Mongabay.co.id

Mau Tanam Ubi di Lahan Sengketa dengan Perusahaan, Orang Sakai Terjerat Hukum Merusak Hutan

 

 

 

 

Jaksa Irvan R Prayogo menuntut Bongku penjara satu tahun denda Rp 500 juta, subsider 1 bulan kurungan. Bongku didakwa bersalah karena menebang pohon dalam kawasan hutan, sebagaimana dakwaan ketiga, Pasal 82 Ayat (1) Huruf c UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

Irvan mengatakan, Bongku berkebun dalam konsesi PT Arara Abadi dengan menebang 200 pohon eukaliptus dan akasia. Areal itu masuk izin hutan tanaman industri berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 743/Kpts-II/1996 dan Keputusan Menteri Kehutanan No.703/MENHUT-II/2013.

Berdasarkan revisi rencana kerja usaha HTI 2019, Bongku berkebun dalam areal tanaman pokok perusahaan.

Menurut Tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Penasehat Hukum Bongku, penerapan UU P3H tidak tepat karena, Bongku menebang pohon seorang diri untuk tanam ubi manggalo atau ubi racun sebagai makanan pokok mereka. Selain itu, masyarakat Suku Sakai sudah hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan sejak dulu.

Mengutip keterangan Ahli Ahmad Sofyan, yang disusun dalam pembelaan Tim LBH Pekanbaru, unsur setiap orang dalam pasal tuntutan jaksa, harus memenuhi syarat, satu kelompok terstruktur terdiri dua orang atau lebih, secara terorganisir, dalam waktu tertentu dan untuk kepentingan komersil.

Tim LBH Pekanbaru juga mengutip putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng No 11/2018 dan Pengadilan Negeri Banyuwangi No 516/2018, dengan peristiwa lebih kurang seperti Bongku.

Andi Wijaya, Direktur LBH Pekanbaru, mengatakan, Bongku tak berniat merusak hutan. Bongku hanya berladang ubi.

Suku Sakai bergantung pada hutan sebagai mata pencaharian sehari-hari. Mereka punya tradisi menjaga ekosistem hutan dan tak memerlukan lahan luas untuk memenuhi kebutuhan hidup.

“UU P3H bukan untuk pada masyarakat dalam dan sekitar kawasan hutan yang berusaha memenuhi kehidupan sehari-hari secara tradisional atau tak untuk komersil,” katanya mengutip Pasal 1 Angka 6 dalam UU itu.

LBH Pekanbaru juga menolak unsur, menebang ‘pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah.’ Menurut mereka, jaksa tidak mengaitkan dengan Pasal 13 Ayat (1). Sebab, pasal ini berkaitan dengan Pasal 12 Huruf c yang diuraikan jaksa dalam dakwaan ketiga untuk menuntut Bongku.

Menurut Syahdiman, Ahli Planologi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, yang mengambil 14 titik koordinat di tempat perkara dan memploting pada peta lampiran SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 903/2016 tentang Kawasan Hutan Riau, Bongku menebang pohon di hutan produksi tetap.

Tim LBH Pekanbaru menolak pernyataan Syahdiman bahwa, areal yang berizin tidak boleh diberi izin sama di atasnya. Syahdiman, katanya, tidak berwenang bicara izin karena keahlian cukup menjelaskan soal pengukuran dan pemetaan.

 

Rumah sewa Bongku, tak jauh dari tempat dia mau tanam ubi, yang dituduhkan telah menebang banyak eukaliptus dan akasia. Foto: Walhi Riau

 

Tim LBH Pekanbaru menilai, jaksa tidak mempertimbangkan keterangan saksi, bahwa obyek perkara masih proses penyelesaian sengketa. Mediasi antara masyarakat Sakai dan Arara Abadi difasilitasi KLHK belum mencapai kesepakatan sejak 2015.

Mereka juga tidak yakin, Bongku menebang 200 batang pohon eukaliptus dan akasia berumur empat tahun. Menurut mereka, Bongku menebang eukaliptus dan akasia yang tumbuh liar karena pohon-pohon itu hanya satu atau paling banyak lima kali dia tebas lalu tumbang.

Goldfried Pandiangan, mantan karyawan Arara Abadi, mengatakan, biasa perusahaan tak mencampur akasia dan eukaliptus dalam satu areal. Pandiangan beri kesaksian meringankan Bongku. Dia pernah terlibat penyelesaian sengketa lahan antara masyarakat Sakai dan Arara Abadi.

“Jaksa mencari-cari kesalahan Bongku. Seolah Bongku diperintahkan menebang pohon. Ada orang lain tanam karet di sekitar lokasi yang dihubung-hubungkan dengan perbuatan terdakwa,” kata Rian Adelima Sibarani, Tim LBH Pekanbaru.

Jaksa dianggap lebih utamakan kepentingan Arara Abadi ketimbang kepentingan negara. Pasalnya, dalam pertimbangan memberatkan Bongku jaksa menyebutkan, pohon-pohon yang ditebang mengurangi volume panen Arara Abadi.

