Mongabay.co.id

Polusi Udara dan Kerentanan Terkena Virus Corona

Hidup bersama udara buruk seperti di Jakarta, memaksa warga berpikir, upaya mengurangi paparan, salah satu dengan pakai masker. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Baru-baru ini, lima peneliti dari Departemen Biostatistik Harvard, T.H. Chan School of Public Health menyerahkan makalah berjudul “Exposure to air pollution and Covid-19 mortality in the United States” kepada New England Journal of Medicine untuk ditelaah. Dalam makalah itu, Xiao Wu dan koleganya (PDF) memaparkan, pasien Coronavirus yang tinggal di kawasan dengan tingkat polusi udara tinggi sebelum pandemi lebih mungkin mengalami kematian.

Dalam studi itu, mereka menyelidiki paparan rata-rata jangka panjang partikel halus (PM2.5) dengan kasus kematian akibat Coronavirus disease 2019 (COVID-19) di Amerika Serikat. Ada 3.080 daerah setingkat kabupaten yang mereka teliti dan mencakup 98% populasi Amerika Serikat. Mereka mengumpulkan data PM2.5 selama 17 tahun terakhir di wilayah-wilayah itu.

Melalui riset ini, para ilmuwan menemukan, pasien yang mengalami paparan jangka panjang PM2.5, 15% lebih mungkin mengalami kematian akibat Corona dibanding mereka yang hidup di suatu daerah dengan kualitas udara lebih baik.

Di Manhattan, misal, jika dalam waktu dua dekade ini paparan partikel halus PM2.5 tak seburuk saat ini, mereka sebetulnya bisa mengurangi kematian akibat Virus Corona 248 lebih sedikit dibandingkan kematian saat penelitian (1.905 kematian per 4 April 2020).

Studi polusi dan tingkat kematian pasien COVID-19 juga dilakukan Edoardo Conticini, Bruno Frediani, dan Dario Caro. Melalui artikel berjudul “Can atmospheric pollution be considered a co-factor in extremely high level SARS-CoV-2 lethality in Northern Italy?” yang dipublikasikan melalui jurnal Environmental Pollution, mereka mencatat, ada kematian tinggi di Italia bagian utara, yakni Lombardy dan Emilia Romagna dibandingkan wilayah lain Italia.

Menurut data Perlindungan Sipil Italia, pada 21 Maret 2020, kedua daerah ini memiliki tingkat kematian 12%, di seluruh Italia 4,5%.

Dalam penelitian Conticini, dkk, memaparkan riset Royal Netherlands Meteorological menggunakan data Ozone Monitoring Instrument pada satelit Aura NASA yang menunjukkan, Italia Utara merupakan daerah paling tercemar di Eropa dalam hal kabut asap dan polusi udara.

Temuan ini diperkuat dengan data Air Quality Index (AQI) milik European Environment Agency (EEA) yang menyatakan, Lombardia dan Emilia Romagna, merupakan daerah paling tercemar di Italia (salah satu wilayah paling tercemar di Eropa).

 

Ilustrasi tiga dimensi virus corona yang mewabah dan menimbulkan kecemasan masyarakat dunia. Sumber: Alissa Eckert & Dan Higgins/Center for Disease Control and Prevention

 

Temuan ini memang masih jadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Salah satu periset, Dario Caro mengatakan, tentu saja banyak hal yang berkontribusi hingga menyebabkan pasien COVID meninggal, tetapi penelitian ini bisa jadi pelengkap tentang faktor-faktor penting yang memengaruhi kehidupan pasien.

“Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit pasien, di seluruh dunia kami menemukan hubungan dan penjelasan tentang apa yang penting. Kami menegaskan, hasil penelitian ini bukan argumen yang bertentangan dengan temuan lain,” kata Dario Caro dalam situs milik Aarhus University.

Saat ini, semua temuan baru bermanfaat untuk sains dan otoritas. Saya menganggap, pekerjaan kami merupakan pelengkap tentang faktor yang penting diketahui bagi perjalanan pasien,” kata Dario Caro.

Selain dua riset itu, baru-baru ini juga terbit studi pendahuluan tentang hubungan antara tingkat polusi udara dan kematian akibat Corona di Inggris.  Dalam laporan di The Guardian, penelitian ini belum melalui peninjauan sejawat, tetapi tentu bisa untuk memenuhi kebutuhan mendesak selama pandemi dan memperkuat bukti dari penelitian di Italia Utara dan Amerika Serikat. 

 

Polusi udara lemahkan sistem kekebalan tubuh

Penyakit jantung, pernapasan, dan hipertensi, merupakan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan polusi udara. Kini, penyakit itu dikaitkan dengan kasus COVID-19 yang parah. Penyakit ini, seperti dikatakan Kofi Amegah, ahli epidemiologi dan polusi udara dari University of Cape Coast, Ghana, kepada Deutsche Welle, polusi udara memang berkontribusi terhadap penurunan sistem kekebalan tubuh.

