Mongabay.co.id

Pandemi Corona, Kondisi Macaca di Maros Makin Rawan

Macaca maura, banyak turun dari hutan dan duduk di pinggir jalan lintas Maros, menanti pengemudi jalan memberi pakan.Mereka tak takut bertemu manusia, bahkan mendekat, berharap ada sisa makanan buat mereka. Di tengah pandemi Corona ini, kondisi Macaca makin terancam. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

April lalu, jalan utama dari Kabupaten Maros menuju Wajo, cukup lengang. Di antara tebing karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul), jalan aspal mulus yang membelah kawasan itu ada puluhan monyet ekor pendek duduk di pinggir jalan. Sejatinya, kawanan itu tak sedang beristirahat, melainkan menunggu makanan dari pengendara yang melintas. Di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), ini kondisi mereka makin rentan.

Monyet-monyet itu jenis Macaca maura, dikenal dalam bahasa lokal sebagai dare. Macaca merupakan endemik Sulawesi dan mamalia terancam punah (masuk daftar merah dari International Union for Conservation of Nature).

Kebiasaan monyet ini turun dan melintasi jalan, kaena jalan itu adalah wilayah jelajahnya. Jalan inilah juga jadi kekhawatiran upaya konservasi. Beberapa individu melintas, bahkan tertabrak. Ketika melihat monyet-monyet ini bergerombol, mereka terlihat begitu gesit, berlari, memanjat, dan berteriak diantara dahan pohon.

Entah bagaimana keadaan bermula, tahun 2015, monyet itu malah sudah tak menghindari manusia. Kalau kendaraan melintas, monyet-monyet itu bahkan mendekat. Akhirnya, beberapa dari mereka tertabrak kendaraan. Monyet tak pernah kapok, makin hari makin banyak berkumpul di pinggir jalan.

Melihat banyak monyet di pinggir jalan, para pengendara yang melintas makin antusias. Orang-orang membuka jendela mobil, mengeluarkan kamera dan telepon genggam lalu merekam. Untuk membuat kawanan itu mendekat, orang-orang memberikan sisa makanan pada monyet.

Sejak 2016 hingga awal 2020, berkali-kali saya melihat monyet itu mengunyah kerupuk, makanan ringan, kacang, tahu isi, pisang goreng, hingga jagung rebus.

Papan pengumuman di sepanjang jalan turunnya kawanan monyet, yang dipasang TN Babul, tentang larangan memberikan makanan, tak dihiraukan. Petugas Taman Nasional, berkali-kali harus berdebat dengan para pengendara.

 

Macaca yang menanti pengendara memberikan makanan di tepi jalan. Foto: EKo Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sebagian besar, pengendara memberi sisa makanan karena alasan iba pada monyet. Bahkan, sekali waktu, tahun 2016, Bupati Bone A Fashar Padjalangi, yang melintas membawa setandan pisang dan membagi-bagikan pada monyet itu. Tim medianya, membuat siaran berita mengenai kepedulian sang bupati pada hewan dan membagikan foto si bupati yang sedang berjongkok membuang pisang.

Pada 2015, hanya ada satu kelompok monyet turun ke jalan, tahun 2019, bertambah jadi tiga kelompok. Di wilayah Karaenta, monyet-monyet ini terbagi dalam beberapa kelompok dan membagi wilayah jelajah masing-masing. Kelompok B merupakan kelompok awal yang cukup intens berinteraksi dengan manusia karena jadi sampel penelitian. Selain itu, kelompok B ada seorang pawang.

Saat melintas menggunakan sepeda motor di tengah masa pandemi Corona, beberapa monyet mengikuti saya. Saat berhenti, monyet itu mendekat dan mengeluarkan suara khas. Ketika saya menjauh, monyet itu membuat gaduh dan duduk kembali di pinggir jalan.

Saya melihat sebuah mobil melintas tiba-tiba membuang sekantong kresek pisang goreng. Kawanan itu jadi gaduh. Mereka saling berkejaran. Yang mendapatkan pisang, duduk dengan cepat dan melahapnya.

Berselang satu jam, pengendara lain melemparkan kerupuk. Monyet riuh.

