Mongabay.co.id

Jika Hutan dan Lahan Terbakar, COVID-19 Kian Menyebar?

Kebakaran hutan dan lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Musim kemarau tahun 2020 diperkirakan berlangsung dari Mei-September, sejalan dengan pendemi virus corona [COVID-19]. Jika musim kemarau ini terjadi kebakaran hutan dan lahat [karhutla], diperkirakan virus kian menyebar.

Berdasarkan lembar diskusi “Kemarau 2020, Kebakaran Lahan dan [Pencegahan] Penyebaran COVID-19” oleh Partners For Resilience dan Climate Centre, 5 Mei 2020, menurut BMKG pada 2020 ini tidak ada fenomena El Nino. Namun, sekitar 30 persen wilayah di Indonesia mengalami hujan bawah normal [lebih rendah rata-rata curah hujan selama 30 tahun terakhir]. Sekitar 57,6 persen hujan normal dan sekitar 12,3 persen hujan atas normal.

Wilayah yang mengalami hujan bawah normal tentunya memiliki peluang terjadinya kebakaran hutan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang sifatnya lebih basah, yakni normal atau atas normal.

Dibutuhkan upaya antisipasi pada wilayah yang mengalami hujan bawah normal, khususnya wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan pada 2019 lalu.

Sementara ini, ada empat provinsi yang akan mengalami hujan bawah normal, yang pada pada 2019 mengalami kebakaran hutan dan lahan.

Pertama, Provinsi Riau yang meliputi Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Bengkalis, Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kabupaten Indragiri Hilir. Di Riau tidak ada wilayah yang mengalami hujan normal.

Kedua, Provinsi NTT, yang meliputi Kabupaten Kupang dan Sumba Barat Daya. Ketiga, Provinsi Kalimantan Selatan yakni pada Kabupaten Tanah Laut [bagian selatan. Keempat, Provinsi Kalimantan Timur yang meliputi Kabupaten Berau [bagian tenggara], Kabupaten Paser dan sebagian Kabupaten Kutai Timur [bagian timur].

Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat tidak ada wilayah yang mengalami hujan bawah normal.

Sementara Sumatera Selatan, Jambi, Papua, dan NTB, yang masuk 10 besar provinsi dengan luasan lahan terbakar tahun 2019 lalu, tengah dicari informasinya.

Baca: Pandemi Corona, Waktunya Aksi Nyata Setop Deforestasi dan Perdagangan Satwa

 

Kebakaran hutan dan lahan harus dicegah. Terlebih saat ini sedang pandemi corona [COVID-19]. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Musim kemarau pada 2020 ini, selain akan memunculkan ancaman kebakaran, juga memiliki dampak lanjutan langsung berupa meningkatnya risiko penularan COVID-19 pada masyarakat di sekitar wilayah kebakaran lahan dan hutan.

Sejumlah literatur menunjukkan pencemaran udara dan asap meningkatkan penyebaran virus corona dengan meningkatnya peluang virus melayang lebih lama di udara, pada kondisi aerosol yang diciptakan asap.

Selain itu, orang dengan masalah pernapasan bawaan sebelumnya, seperti asma dan pneumonia, diketahui merupakan kelompok dengan tingkat kerentanan menderita virus corona.

Bagaimana jika kebakaran tetap berlangsung di hutan dan lahan yang selama ini sering terjadi, dan pendemi COVID-19 terus berlangsung dalam periode Juni-September?

“Maka, rencana kontijensi menghadapi hal ini perlu dipersiapkan. Persiapan sarana perawatan, tempat pengungsian [bilamana diperlukan] dengan tetap menjaga jarak sosial, kebutuhan masker memadai dalam jumlah besar adalah hal yang harus diutamakan. Dengan tindakan pencegahan yang memadai dan tepat, kita berharap kebakaran hutan dapat dicegah dan rencana kontijensi tidak perlu menjadi rencana operasi,” jelas laporan tersebut.

Baca juga: Virus Corona dan Kesehatan Mental Kita

 

Satwa juga menjadi korban akibat kebakaran hutan dan lahan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sumsel tetap terancam

Meskipun belum diketahui apakah hujan di wilayah Sumatera Selatan termasuk bawah normal, tapi kebakaran hutan dan lahan akan tetap berlangsung jika upaya pencegahan tidak dilakukan.

