.

Di lahan satu hektare itu awalnya dia bisa menghasilkan gabah kering sejumlah 125 karung, atau sekitar 8-9 ton. Tapi di tahun ini diperkirakan hasilnya tinggal 4-5 kuintal. “Hanya cukup untuk persediaan makan sehari-hari,” imbuh pria berkaca mata hitam ini.  Meski sawahnya terendam, pria 60 tahun ini mengaku masih bersyukur. Karena ada juga sejumlah petani nasibnya lebih parah, saat banjir menggenang tanaman padinya tidak bisa dipanen karena usianya masih muda. Kondisi ini terjadi karena sawahnya berada di kawasan dataran lebih rendah. Sehingga paling rentan terhadap banjir.

Roni Wijaya, petani lain, menduga banjir yang menggenang itu disebabkan karena adanya tanggul sungai dari wilayah Kecamatan lain yang jebol. Efeknya air bisa meluber sampai ke lahan pertanian yang ada di daerahnya. Selain itu, curah hujan tinggi juga sangat mempengaruhi hektaran tanaman padi dan lahan pertanian menjadi terendam banjir.

Lelaki berumur 40 tahun ini menjelaskan, banjir seperti ini hampir terjadi setiap datang musim hujan. Jadi ini bukan pertama kalinya. Hanya tahun ini lebih parah. Akibat kejadian tersebut tanaman padi miliknya tidak bisa dipanen. “Supaya tidak rugi terus menerus saya berharap ada dukungan dari pemerintah untuk mengatasi banjir ini” ucapnya.

baca juga : Musim Tanam Padi, Petani Mulai Jual-Beli Sapi

 

Buruh tani memindahkan tanaman padi dari terpal ke lokasi yang lebih tinggi untuk kemudian dilakukan proses perontokan, atau memisahkan butir padi dari batangnya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kondisi tangan petani selesai memanen padi yang tergenang air setinggi 50-80 cm (cm). Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Bisa Klaim Asuransi

Menanggapi hal tersebut, Rujito, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Dinas Pertanian Kabupaten Lamongan menjelaskan ada sekitar 600 hektar luas sawah yang terendam banjir. Perhitungan tersebut tersebar di tujuh kecamatan yang ada di Lamongan.

Meskipun kondisi padi banyak yang terendam banjir, katanya, hal tersebut tidak mempengaruhi kualitas gabah petani. Karena menurutnya usia padi yang terendam memang sudah waktunya untuk di panen.

Dia mengatakan, petani bisa mengajukan klaim asuransi jikalau merasa rugi karena tanaman padinya kebanjiran. “Kalau di Lamongan ini petani diwajibkan membayar Rp200 ribu per hektare. Berhubung mereka dapat subsidi dari pemerintah makannya cukup membayar Rp36 ribu per musim,” katanya saat di lansir dari jppn.com.

Untuk tanaman padi periode Oktober sampai Maret 2020 seluas 66,967 ha dan sampai pertengahan April 2020 sudah panen kurang lebih 40.000 hektar.

baca juga : Jelang Panen Raya, Petani Jagung di Lamongan Malah Bisa Merugi. Kenapa?

 

Mawardi (60) berpose di atas tumpukan tanaman padi miliknya yang terendam banjir. Dia mengaku panen tahun ini rugi. Awalnya di lahan 1 hektare bisa menghasilkan gabah kering sekitar 8-9 ton. Tapi tahun ini menurun, diperkirakan hasilnya tinggal 4-5 kwintal. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan untuk tingkat provinsi, data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur membeberkan ada sejumlah 638 hektar area sawah tanaman padi rusak, seluruhnya ada di kawasan Kabupaten Gresik. Di kawasan kabupaten yang mempunyai luas sekitar 1.191,25 km2 ini memang mengalami banjir cukup parah di awal tahun baru.

Hadi Sulistyo, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur, dikutip dari tribunnews.com menjelaskan, dari data yang dilaporkan ke provinsi tersebut belum ada lahan yang mengalami puso.

Lanjutnya, tidak setiap petani mendaftarkan lahan pertanian mereka pada Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) di setiap masa tanam. Karena budaya mengansuransikan lahan pertanian untuk padi di Jawa Timur masih sangat rendah.

Padahal, dengan asuransi itu petani bisa mendapatkan jaminan serangan hama, kekeringan, dan termasuk jika mengalami gagal panen karena tanaman padinya terendam banjir. Mereka akan mendapatkan ganti rugi sebesar Rp6 juta per hektarnya.

“Petani masih banyak yang beranggapan bawah asuransi itu tidak penting. Hal ini karena kurang pemahaman, untuk itu kami terus turun melakukan sosialisasi dan edukasi,” tuturnya.

 

Buruh tani makan bersama usai memanen padi yang mengalami kebanjiran. Petani mengaku untuk panen tahun ini membutuhkan tenaga lebih ekstra. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version