Dalam, Interaction with humans are jointly influenced by life history stage and social network factors and reduce group cohesion in moor macaques (Macaca maura) di Nature, menuliskan, kalau intensnya interaksi kawanan monyet liar ini dengan manusia membuat jejaring sosial kawanan terganggu. Temuan mereka, memperlihatkan, kalau pengaruh manusia terhadap satwa liar seringkali memperburuk konservasi.

Erin P. Riley, professor Antropologi dari San Diego State University, California, Amerika Serikat, yang penelitian pada Macaca maura sejak 2010 di Karaenta mengatakan, kebiasaan kawanan turun ke jalan menunggu makanan akan memberikan dampak sangat buruk pada monyet.

“Ada kemungkinan monyet yang menunggu makanan di pinggir jalan, tidak mengeluarkan banyak energi seperti ketika masih dalam hutan,” katanya.

 

Macaca sedang makan makanan yang diberikan pengendara di jalan lintas Maros. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, selama mengikuti dan mengamati prilaku Macaca maura sering turun ke jalan untuk menyebrang—karena jalan ada di tengahnya home range mereka— sekitar 2015, monyet mulai menunggu di pinggir jalan. “Setelah itu orang yang melintas lebih mudah melihat dan mulai memberi makanan,”

Penjelasan lainnya, kata Riley, setelah monyet makin banyak turun ke jalan, bertambah banyak pula warung di pinggir jalan dan lebih banyak pengendara berhenti untuk istirahat di warung dan berbelanja. “Sekarang banyak kelompok turun ke jalan, jadi dampaknya makin besar, hingga mempengaruhi tingkat populasinya,” kata Riley melalui surat elektronik.

Selain itu, katanya, kawanan monyet liar yang makin intens berinteraksi dengan manusia memungkinkan terjadi perpindahan penyakit. Meski belum ada penelitian khusus pada spesies Macaca maura di Karaenta, tetapi dia pernah melihat monyet mengalami diare setelah makan makanan manusia.

Riley bilang, ada kemungkinan monyet tertular penyakit dari manusia. “Tentu saja. Sudah ada bukti bahwa antibodies dari patogen manusia, didapatkan dalam monyet Macaca Sulawesi, baik yang monyet yang dipilihara dan monyet liar. Antibodies untuk influenza A, measles, dan parainfluenza.”

 

Satwa liar rentan

Memasuki bulan kedua, pandemi Corona di Indonesia, sejak awal April Sulawesi Selatan, menjadi salah satu wilayah zona merah. Wilayah ini jadi tempat pertama terbanyak di luar pulau untuk orang yang terinfeksi virus itu.

Karaenta, tempat jelajah kelompok Macaca maura, dan jalur perlintasan utama adalah bagian Maros, atau sekitar 25 kilometer dari pusat kabupaten.

Kalau interaksi manusia dan monyet terus terjadi, Riley khawatir dampak rentan pada spesies Macaca yang terancam itu. “Seperti manusia, ada kemungkinan Macaca Sulawesi bisa terjangkit Virus Corona. Sebuah penelitian baru menjelaskan, kalau monyet rhesus macaca di laboratorium terkena Virus Corona dan virus itu menyebabkan pneumonia,” katanya.

Meskipun penelitian ini belum terkonfirmasi dengan baik karena belum peer review. “Jadi harus menunggu sampai dikonfimasi, baru bisa mengatakan dengan pasti akan penularan itu.”

Sebelumnya, pada awal Maret, penularan Corona dari manusia ke hewan, telah terjadi di Kebun Binatang Bronx, Amerika Serikat. Kasus penularan itu menginveksi harimau Sumatera dalam area kebun binatang. Harimau itu diyakini tertular dari seorang penjaga kebun binatang.

Ngakan Putu Oka, Guru Besar Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, mengatakan, intensnya interaksi monyet dengan manusia, akan memberikan dampak besar pada kawanan. “Interaksi yang makin sering itu akan jadikan hubungan ini makin mengerikan,” katanya. “Satu satwa tertular di alam, bisa sangat fatal akibatnya.”

Kekhawatian Putu Oka tidak berlebihan. Dia membandingkan, penanganan di kebun binatang dengan hewan di alam liar. Di kebun binatang hewan yang terinfeksi akan cepat di karantina. Di alam liar, sulit mendeteksinya.

