Mongabay.co.id

Menjamin Ketahanan Pangan dan Kelestarian Ekologi di Masa Pandemi

Krisis pangan menghantui Indonesia sebagai dampak pandemi saat ini. Banyak upaya dilakukan berbagai pihak guna mengantisipasinya. Masyarakat mulai melakukan penghematan dan menanam bahan pangan lokal, gerakan beli hasil tanaman pangan petani lokal juga digencarkan.

Pemerintah pun merencanakan pembukaan lahan persawahan baru dengan ekstensifikasi pada 900 ribu hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah. Namun, wacana di atas menuai polemik di ranah publik.

Konversi lahan gambut dinilai kontraproduktif secara ekologis. Ekstensifikasi lahan gambut dikhawatirkan merusak ekosistem. Pangan memang merupakan kebutuhan mendesak dan prioritas saat ini, namun nasib keberlanjutan lingkungan tentu harus diperhatikan.

Pangan dan lingkungan, keduanya mestinya tidak saling dibenturkan. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang sangat dibutuhkan bagi manusia. Keduanya justru harus saling mendukung dan bersama-sama menjamin keberlangsungan hidup makhluk hidup termasuk manusia.

 

Petani bekerja di lahan persawahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Titik Permasalahan

Pangan merupakan penjamin kehidupan, sedangkan lingkungan merupakan penjamin keberlanjutan pembangunan. Penyelamatan ketahanan pangan dan jaminan keberlanjutan lingkungan (ekologis) merupakan dua hal yang harus dihadirkan bersama. Dalam kondisi pandemi COVID-19 ini, tantangan semakin berat dalam menghadirkan keduanya sekaligus.

Lingkungan yang menjadi media utama penghasil pangan daya dukungnya terbatas. Keterbatasan tersebut terjadi baik secara kuantitas maupun kualitas. Sebaliknya kebutuhan manusia akan pangan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan gaya hidup boros manusia.

Baca juga: Pandemi Corona: Perkuat Keragaman pangan, Indonesia Sehat Bukan Hanya Beras

Kondisi ini merupakan peringatan agar segera dilakukan langkah-langkah konkrit dalam rangka menguatkan daya dukung lingkungan dalam aspek pangan.

Pertama, luasan lahan pertanian produktif perlu dipertahankan dan dijaga dari derasnya upaya konversi. Mekanisme insentif dan disinsentif mendesak direalisasikan. Petani sudah seharusnya diringankan bebannya misal dengan meniadakan pajak lahan sawah, subsidi pupuk, dan lainnya. Sedangkan pelaku konversi perlu dikendalikan dengan ketegasan kebijakan lahan pertanian berkelanjutan atau memaksimalkan pungutan perizinan dan pajak.

Kedua, produktivitas pertanian perlu ditingkatkan sehingga mampu menjadi sektor menggiurkan. Pengembangan komoditi perlu divariasikan. Sektor hulu-hilir pertanian juga harus dihadirkan dengan petani sebagai pelaku utamanya. Kewirausahaan petani penting untuk ditumbuhkan dan didukung dengan kebijakan seperti bantuan modal, bimbingan teknis, distribusi produk, dan lainnya.

Ketiga, perilaku petani perlu diarahkan agar tercipta pertanian yang minim pencemaran. Kebijakan pertanian organik dapat dikembangkan. Petani juga harus dilindungi dari permainan ekonomi perusahaan-perusahaan pupuk besar.

Keempat,diversifikasi bahan pangan dan budaya memanfaatkan produk pangan lokal perlu digalakkan kembali. Hal ini untuk mengurangai ketergantungan pada produksi beras, sedangkan daya dukung lingkungan belum tentu cocok untuk komoditi padi. Selain itu, diversifikasi juga dapat memperbaiki kualitas tanah dan mengurangi hama dan penyakit.

 

Ekoefisiensi dan Ramah Ekologi

Kebijakan makro berupa pengembangan pertanian harus diimbangi dengan dukungan mikro berupa perilaku penduduk terkait pangan. Hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2012 menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) masih berkisar pada angka 0,57 (dari angka mutlak 1).

Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita baru setengah-setengah berperilaku peduli lingkungan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Peduli atau ramah lingkungan harus terus diupayakan termasuk konsumsi pangan. Sangat penting mendorong perilaku dan gaya hidup manusia agar efisien dan ramah lingkungan dalam hal pangan. Kunci pentingnya adalah melakukan efisiensi pemanfaatan dan meminimalisasi limbah akibat pemakaian.

Baca juga: Mengkritisi Salah Arah Kebijakan Cetak Sawah di Lahan Basah

Efisien artinya tepat pakai. Ketepatan tersebut menyangkut besaran dan fungsinya. Secara besaran tepat sesuai takaran yang dibutuhkan dan secara fungsional tepat sesuai kemanfaatan yang dibutuhkan. Selain itu efisiensi juga perlu didorong dalam aspek lingkungan atau dikenal dengan eko-efisiensi.

Kebutuhan asupan makanan setiap hari sudah ada takarannya. Pilihan makanan pun bisa diamati dari sisi kebutuhan kalori. Selain tidak berlebihan, konsumsi makanan juga perlu mempertimbangkan jenis makanan.

Di era kimiawi seperti sekarang, pilihan makanan yang bersifat alami selain baik dari sisi medis juga ramah lingkungan. Bandingkan dengan makanan-makanan olahan yang membutuhkan bahan bakar dan menghasilkan limbah.

 

Petani memanfaatkan musim kemarau dengan menanam jagung di lahan rawa, saat musim kemarau di Desa Meru, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Konversi lahan pertanian menjadi area permukiman dan industri menjadi tantangan di Indonesia. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Ibu rumah tangga juga perlu dikenalkan pada praktek eko-efisiensi dalam mengolah makanan di rumah. Contoh sederhana adalah menghemat listrik atau bahan bakar ketika memasak. Sejak kecil juga penting dididik agar makan secukupnya dan tidak menghasilkan sisa makanan yang sebenarnya masih bisa dimakan.

Pendekatan spritual, -apalagi saat menjalankan puasa ramadhan saat ini, bisa digunakan, misalkan memberi pemahaman bagi Muslim akan ajaran Nabi Muhammad yaitu makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang, artinya tidak boleh berlebihan. Nabi juga mengajarkan makan harus habis tanpa limbah yang harusnya masih bisa dimakan.

Dalam budaya Jawa nasi juga memiliki nilai spiritual. Jika makan kemudian tersisa dan terbuang percuma, maka dipercayai Dewi Sri, dewi penjaga dan pemelihara akan murka. Karena itu bagi orang Jawa menyia-nyiakan nasi adalah pantangan besar.

Upaya mengubah perilaku dan pola konsumsi harus dimulai dari level individu.

Saatnya gaya hidup hijau yaitu perilaku yang ramah lingkungan dibudayakan dan dijadikan trend baru. Gaya hidup hijau selain bervisi lingkungan juga sarat nilai sosial dan kesehatan. Mari mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, dan mulai sekarang juga.

Sektor pertanian penting meng­im­ple­men­tasikan sistem ramah ekologi. Sa­lah satu konsep dalam bidang per­tanian adalah konsep pertanian ter­pa­du atau Integrated Farming System.

Integrasi perlu ditingkatkan menjadi zero waste sehingga nilai tambah yang dihasilkan lebih tinggi atau Kon­sep integrated farming with zero waste system.

Usaha pertanian juga perlu adaptasi terhadap perubahan iklim. Pergeseran titikala mangsa penting dicermati. Informasi dan data instansi terkait cuaca penting diikuti. Pemerin­tah bertanggungjawab memasok infor­masi secara merata.

Keterpenuhan sekarang dan ancaman kerusakan ke depan tentu kurang bijaksana dan hanya menjadi bom waktu ancaman selanjutnya. Indonesia sebagai negeri agararis mesti terselamatkan dari darurat me­nuju swasembada pangan. Mo­der­nisasi sistem pertanian yang ramah ling­kungan dan mudah diakses petani pada akhirnya menjadi sebuah keniscayaan.

 

Ribut Lupiyanto, penulis adalah Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration). Artikel ini adalah opini dari penulis.

 

Exit mobile version