- Komunitas adat Bonokeling, Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah masih membuat oyek berbahan baku singkong sebagai alternatif bahan makanan pokok
- Selain itu, mereka juga menyimpan hasil panen padi sebagai bagian dari upaya mitigasi untuk menghadapi krisis pangan sebagai bentuk kearifan lokal
- Bagi warga yang tidak memiliki sawah, mereka dapat mbawon dengan upah gabah. Sehingga mereka dapat menyimpan gabah di rumah
- Pada saat panen seperti sekarang, warga adat Bonokeling akan mengembalikan pinjaman gabah yang diambil pada saat paceklik
Dapur di bagian belakang rumah Tawen, 60, agak gelap. Sinar matahari hanya sedikit yang menembus dinding kayu. Ia membawa oyek yang diletakkan tidak jauh dari lumpang berikut alu. Kedua alat itulah yang digunakan untuk menumbuk. Biasanya menumbuk singkong yang akan dijadikan oyek.
“Kalau warga Bonokeling, biasanya menyimpan oyek yang dibuat dengan bahan baku singkong. Sejak zaman dulu, singkong telah dijadikan makanan pokok selain beras. Kini, beras memang menjadi yang utama. Tetapi oyek masih tetap punya. Bahan makanan lain yang dari singkong adalah gesret, atau singkong yang diiris tipis-tipis, kemudian dikukus. Cuma kalau gesret tidak tahan lama, tidak dapat disimpan,”ungkap Tawen, warga Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah kepada Mongabay, Senin (4/5/2020).
Tawen mengungkapkan untuk memproses singkong menjadi oyek membutuhkan waktu panjang. Mulai dari dikupas, ditumbuk, dipanaskan, dikukus, kemudian dipanaskan lagi. “Ya, mungkin sekitar dua sampai tiga hari lah, tergantung panas sinar matahari. Kalau sudah jadi oyek, bisa disimpan lama, bisa lebih dari sebulan. Pembuatan oyek dilakukan kalau panen singkong. Oyek tetap tersedia, karena menjadi salah satu bahan pangan kami,”jelasnya.
Tak hanya oyek, keluarga Tawen juga memiliki simpanan gabah dalam bentuk kering. Kebetulan, saat sekarang tengah musim panen. Sehingga hampir semua warga juga sibuk panen dan mengeringkan padi untuk disimpan. “Kami sekeluarga memiliki simpanan gabah kering hingga 4 ton. Persediaan semacam ini sudah biasa untuk menghadapi masa paceklik. Kalau sudah punya simpanan gabah itu rasanya ayem (tenang),” jelas Tawen.
Warga lainnya, Sanlaling, 56, mengungkapkan kalau dirinya juga menyimpan gabah untuk berbagai macam persiapan masa paceklik. “Apalagi ada corona seperti sekarang, kami tidak mau nantinya kekurangan pangan. Sehingga begitu panen, sebagian besar kami simpan. Jadi, kalau ada yang dijual, ya hanya sebagian saja. Intinya, kami telah siap untuk menghadapi kemungkinan paceklik dan kekurangan pangan,” ujarnya.
Ia terlihat tengah mengeringkan gabah hasil panenan. Karena dia mempunyai tempat penyimpanan, maka Sanlaling juga menambah stok gabah. Totalnya ada 10 ton gabah yang dia simpan. “Gabah yang saya simpan ini, tidak untuk kebutuhan sendiri. Kalau nanti ada yang butuh pada saat paceklik, saya akan jual. Sebab, banyak juga warga yang tidak memiliki tempat untuk menyimpan. Ya, sekalian tolong-menolong, pada saat paceklik saya siap untuk menjual warga. Sehingga, warga juga tidak terlalu mengkhawatirkan ketika paceklik melanda,” katanya.
Menurutnya, tidak hanya dirinya yang menyimpan gabah untuk mencukupi kebutuhannya, namun juga penduduk lainnya. Bahkan, di setiap RT juga memiliki lumbung padi. Lumbungnya berbentuk bangunan yang berbarengan dengan Balai RT. “Lumbungnya itu tidak seperti zaman dulu, sekarang sudah bangunan tembok,” ujarnya.
baca juga : Mengapa Oyek dan Gaplek Jadi Andalan Ketika Kemarau Tiba?
Apa yang dikatakan oleh Sanlaling dibenarkan tetua adat dan juru bicara komunitas adat Bonokeling, Sumitro. Dia mengungkapkan di Desa Pekuncen memiliki 31 RT. Dari jumlah tersebut, 23 RT memiliki lumbung pangan. “Ke-23 RT itu umumnya didiami oleh anak putu Bonokeling. Sebab, lumbung merupakan salah satu tradisi yang hingga kini masih melekat dan dilestarikan oleh komunitas adat Bonokeling,”ungkapnya.