Kini, bagaimana spesies Macaca ini tidak makin terancam di masa pendemi Corona? “Setiap orang harus menjaga jarak dari monyet dan harus berhenti memberi makanan, ataupun buang sampah di pinggir jalan. Pengendara yang sedang sakit dan memegang makanan, kemudian diberikan ke monyet, ada kemungkinan virus bisa saja berpindah ke monyet,” kata Riley.

 

Macaca berkumpul di tepi jalan, sudah ‘akrab’ dengan manusia yang biasa melintas dan memberi makanan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana Taman Nasional melihat kemungkinan itu? Taufiq Ismail, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) TN Babul mengatakan, hanya bisa memberi imbauan pada setiap pengendara. “Tahun lalu (2019) staf taman nasional sudah berjaga (di Karaenta) dan melarang pengendara memberi makan pada monyet,” katanya.

Hal sama dikatakan peneliti Mikrobiologi LIPI, Sugiyono Saputra, kalau primata seperti manusia juga begitu rentan terpapar COVID-19. Dalam skala laboratorium, penelitian di Tiongkok bahkan telah menemukan jika jenis rhesus macaque atau monyet ekor panjang dapat terinfeksi SARS-CoV-2. “Penelitian ini, SARS-CoV-2 berhasil bereplikasi dan gejala pneumonia yang timbul dapat terdeteksi hingga hari ketujuh setelah infeksi,” katanya.

Meski gejala yang timbul pada monyet ekor panjang tidaklah sepenuhnya sama dengan gejala COVID-19 pada manusia, namun antibodinya (sebagai respon imun dari infeksi yang terjadi) juga terbentuk.

Kini, National Primate Research Center, Universitas Tulane Lousiana, Amerika Serikat, jadikan monyet ekor panjang ini sebagai uji pengembangan diagnostik, treatmen, hingga uji coba vaksin COVID-19.

Mereka telah menginfeksi empat monyet, masing-masing dua monyet ekor panjang dan dua African green monkey untuk uji pra klinis vaksin COVID-19 pada Maret 2020,” kata Sugiyono.

Sebelumnya, kata Sugiyono, monyet ekor panjang sebagai hewan uji, bukanlah hal baru. Para peneliri pernah gunakan hewan ini untuk pengembangan obat dan vaksin dalam penanggulangan wabah Coronavirus jenis lain, seperti SARS dan MERS.

Herjuno Ari Nugroho, peneliti Zoologi LIPI, juga berpendapat sama. “Penelitian pada monyet ekor panjang membuka peluang dalam penanggulangan pandemi COVID-19. Sisi lain menunjukkan, SARS-CoV-2 juga potensial menginfeksi primata, yang dapat ditularkan secara alami dari manusia apabila terjadi kontak langsung dengan penderita COVID-19,” katanya.

Tahun 2016, dalam komunitas Wild Chimpanzees di Côte d´Ivoire, Pantai Gading Afrika, pernah terserang wabah Coronavirus lain yaitu HCoV-OC43. “Untuk kewaspadaan, pencegahan dapat dilakukan dengan memperketat biosekuriti kawasan,” kata Herjuno.

“Membatasi interaksi manusia dengan primata, baik itu dengan tidak menyentuhnya secara langsung, tidak memberi makan sembarangan dan tidak membuang sampah yang kemungkinan terkontaminasi manusia di kawasan lindung.”

Di Karaenta, papan imbauan terpasang sejak 2016. Papan itu menuliskan larangan memberi makan pada monyet. Tak ada papan larangan atau informasi dalam masa pandemi ini. Sisi lain, para pengendara tetap bandel.

Monyet-monyet tetap saja di pinggir jalan, mulai pagi hingga menjelang matahari terbenam. Mereka menunggu pengendara yang memberi makanan.

 

Keterangan foto utama: Macaca maura, banyak turun dari hutan dan duduk di pinggir jalan lintas Maros, menanti pengemudi jalan memberi pakan. Mereka tak takut bertemu manusia, bahkan mendekat, berharap ada sisa makanan buat mereka. Di tengah pandemi Corona ini, kondisi macaca makin terancam. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version