Dalam rilis Koalisi Pembela Hak Masyarakat Adat menyebutkan, kasus ini menyita perhatian publik, akademisi dan lembaga pegiat HAM lain. Ada enam amicus curiae (sahabat pengadilan) dari akademisi yang ditujukan pada kasus Bongku. Yakni, dari Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Erdianto, dosen hukum pidana Universitas Riau, Mexsasai Indra, dosen Program Magister Ilmu Hukum Universitas Riau.

Lalu, Hayatul Ismi. dosen Fakultas Hukum Universitas Riau. Zainul Akmal, dosen Fakultas Hukum Universitas Riau), dan Grahat Nagara, dosen Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia dan dosen Hukum Agraria Sekolah Tinggi Hukum Jentera) serta Roni Saputra, peneliti Hukum Yayasan Auriga Nusantara. Kemudian, satu amicus curiae dari Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (Elsam).

​Amicus curiae (sahabat pengadilan) adalah pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukum kepada pengadilan. Keterlibatan pihak yang berkepentingan dalam sebuah kasus ini sebatas memberikan opini dalam bentuk brief.

Di Indonesia, amicus curiae eksis dalam kasus kasus yang jadi perhatian publik dan membantu pengadilan untuk memperoleh informasi lebih dalam terkait perkara yang sedang diadili.

Adapun koalisi terdiri antara lain, akademisi John Hendri, Walhi Riau, Fitra Riau, Senarai, Lingkar Hijau Pesisir, Jaringan Masyarakat Gambut Riau Wilayah Bengkalis, Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyah) STAIN Bengkalis, GMI Bengkalis, Komunitas Sanggar Anak Pulau dan HMI Komisariat STAIN Bengkalis.

 

Peta lokasi Bongku menebang akasia dan eukaliptus di wilayah sengketa antara Suku Sakai dan Arara Abadi.

 

 

Konflik tak kunjung usai

Awal November 2019, Bongku, orang Sakai, warga RT 01/RW 02, Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Mandau, Bengkalis, Riau, hendak tanam ubi manggalo. Karena belum punya lahan, Bongku menebang sejumlah pohon eukaliptus dua hari berturut-turut.

Minggu 3 November 2019, jelang tengah hari, Harianto Pohan, Danton Sekuriti PT Manggala Cipta Persada (MCP), subkontraktor PT Arara Abadi, bersama anggotanya, Usman, Tobias Tangan dan Supriadi, sedang patroli dan melihat Bongku. Mereka memfoto kejadian itu lalu membawa Bongku ke Kantor Distrik 38, berikut sebilah parang dan potongan pohon bekas tebangan.

Pohan lapor ke Humas Arara Abadi Distrik Duri II Km 38 Edi Mulyono. Setelah itu, Harianto dan kawan-kawan bawa Bongku ke Polsek Pinggir. Mulyono memberitahu Koordinator Planning Survey Arara Abadi Distrik Duri II Sudarta.

Sudarta cek lokasi dan mengambil titik koordinat. Katanya, sebagaimana terangkum dalam kesaksian penuntut umum, Bongku membabat setengah hektar akasia dan eukaliptus di petak D0404. Luas areal tanam di sana 29,4 hektar.

Menurut Bongku, eukaliptus dan akasia yang dia tebang dalam lahan adat perjuangan Suku Sakai. Dia tumbuh liar.

Pengakuan Bongku dibenarkan Bathin Beringin Ridwan, Ketua Adat Suku Sakai, yang jadi saksi meringankan Bongku.

Gejolak mereka dengan Arara Abadi sudah mulai sejak 1990-an.

Ridwan bercerita, perusahaan tebang pohon alam dengan chainsaw, membakar lalu mengganti dengan akasia.

Masyarakat Sakai menolak dan beberapa kali menghalau pekerja perusahaan. Mereka justru berhadapan dengan pada aparat keamanan dengan senjata. Masyarakat Sakai tak kuasa membalas dengan fisik.

Di sana tanah leluhur mereka, perkampungan dan bekas berladang. Masyarakat Sakai, berladang, tinggal sampai dikuburkan.

“Bekas ladang itu tidak akan kami tinggalkan selamanya. Suatu saat kami kembali ke sana. Karena kami berladang pindah-pindah. Istilah kami, tebang di muka hijau di belakang,” kata Ridwan.

Masyarakat Sakai pernah dapat janji kebun karet dan ladang ubi. Sampai sekarang, iming-iming itu tak pernah ada. Arara Abadi, kata Ridwan, pernah mengukur sekitar 7.000 hektar lahan untuk masyarakat Sakai. Nyatanya, areal itu justru mereka tanam sendiri dengan akasia dan eukaliptus.

Masyarakat Sakai, katanya, mau tak mau menguasai kembali areal itu dengan cara menanam keperluan sehari-hari ketika perusahaan selesai panen. Mereka takut menebang pohon perusahaan karena akan dipenjara, seperti terjadi pada Bongku. Ridwan sudah pernah mengingatkan Bongku.

Pada 11-14 Agustus 2015, Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pernah turunkan tim penilai bertemu masyarakat Sakai dan manajemen Arara Abadi.

