Mongabay.co.id

Revisi UU Otonomi Khusus, Bagaimana Posisi Masyarakat Adat dan Alam Papua?

Pembangunan sawmill yang sedang berlangsung, 2018. Foto oleh Ulet Ifansasti untuk Greenpeace

 

 

Pada Januari 2020, Pemerintah dan DPR menyetujui 55 rancangan Undang-undang (RUU) masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2020, salah satu RUU pengganti Undang-undang Otonomi Khusus di Tanah Papua. Dari berbagai media, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menyatakan, hal-hal yang akan revisi antara lain, soal ekonomi, perizinan, dan royalti.

RUU ini masuk prolgenas sejak 2014 dengan nama RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua. Pada 25 September 2014, Komisi II DPR menolak membahasnya karena tidak melalui proses panja, pansus, rapat dengar pendapat dan lain-lain.

Baca juga: Menilik Eksploitasi Alam Papua Setelah 17 Tahun Otonomi Khusus

Agus Sumule, Dosen Universitas Papua, tim asistensi UU Otsus Papua, menyatakan, perlu memperkuat posisi masyarakat adat dalam RUU pengganti Otsus ini.

“Saya belum melihat upaya dari pihak terkait yang mencoba bagaimana memperkuat posisi masyarakat adat dalam RUU baru itu. Yang sudah berjalan baru pada aspek keuangan,” katanya dalam diskusi bertajuk “Tata kelola hutan dan lahan dalam UU Otsus,” April lalu.

 

 

***

Otonomi khusus (Otsus) Papua akan berakhir pada 2021. Otsus Papua diatur dalam UU No 21/2001 dan perubahan dalam UU Nomor 35/2008. UU Otsus berlaku di Papua dan Papua Barat.

Otsus Papua lahir dari ketidakpuasan masyarakat Papua atas situasi sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Papua. Ketidakpuasan itu tersebar di seluruh Papua. Ekspresi ketidakpuasan ditanggapi dengan cara kekerasan dan kekuatan militer hingga kasus pelanggaran HAM menumpuk di Papua.

Era reformasi ikut membawa pengaruh pada kebijakan Indonesia di Papua. Pemerintah pun menetapkan otsus. Melalui kebijakan ini, negara memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat Papua mengatur diri sendiri, namun tetap dalam kerangka Republik Indonesia.

Nilai dasar pertama dari Otsus Papua adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua. Perlindungan hak-hak orang Papua atas tanah dan air dalam batas-batas tertentu dengan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.

Menurut Sumule, dalam UU Otsus Papua, kata adat disebut 109, adat istiadat empat kali, masyarakat hukum adat 32 kali, masyarakat adat 30 kali, hak ulayat 18 kali, kultural lima kali, serta budaya lima kali.

“Kalau pakai ini untuk konten analisis yang sederhana, bisa tahu bahwa sebetulnya UU Otsus ini fokusnya pada masyarakat adat, fokus pada orang asli Papua.”

UU Otsus Papua juga bersifat lex spesialis. Semua UU yang diatur berbeda di Indonesia tetap mengikuti UU Otsus dalam penerapan di Papua.

Ada juga pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah. Untuk urusan Papua, wewenang pemerintah pusat hanya pada fiskal dan moneter, politik luar negeri, agama, pertahanan dan keamanan, dan yudisial. Lainnya diatur daerah.

 

Yupens dan Agustinus, menatap hutan adat Wonilai, Papua, tempat mereka hidup dan bermain sudah berubah jadi perkebunan-sawit. Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

 

Pelanggaran hak masyarakat adat dan deforestasi masa Otsus

Dalam 20 tahun otsus Papua, kekecewaan masyarakat adat atas masalah hutan dan lahan tak pernah berhenti. Konflik antara masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah terjadi di banyak tempat di Papua. Tidak jarang berakhir kekerasan.

Kasus terbaru akhir April 2020, TNI dan Polri operasi keamanan pada kampung-kampung di Distrik Aifat Timur Jauh, Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Teluk Bintuni. Mereka berdalih pengejaran terhadap oknum yang diduga sebagai pelaku kekerasan dan perampasan aparat Brimob. Kasus ini berawal dari ketidakpuasan masyarakat Adat Suku Moskona di konsesi PT Wanagalang Utama yang mendapat hak pengelolaan hasil hutan di wilayah itu.

Kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak pelanggaran hak masyarakat adat di Papua. Sebelumnya, pada 7 November 2019, perwakilan masyarakat adat Papua mengadu ke Komnas HAM di Jakarta. Mereka melaporkan pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam di Papua banyak merugikan masyarakat adat. Investasi perkebunan, pembalakan kayu, pertambangan yang melibatkan pemilik modal besar, merugikan masyarakat adat dan mengancam ruang hidup mereka.

Data Forest Watch Indonesia juga menunjukkan, laju deforestasi di Papua. Pada periode 2000-2009, laju deforestasi di bioregion Papua seluas 60.300 hektar pertahun. Meningkat tiga kali lipat pada periode 2009-2013 seluas 171.900 hektar pertahun. Periode selanjutnya, 2013- 2017, laju deforestasi pun makin meningkat jadi 189.300 hekatr pertahun.

“Mengapa sampai hari ini kita masih bicara soal penguatan masyarakat hukum adat kaitan dengan pelestarian hutan di Papua hampir 20 tahun setelah UU Otsus disahkan?”

Sumule mengatakan, ada dua masalah utama kegagalan penerapan UU Otsus di level pemerintahan. Pertama, kekosongan perangkat peraturan daerah yang jadi turunan dari UU Otsus.

Dalam UU Otsus, katanya, kewenangan yang dimiliki pusat hanya lima, yaitu, fiskal dan moneter, (politik) luar negeri, agama, pertahanan dan keamanan, dan yudisial. “Selebihnya diatur daerah. Persoalannya, apakah perangkat peraturan daerah untuk mengatur hal-hal di luar lima kewenangan itu sudah ada atau belum? Karena tidak boleh ada kekosongan hukum. Itu yang jadi masalah hingga sekarang.”

Kedua, kurang komitmen pemerintah dalam menjalankan UU Otsus baik pusat maupun daerah. Dalam pelaksanaan, UU Otsus tumpang tindih dengan UU lain di Indonesia. Selain itu, meski ada perdasus, implementasi tidak tampak dalam alokasi APBD maupun program kerja pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

 

Tambang yang beroperasi di dalam hutan Papua, di tepian Sungai Degeuwo, Nabire. Masyarakat pemilik ulayat makin tersingkir. Hutan mereka hancur, lingkungan mereka rusak. Sungai tercemar, penyakit sosial seperti miras, narkoba sampai HIV/AIDs merebak dampak kehadiran tambang emas ini. Foto: Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

 

Konflik wewenang pusat dan daerah

Tata kelola hutan dan lahan dalam kerangka otsus erat kaitan dengan hak-hak masyarakat adat. Selama pelaksanaan otsus, tata kelola hutan dan lahan ini banyak menuai masalah.

Masalah kewenangan pusat dan daerah soal tata kelola lahan tampak jelas dalam implementasi Perdasus Nomor 21.2008 tentang pengelolaan kehutanan berkelanjutan di Papua dan Peraturan Gubernur 13/2010 sebagai turunannya.

Berdasarkan perdasus itu, pemerintah Papua mengeluarkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu masyarakat adat. Ada 18 izin dengan luas lahan 78.040 hektar.

Hingga akhir masa otsus, izin-izin ini tidak bisa terimplementasi. Pemerintah pusat tidak mengeluarkan norma, kriteria, standar, dan prosedur (NSPK) untuk pelaksanaannya.

Selain pusat yang menolak menerbitkan NSPK, sisi lain perdasus ini mengandung kelemahan. Penerbitan tak didahului oleh pengakuan masyarakat adat dan kepastian wilayah adat. Pemberlakuan UU Pemerintah Daerah Nomor 23/2014 makin mempersulit. UU Nomor 23/2014 soal Pemerintahan Daerah, menarik wewenang urusan perkebunan, kehutanan dan pertambangan ke provinsi. Padahal, perdasus mengatur juga tentang peran pemerintah kabupaten dalam mengola urusan kehutanan.

Alih-alih menyelesaikan masalah ini, pemerintah pusat terus menerapkan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Izin-izin pemanfaatan hutan kepada korporasi terus jalan. Untuk masyarakat adat, pemerintah pusat malah mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan lewat skema perhutanan sosial.