Sumitro mengatakan meski ada struktur kepengurusan di tingkat RT, tetapi untuk lumbung pangan, ada orang yang mengurus secara khusus. “Lumbung itu didirikan untuk mengantisipasi paceklik atau terjadinya krisis pangan. Intinya, jangan sampai warga Bonokeling di sini mengalami kesulitan pangan pada saat musim paceklik sekalipun.”
Antisipasi itu dilakukan sampai sekarang, karena warga adat Bonokeling pernah mengalami pengalaman buruk ketika krisis pangan terjadi. “Warga di sini pernah mengalami krisis pangan di tahun 1950-an. Waktu itu, terjadi kekeringan dan warga hanya dapat makan dedaunan. Salah satu penyelamatnya adalah daun kelor yang dibuat sayuran. Atas pengalaman itulah, maka saat sekarang warga menyimpan hasil panenan sendiri dan mengurus lumbung,”ujarnya.
Sumitro mengatakan pada saat lumbung dibentuk, masing-masing petani menyetorkan sebanyak 20 kg gabah. Pada saat paceklik, warga dapat meminjamnya. Pengembaliannya dilakukan pada saat panen tiba seperti sekarang.
“Kalau mereka pinjam 1 kuintal, misalnya, maka akan ada bunga 20 kg. Sehingga lumbung semakin lama, kian berkembang, tanpa harus ada yang menabung lagi. Jika belum kuat mengembalikan, maka cukup dikembalikan ‘bunga’-nya dulu atau 20 kg saja. Kenapa harus dilebihkan pengembaliannya? Karena kelebihannya sebagian akan disumbangkan untuk sumbangan berbagai macam ritual yang membutuhkan beras,” katanya.
perlu dibaca : Mitigasi Paceklik Pangan Dimiliki oleh Komunitas Adat Bonokeling, Seperti Apa?
Umumnya, lumbung akan penuh selepas panen selesai. Saat sekarang, rata-rata masih kosong, lantaran para petani tengah panen dan sebagian mengeringkan hasil panen. Sebab, gabah yang dikembalikan harus dalam bentuk kering, sehingga penyimpanannya bisa lama. Bagi warga yang tidak mempunyai sawah, masih dapat meminjam. Lalu dari mana mereka mendapatkan gabah? “Mereka yang tidak memiliki sawah dapat mbawon atau ikut serta dalam panen. Nanti upahnya berubah gabah. Jadi, bisa saja mereka mengembalikan dalam bentuk gabah.”
Kearifan lokal yang masih dipertahankan sampai sekarang menjadi upaya mitigasi ketika terjadi krisis pangan apalagi pandemi seperti sekarang. Bahkan, Badan Pangan Dunia PBB yakni FAO telah memperingatkan kepada seluruh negara untuk mewaspadai krisis pangan akibat kebijakan lockdown yang dilakukan oleh negara-negara lain. Termasuk kemungkinan mandeknya impor beras dari negara-negara yang selama ini menyuplai kekurangan beras di Indonesia.
Kepala Desa (Kades) Pekuncen Karso mengungkapkan kearifan lokal yang tetap mempertahankan lumbung pangan menjadi salah satu kekayaan tradisi untuk memitigasi kemungkinan terjadinya krisis pangan.
baca juga : Kearifan Lingkungan di Desa Rawan Bencana
“Yang selama ini jalan, lumbung pangan telah mampu membantu warga yang membutuhkan beras pada waktu paceklik. Mereka dapat meminjam dan pengembaliannya saat panen tiba. Pascapanen seperti sekarang, banyak yang siap-siap untuk mengembalikan. Nanti memunggu kering, baru gabah dikembalikan ke lumbung di masing-masing RT. Kapasitas lumbung bervariasi, tergantung dengan luasanannya, antara 3-4 ton. Selain itu juga menyesuaikan jumlah KK. Di sini, setiap RT berkisar antara 30-50 KK,”jelasnya.
Tak hanya itu, sebagian besar warga di Pekuncen, biasanya memiliki simpanan pangan lain, yakni oyek. Kalau dulu, oyek menjadi makanan utama, setelah nasi. Bahkan, biasanya nasi hanya untuk campuran oyek saja. Meski demikian, warga tetap mempertahankan oyek sebagai alternatif penyediaan pangan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas adat Bonokeling menjadi bagian penting dari mitigasi kemungkinan krisis pangan, terutama pada saat pandemi seperti sekarang.