Tim mencatat beberapa hal. Pertama, masyarakat Sakai Bathin Beringin menuntut pengembalian wilayah ulayat seluas 2.912 hektar yang diduduki Arara Abadi.

Kedua, Arara Abadi merasa areal konflik sudah selesai melalui skema pembangunan tanaman kehidupan.

Ketiga, saat itu masyarakat Sakai Bathin Beringin telah menduduki lahan konflik dengan mendirikan gubuk dan berkebun serta menanam tanaman hortikultura.

Keempat, di dalam kelompok Bathin Beringin ada perpecahan yang masing-masing mengklaim bathin paling sah.

Untuk menentukan perwakilan 13 bathin yang akan terlibat, Direktur PKTHA bersama tim Gakkum KLHK dan Tim Asesor terdahulu kembali lakukan penilaian pada 18 Mei 2016. Tindak lanjutnya, ditawari skema dialog melalui mediasi.

Para pihak sepakat. Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) menunjuk mediator berdasarkan SK. 42/PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2016.

Pada 11-13 Mei 2017, pertemuan pra mediasi untuk menyepakati tata cara mediasi dan mulai mediasi. Para pihak masih belum menyepakati agenda pembahasan dan masih pada usulan agenda masing-masing.

 

Lokasi Bongku, tebang akasis. Foto: Walhi Riau

 

Sejak itu, tim mediator berkoordinasi dengan Direktorat PKTHA terkait kondisi penanganan. September 2017-Juni 2018, tim dapat informasi beberapa penanaman oleh Bathin Beringin di area kerja Arara Abadi. Masing-masing pihak membenarkan itu.

“Tim mediator mendorong para pihak tetap komitmen dengan proses dan menjaga kondisi tetap kondusif. Namun dari rangkaian kejadian sangat jelas, masing-masing pihak tidak komitmen bermediasi,” kata Muhammad Said, Direktur PKTHA, lewat pesan Whatsapp.

Pada Agustus 2018, salah satu mediator mengundurkan diri karena alasan pribadi dan komunikasi dengan para pihak makin sulit.

Said bilang, pada 12 November 2019, Syafrin, tim negosiator Kelompok Bathin Beringin juga tokoh pemuda Sakai, minta peta tinjauan lapangan hasil penilaian kedua Direktorat PKTHA. Syafrin juga mengabarkan penangkapan Bongku. Permohonan itu belum dipenuhi dan Syafrin ditanya balik soal  masyarakat bercocok tanam di area yang belum disepakati.

Syafrin juga bersaksi meringankan buat Bongku di pengadilan.

Menurut Sugianto, Social and Security Department Head Arara Abadi, lahan diklaim masyarakat Sakai sebelumnya tidak pernah dikuasai. Ketika itu, mereka hanya menempati Desa Penaso, Sialang Rimbun dan Muara Basung. Bahkan, lahan yang ditunjuk masyarakat Sakai ternyata sebagian besar sudah dikuasai pihak ketiga.

“Antara 2001-2019, sejumlah oknum masyarakat Sakai terus berupaya menduduki lahan dan menghentikan operasional perusahaan,” katanya lewat Whatsapp.

Arara Abadi meyakini, mereka berpegang pada batas konsesi sesuai izin dari pemerintah. Sejak 2013, Arara Abadi juga memetakan konflik di konsesi, termasuk dengan masyarakat Sakai.

Arara Abadi upayakan mediasi melibatkan Camat Pinggir dan DPRD Bengkalis pada 2012 dan 2015. Mereka mencapai berbagai kesepahaman dan kesepakatan bersama yang tertuang dalam berita acara.

“Itu bukti ada kesepakatan penyelesaian sengketa yang terjadi ketika itu,” kata Sugianto.

Sugianto mengatakan, perusahaan berupaya memberdayakan masyarakat Sakai, antara lain, kemitraan pengelolaan tanaman kehidupan di sebagian area SK Menteri Kehutanan atas nama Arara Abadi, mempekerjakan masyarakat sebagai tim pencegah kebakaran serta menjalankan sejumlah program corporate social responsibility (CSR).

“Kami menyayangkan, sejak tercapainya kesepakatan sejumlah oknum masyarakat Sakai berulang kali menduduki lahan perusahaan serta menghalangi operasional kami.”

Untuk mencapai resolusi, katanya, Arara Abadi tetap komitmen mematuhi hukum Indonesia serta prinsip-prinsip internasional terkait penghormatan hak-hak masyarakat lokal.

Bongku masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan tetapi tak kuasa memenuhi keperluan hidup dari sana.

Selama mendekam di penjara, Bongku meninggalkan seorang istri dan empat anak. Dia tak punya lahan. Karena kehilangan tulang punggung keluarga, istri dan dua anak tertuanya—belum usia kerja—terpaksa memungut berondolan sawit di kebun masyarakat untuk memenuhi keperluan perut.

 

Keterangan foto utama: Bongku, orang Sakai didampingi LBH Pekanbaru dalam sidang di Pengadilan Negeri Pelalawan. Foto: LBH Pekanbaru

 

Exit mobile version