Esau Yaung, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Papua Barat mengatakan, kebijakan perhutanan social tidaklah sesuai situasi masyarakat adat di Tanah Papua.

“Perhutanan sosial tidak sesuai. Dalam konteks hutan adat, hutan adat yang dipikirkan pemerintah pusat, itupun tidak sesuai dengan kondisi di Papua.”

Esau mengatakan, sampai saat ini belum ada hutan adat di Papua diakui pemerintah. Padahal. Katanya, di beberapa daerah di Sumatera, daerah tidak ada otsus, sudah ada hutan adat ditetapkan pemerintah daerah.

Upaya masyarakat sipil mendorong pengakuan masyarakat adat melalui pemetaan partisipatif. Ada sekitar 1,7 juta hektar lahan sudah terpetakan namun tak pernah jadi perhatian pemerintah terutama pemerintah daerah. Padahal, katanya, komunitas adat di Papua cukup jelas mulai dari suku besar, sub suku, hingga marga. Kepemilikan lahan ada di marga.

Hal sama disampaikan George Deida, perwakilan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua Barat. Perdasus masyarakat adat, katanya, hal krusial yang harus didorong.

“Itu satu jembatan baik bagi pengakuan kepada masyarakat adat di seluruh tanah Papua. Ketika masyarakat adat diakui, otomatis hak-hak hidup mereka diakui, karena ada cantolan hukum.”

 

Pembersihan hutan oleh PT Megakarya Jaya Raya, salah satu perusahaan dengan pemilik tak belum jelas di Papua. Foto: Ulet Ifansasti untuk Greenpeace.

 

Evaluasi menyeluruh

Dalam penyusunan, RUU yang masuk prolegnas ini diawali dengan evaluasi oleh Majelis rakyat Papua (MRP) Papua pada 25-27 Juli 2013. Perwakilan tujuh wilayah adat dan sebagian MRP Papua Barat juga hadir.

Ahmad Solihin, staf ahli MRPB menyatakan, kelemahan dalam evaluasi 2013 ini adalah evaluasi hanya fokus bidang yang dibiayai dana otsus. “Bidang utama seperti kehutanan dan lahan tidak dipandang sebagai bagian penting evaluasi. Padahal kalau kita perhatikan baik, sumber keuangan sampai ada dana otsus itu didapat dari pemanfaatan sumber daya alam di Tanah Papua,” katanya.

Deida dari LMA mengatakan, partisipasi masyarakat adat dalam evaluasi dan penyusunan RUU perubahan ini minim. “UU Otsus bicara tentang keberpihakan, pemberdayaan, dan perlindungan kepada masyarakat adat di atas Tanah Papua. Cuma, sangat minim membicarakan itu dengan masyarakat adat. Saya tidak tau kenapa.”

Dia meminta seluruh komponen baik pemerintah pusat dan DPR, Gubernur Papua dan Papua Barat beserta DPRD dan MRP agar membicarakan RUU ini kembali dengan melibatkan seluruh masyarakat adat.

Yan Mandenas, anggota DPR perwakilan Papua dan anggota Badan Legislasi DPR mengatakan, belum ada upaya provinsi baik Papua dan Papua Barat memfasilitasi dialog revisi UU Otsus usulan DPR yang sedang digarap Kemendagri ini.

“Sepanjang Pemprov Papua dan Papua Barat tidak berinisiatif mendorong proses pembahasan ini cepat, Baleg DPR tidak akan melakukan pembahasan dalam waktu dekat.”

Dari diskusi ini, gerakan masyarakat sipil di Papua berencana mendorong beberapa hal, seperti, mengakomodir aspirasi masyarakat luas untuk evaluasi, memberi bobot pada revisi UU Otsus, hingga penyusunan perdasus dan perdasi teknis.

Sumule mengingatkan, dua hal penting harus jadi perhatian dalam menyusun kebijakan dan implementasi pengelolaan sumber daya alam di Papua. Pertama, alam tetap lestari, kedua, masyarakat sejahtera.

“Kalau salah satu dari dua aspek tidak diperhatikan sungguh-sungguh, akan ada ketimpangan.”

 

***

Keterangan foto utama:  Pembangunan sawmill yang sedang berlangsung, 2018. Foto: Ulet Ifansasti untuk Greenpeace

 

Exit mobile version