Seperti ditulis WHO dalam pernyataan pers, ada beberapa kelompok rentan terhadap COVID-19, yakni orang berusia di atas 60 tahun, dan orang-orang dengan penyakit seperti diabetes, penyakit jantung, penyakit pernapasan, atau hipertensi. Mereka memiliki risiko lebih besar terkena lebih parah atau kritis ketika terinfeksi virus SARS-Cov-2.

 

Sumber: Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19

 

Argumen ini diperkuat Aliansi Kesehatan Masyarakat Eropa yang menduga, polusi akan mengurangi peluang seseorang bertahan hidup dari wabah Corona. Pendapat ini berdasarkan penelitian pada pasien SARS-Cov-1 pada 2003 yang menemukan, pasien yang tinggal di lingkungan dengan polusi udara tinggi, dua kali lebih mungkin meninggal dibanding mereka yang memiliki kualitas udara baik. Bahkan, di daerah tingkat pencemaran sedang, risiko kematian mereka 84% lebih tinggi.

Di Indonesia, Katadata Insight Center meneliti, indeks kerentanan provinsi di Indonesia dalam menghadapi pandemi Corona. Hasil dari riset, ada tiga provinsi memiliki risiko yakni Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Kondisi ini karena beragam faktor seperti penduduk padat, mobilitas tinggi, dan kualitas udara buruk.

Situasi ini diperparah dengan kualitas layanan kesehatan Jawa Barat dan Banten, yang masih dianggap belum memadai.

Saat ini, berdasarkan data dari situs KawalCovid19.id per 9 Mei 2020 malam, Jakarta memiliki kasus COVID-19 terbanyak yakni 4.175 dengan kematian mencapai 371 jiwa, disusul Jawa Barat dengan 1.012 kasus dan 83 kematian. Jawa Timur ada 958 kasus dan 96 kematian, Jawa Tengah 724 kasus dengan 50 kematian. (Lihat tabel).

Dalam laporan Greenpeace pada Maret 2019, Jakarta merupakan wilayah yang memiliki kualitas udara terburuk di Asia Tenggara. Pernyataan ini berdasarkan data Kualitas Udara Dunia 2018 Air Visual IQ Air. Buruknya kualitas udara di Jakarta, tak hanya berasal dari peningkatan kendaraan pribadi yang mengaspal di jalanan Jakarta, juga dari sumber polutan lain misal, industri seperti PLTU yang mengelilingi Jakarta dalam radius 100 km.

Berdasarkan pemodelan Greenpeace, PLTU batubara yang beroperasi ini dapat berkontribusi 33-38% dari konsentrasi PM2.5 harian di Jakarta pada kondisi terburuk.

Seperti diberitakan CNNIndonesia.com , PLTU penyumbang polusi udara di Jakarta kebanyakan berasal dari Banten, seperti PLTU Lontar unit 1-3, PLTU Merak Power Station unit 1-2, PLTU Lontar exp. Juga PLTU Jawa 7, PLTU Lestari Banten Energi, PLTU Labuan unit 1-2, PLTU Suralaya Unit 1-7, PLTU Krakatau Daya Listrik, dan PLTU Suralaya Unit 8. Sebentar lagi, Banten kembali memproduksi polutan berbahaya ini dengan rencana pemerintah membangun  PLTU di Suralaya yakni PLTU Jawa 9-10.

Kehadiran PLTU tentu makin memperparah dampak lingkungan dan ancaman kesehatan bagi warga. Seperti pernyataan dalam laman Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), data satelit menunjukkan, polusi NOx yang sangat tinggi di daerah Suralaya karena pembangkit batubara.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak yang dalam Bisnis.com, sepanjang Januari-Oktober 2019 tercatat 15.300 orang terserang penyakit ISPA dan diare.

 

Kemacetan kendaraan bermotor yang berimbas pada peningkatan polusi udara dan kebisingan. Foto: Djoko Subinarto

 

Selain dari PLTU, polusi udara di Jakarta juga dari kantong industri di sekitar Jakarta, seperti Jawa Barat dan Banten.

Pakar Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah di Kontan, mengatakan, kontribusi pabrik terhadap emisi di Jakarta cukup besar, yakni 60%. Sayangnya, pemerintah justru berkontribusi terhadap industri penyumbang emisi itu dengan membangun PLTU di Cirebon dan Indramayu yang justru bisa memperparah kondisi udara di Jawa Barat.

Pada 2015, Greenpeace pernah riset bersama Universitas Harvard tentang dampak polusi udara dari PLTU batubara terhadap kesehatan. Mereka mengestimasi ada potensi kematian dini 21.200 jiwa pertahun termasuk di luar Indonesia dampak peningkatan risiko penyakit kronis pada orang dewasa dan infeksi saluran pernapasan akut pada anak akibat paparan partikel halus beracun dari pembakaran batubara.