“Tetap terbakar, meskipun hujan normal. Buktinya selama musim penghujan ini sudah ditemukan ribuan titik api di Sumatera Selatan,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi kepada Mongabay Indonesia, Rabu [06/5/2020].

Pernyatan Yenrizal terkait informasi Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan BPBD Sumatera Selatan, Ansori, yang menyebutkan ditemukan 1.113 hotspot di Sumatera Selatan periode Januari-April 2020.

Hotspot ditemukan di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] sebanyak 266 titik, Muaraenim dengan 204 titik, dan Musi Banyuasin sebanyak 192 titik.

“Jadi sangat penting diawasi. Dampak kabut asap jelas akan memperparah kondisi pendemi COVID-19 ini,” ujarnya.

Dr. Najib Asmani, Ketua Yayasan Kelola Lanskap Berkelanjutan, mengatakan pendemi virus corona jangan sampai menghentikan berbagai upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan, khususnya gambut. “Jika berhenti, kebakaran pasti terjadi,” katanya.

“Penempatan Satgas Gabungan pada posko di titik rawan kebakaran perlu disegerakan, jangan sampai lengah. Jika tidak, kebakaran pasti akan terjadi,” kata mantan Ketua TRGD [Tim Restorasi Gambut Daerah] Sumatera Selatan ini.

 

Sumatera Selatan juga terancam kebakaran hutan dan lahan tahun ini terutama di wilayah gambut. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pisau mata dua

Dr. Edwin Martin, peneliti dari Litbang LHK Palembang kepada Mongabay Indonesia, Rabu [06/5/2020], memperkirakan kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan tetap akan terjadi jika tidak ada upaya pencegahan.

“Tingkat risiko pembakaran lahan, terutama lahan gambut, berdasarkan kajian kami, dapat dianalisis melalui segitiga anti api lahan gambut. Segitiga ini berupa tiga elemen yang saling berhubungan dan melengkapi, yaitu unsur kebasahan gambut, intensitas pengurusan lahan, dan modal sosial. Makin lemah taraf masing-masing elemen maka main tinggi risiko terjadinya pembakaran.”

Terkait kebijakan protokol kesehatan dalam rangka penanganan COVID-19, katanya, dapat menjadi menjadi pisau bermata dua.

“Jika semua kegiatan terhenti, baik program pemerintah [seperti pembuatan sekat kanal dan embung] maupun aktivitas ekonomi petani di lahan, maka elemen satu dan dua yakni kebasahan gambut dan modal sosial akan melemah, maka risiko kebakaran hutan dan lahan menguat,” katanya.

Jika pembatasan aktivitas ekonomi menyebabkan daya beli masyarakat menurun, maka bisa jadi luka modal sosial, terkait relasi masyarakat dengan lahan gambut yang umumnya dikuasai pihak swasta dan pemerintah, akan terbuka. “Ini berarti risiko kebakaran hutan dan lahan makin membesar,” ujarnya.

 

Virus corona yang mewabah dan menimbulkan kecemasan masyarakat dunia. Ilustrasi virus corona: Alissa Eckert & Dan Higgins/Centers for Disease Control and Prevention

 

Padat karya tunai

Guna mengatasi hal ini, kata Edwin, penguatan modal sosial harus ada. Yakni, model padat karya tunai [PKT] untuk warga di sekitar lahan gambut yang selama ini selalu terbakar.

Ini meliputi kegiatan pemasangan sekat kanal, embung, pengelolaan lahan untuk pangan [nanas, labu, empon-empon, dan lainnya], patroli kesiapsiagaan air dan alat pemadaman, pelatihan Pengendalian Pertama pada Kejadian Kebakaran [P3KK], dan sebagainya.

Kegiatan PKT ini hendaknya tidak hanya mengandalkan sumber dana dari dana desa atau anggaran pemerintah lainnya, tetapi harus ada peran besar sektor swasta.Tujuannya, memupuk dan memperlihatkan modal sosial pada masa krisis ini.

Najib Asmani menyatakan perlunya bantuan sosial. “Di sisi lain, di masa pandemi COVID-19, masyarakat di kawasan rawan kebakaran hutan dan lahan perlu didistribusikan bantuan sosial dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota, serta perusahaan. Dana Desa juga perlu disinkronkan pemanfaatannya untuk karhutla, sekaligus bantuan sosial,” katanya.

 

 

Exit mobile version