Mongabay.co.id

Saatnya Memulai Kebiasaan Green Ramadhan di Masa Pandemi

Pemulung di TPA Kebon Kongok berjalan di atas gunung sampah. Usia TPA Kebon Kongok ini diperkirakan tinggal satu tahun. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana kondisi bumi pasca pandemi Covid-19 nanti? Apakah kualitas udara dan air akan bertahan lebih baik? Bulan Ramadhan ini awal baik untuk memulai kebiasaan ramah untuk bumi, termasuk menjauhkan penyakit.

Hal itu diungkapkan Ranitya Nurlita dalam diskusi dalam jaringan (online) Bincang Alam: Green Ramadan Selama Covid-19: Kiat-kiat Gaya Hidup Ramah Lingkungan, yang dihelat Mongabay Indonesia, Sabtu (09/05/2020).

Ranitya Nurlita, pendiri kampanye Waste Solution Hub Wastehub.id dan ASEAN Reusable Bag Campaign menjadi pemantik diskusi. Perempuan muda aktivis pengelolaan sampah ini sedang kerja remote dari tempat kerjanya di Thailand.

Ramadhan selama COVID-19 ini memberi kesan mendalam bagi yang menjalaninya. Perbedaan situasi yang memerlukan perbedaan perlakuan. Kiat-kiat ramah lingkungan menjadi keniscayaan karena riset FAO menyebut Indonesia adalah negara pembuang sisa makanan terbanyak kedua setelah Arab Saudi yang menghasilkan food waste sebanyak 427 kg/tahun/orang. Sementara Indonesia menghasilkan 300 kg/tahun/orang sampah makanan.

Berikutnya adalah Amerika Serikat, tiap orang membuang sisa makanan sebanyak 277 kg per tahunnya. “Ini cukup besar, berdasar pengalaman kami mengelola sampah event itu bisa berkarung-karung,” ujar Nurlita, yang juga Ketua Bidang Lingkungan Hidup di Rumah Millenials.

baca : Ramadhan dan Sampah di Kota Gorontalo yang Meningkat Pesat

 

Seorang pemulung mengumpulkan plastik dari sampah di perairan Teluk Manila, Filipina pada 30 Juli 2012. Foto : Erik De Castro/Reuters/blueocean.net

 

Jika sisa makanan berakhir di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) akan menghasilkan gas metana, zat berbahaya jika menumpuk tak diolah. Tak sedikit TPA yang kebakaran karena konsentrasi gas metana. Salah satunya yang menghebohkan adalah kebakaran dan longsor hebat di TPA Leuwigajah, Jawa Barat pada 21 Februari 2005 yang disebut sebagai tsunami sampah. Lebih dari 150 orang meninggal dan gunungan sampah menimbun dua kampung sekitarnya. Kejadian itu kemudian diperingati setiap tahun sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.

Nurlita juga mengingatkan, dari data riset, sebanyak 73% sampah plastik di pantai adalah plastik kresek, botol, dan lainnya. Tak mengherankan karena, sekitar satu juta botol plastik dibeli di seluruh dunia tiap menit. Dua juta kantong plastik digunakan tiap menit, membunuh lebih dari 1 juta burung laut dan hewan tiap tahun, dan rata-rata orang makan 70 ribu mikroplastik tiap tahunnya. Mikroplastik adalah serpihan plastik, kadang sulit dilihat mata telanjang, yang terakumulasi di darat dan laut termasuk pada sejumlah bahan pangan di laut.

Pengalaman Wastehub mengelola sampah adalah dari arena pameran atau acara keramaian. Sekitar satu tahun beroperasi, Nurlita mengatakan pihaknya mengelola sampah sekitar 2,1 ton yang dikelola agar tidak masuk TPA. Jika tiap orang menghasilkan sampah per hari 0,5 kg, dan semua sampah campur ini akan berakhir di landfill. Faktanya, jika organik diolah dengan baik tak menambah beban TPA dan bisa dimanfaatkan.

baca juga : Bukber Minim Sampah dan Puasa Plastik Isi Ramadhan di Bali

 

Peserta Green Your Ramadhan berbuka puasa bersama dengan membawa alat makan sendiri, tidak menghasilkan sampah dan limbah jika dihabiskan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pemantik lain yang mendorong perubahan perilaku adalah saat pandemi COVID-19 ini ada mata rantai penting yang hilang dalam pengolahan sampah. Rantai ini adalah pemulung dan bank sampah yang tutup. Jika produksi sampah selama Ramadhan meningkat dan tidak dipilah, ada kemungkinan penumpukan di TPA.

Hasil observasi Wastehub menyebutkan penghasilan pemulung menurun drastis dan beberapa akhirnya jadi pengemis. Wastehub berusaha memobilisasi donasi untuk bantuan sembako. Pemulung tak bisa bekerja karena bank sampah atau pengepul yang membeli sampah bernilai tak beroperasi.

Dalam sehari, sebanyak 93 juta sedotan digunakan di seluruh dunia. Jika tak dikelola, akan mencemari laut selama ratusan tahun, karena membutuhkan 500-1000 tahun agar terurai. “Saya tidak menggunakan sedotan. Styrofoam juga sangat berbahaya, jika panas dan berlemak, zat styrene bisa pindah ke makanan,” lanjutnya. Racun ini mengakibatkan risiko kesehatan seperti saraf, sakit kepala, dan lainnya.