Bahkan Vox melalui artikel berjudul “The deadly mix of COVID-19, air pollution, and inequality, explained” menerangkan, kerusakan karena polusi udara dapat terjadi sebelum bayi itu lahir karena ada partikel jelaga dalam plasenta sang ibu. Partikel ini bisa memengaruhi perkembangan janin seperti penurunan fungsi paru-paru. Kalau anak itu berkembang di daerah yang memiliki kualitas udara buruk, tentu akan makin memperburuk kondisi kesehatannya.

Dalam kasus COVID-19, kelompok lansia masuk dalam kategori usia rentan. Seperti ditulis oleh CNBC Indonesia tingkat risiko kematian pada kelompok umur di atas 60 tahun lebih tinggi dibanding kelompok umur di bawahnya. Risiko ini makin meningkat seiring bertambahnya usia, ditambah lagi kalau pasien memiliki riwayat penyakit rentan terhadap COVID-19.

 

Cerobong asap pembangkit batubara yang mengeluarkan zat-zat berbahaya bagi kesehatan manusia. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Kembali pada riset Greenpeace, bukan tak mungkin lansia yang secara akumulatif tinggal di lingkungan berpolusi tinggi akan makin rentan karena kekebalan tubuh menurun. Atau, bisa jadi, mereka yang tinggal di lingkungan berpolusi akan terkena penyakit degeneratif oleh paparan udara kotor, hingga dalam wabah COVID-19 ini mereka jadi kelompok rentan.

Masalah lain mungkin muncul yakni, ketimpangan akses pelayanan kesehatan. Mereka yang tinggal di perkotaan dan memiliki kemampuan finansial baik, tentu lebih mudah mengakses layanan kesehatan primer dan mendapatkan fasilitas kesehatan lebih baik.

Apakah akan membiarkan kualitas udara buruk terus meracuni kita dan membuat kian rentan? Padahal, udara bersih, lingkungan sehat, dan jaminan atas kesehatan adalah hak warga negara.

 

***

Keterangan foto utama: Hidup bersama udara buruk seperti di Jakarta, memaksa warga berpikir, upaya mengurangi paparan, salah satu dengan pakai masker. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Daftar Pustaka

[1] Xiao Wu, et. al. 2020. Exposure to air pollution and Covid-19 mortality in United States.

[2] Conticini, E., et.al. 2020. Can atmospheric pollution be considered a co-factor in extremely high level of SARS-Cov-2 lethality in Northern Italy? Environmental Pollution Journal.

[3] “Link between air pollution and corona mortality in Italy could be possible” dipublikasikan oleh Aarhus University

[4] “Coronavirus: Air pollution might raise risk of fatality” dipublikasikan oleh Deutsche Welle

[5] “Media Statement: Knowing the risk for COVID-19” dipublikasikan oleh WHO

[6] Yan Cui, et. al. 2003. Air pollution and case fatality of SARS in the People’s Republic of China: an ecologic study. Environmental Health Journal.

[7] “Jakarta, Banten, & Jabar Paling Rentan terhadap Covid-19” dipublikasikan oleh Katadata

[8] “Jakarta Peringkat Satu di Asia Tenggara untuk Kualitas Udara Terburuk” dipublikasikan oleh Greenpeace

[9] “Mengatasi Polusi Udara dengan Pembatasan Kendaraan Bermotor Tidaklah Cukup” dipublikasikan oleh Greenpeace

[10] “Ringkasan: Kita, Batubara, dan Polusi Udara” dipublikasikan oleh Greenpeace

[11] “The deadly mix of Covid-19, air pollution, and inequality, explained” dipublikasikan oleh Vox

[12] “Walhi: 10 PLTU Batu Bara Sumbang 30 Persen Polusi Jakarta” dipublikasikan oleh CNNIndonesia.com

[13] “PLTU Suralaya Menyumbang Pencemaran NOx yang Tinggi di Jawa, Sejumlah Organisasi Lingkungan Desak Pendana Korea Tidak Terlibat dalam Proyek Ekspansi PLTU Suralaya” dipublikasikan oleh Walhi

[14] “Pengamat: Polusi industri di Jakarta Perlu Dituntaskan” dipublikasikan oleh Kontan

[15] “Walhi Soroti Proyek PLTU di Jabar: Mulai dari Isu Lingkungan, Soal Kesejahteraan Masyarakat Hingga Aroma Dugaan Korupsi” dipublikasikan oleh BandungKita.id.

 

*  Yuyun Indradi dan Widia Primastika. Kedua penulis dari Trend Asia, sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak dalam kampanye energi bersih terbarukan. Tulisan ini merupakan opini para penulis.

 

 

 

Exit mobile version