Dari riset waste management Wastehub, dari sebuah event pameran Halal Expo pada Desember 2019 selama 3 hari, mereka mengumpulkan paling banyak sampah organik sebanyak 51%. Kemudian 18% sampah kertas, dan plastik 11,6%. Selanjutnya styrofoam 1,5%, kardus 4%, dan sisanya residu. Komposisi sampah yang hampir sama juga terlihat di event lain.

Dalam sebuah acara perayaan tahun baru di masjid, sampah organik juga lebih banyak. “Kalau mampu mengolah sampah organik, 50% masalah sampah selesai. Tapi kita belum sampai ke sana dalam mengolah sampah,” keluhnya. Hal paling sederhana untuk memulai adalah memilah sampah sendiri agar tak tercampur sehingga bisa diolah.

menarik dibaca : Habiskan Makanan Lebaran, Biar Tak Jadi Masalah Lingkungan

 

Proses pemilahan sampah organik dan non organik di TPST Tembokrejo, Muncar, Banyuwangi, Jatim. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Fakta lainnya adalah meningkatnya pesanan makanan daring atau online delivery selama pandemi. Dampaknya, sampah anorganik bertambah seperti styrofoam, plastik, dan sekali pakai lainnya. Benda-benda itu menurut Nurlita memang tak bisa jauh dari kehidupan, yang penting bagaimana memilahnya.

Ia juga mengutip berita dari media Malay Mail pada Februari 2020, bahwa ada peningkatan sampah 20-30% di beberapa negara mayoritas Muslim. “Ngabuburit beli takjil, dan hampir semua makanan dibungkus plastik,” ia menunjukkan gambar-gambar makanan yang terbungkus plastik seperti kue, minuman, dan lainnya.

Ia bersyukur kualitas udara Jakarta mulai baik selama 28 tahun terakhir selama karantina ini. “Sebagai bumi saya senang, bisa lebih bernafas. Tapi ini PR, jika saat ini bumi lebih baik, setelah Covid bisa baik gak?” ingatnya.

Secara umum, selama pandemi, jumlah sampah berkurang ke TPA. Misalnya berkurang sampai 300 ton di Jakarta Timur. Ini dampak penutupan pusat perbelanjaan, fasilitas umum, sekolah, kantor, dan lainnya. Dinas Kebersihan juga menyebut sampah di Pulau Seribu berkurang setengahnya menjadi hampir 360 ton selama pembatasan skala besar.

Namun masalah lain muncul, ada peningkatan sampah di rumah tangga. Nurlita mengutip hasil pencatatan sampah seorang aktivis lingkungan dari Jogja di rumah Hijrah. Sampah di rumahnya mengalami kenaikan sekitar 37%, didominasi organik 17% selama work from home.

baca juga : Produksi Sampah dari Rumah Meningkat di Masa Pandemi Corona, Kok Bisa?

 

Sampah botol plastik sekali pakai. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Panduan praktis memulai green ramadhan

Sejumlah panduan dan hadits secara eksplisit menyebutkan Nabi Muhammad SAW menyukai kebersihan. Demikian juga di agama dan keyakinan lain, ada banyak ajaran untuk mengutamakan kelestarian lingkungan.

“Bagaimana cerita kita dan bumi setelah pandemi? Kita sebagai manusia dan bumi harus sama-sama akur. Tak mencemari lingkungan lagi,” ajak Nurlita.

Konsep yang digalakkan adalah sistem sirkular ekonomi, sebuah lingkaran sistem pengelolaan sampah dan menyisakan sangat sedikit untuk TPA, sebagai tujuan akhir sampah. Sistem pengolahan sampah ini di antaranya komposting, anaerob, ektraksi, biogas, pengolahan jadi produk lain, restorasi, dan lainnya.

Nurlita mengutip Fatwa MUI No.41/2014 terkait ini. Di antaranya tabdzir, menyiakan barang yang bisa dimanfaatkan. Israf adalah tindakan berlebihan, menggunakan atau mengonsumsi berlebihan dari kebutuhan. Misalnya makanan buka puasa dimakan semua lalu terbuang.

Untuk unit bisnis, selain bertujuan profit, juga mempertimbangkan people and planet. Apa yang bisa dilakukan untuk memulai?

Pertama, buy the right thing. “Rasullulah hidupnya minim memanfaatkan barang yang ada. Kalau ndak penting banget, gak usah beli. Godaan mata, setelah beli buat apa?” tukas Nurlita.

 

 

Kedua, mengubah perilaku dalam keseharian, misalnya mengurangi benda sekali pakai dalam acara bersama teman atau keluarga. Saat masa karantina ini, untungnya buka puasa bersama berkurang, karena acara itu menjadi sumber foodwaste, termasuk di Masjid. Saat belanja takjil bawa kantong belanja sendiri. Wudhu hanya dengan 1 mud air, atau 2 tangkup tangan orang dewasa. Membawa wadah isi ulang saat belanja, dan tak memakai tisu.

Berikutnya stay at home and try at home. Selain bekerja dari rumah, perlu mencoba melakukan pemilahan sampah organik, anorganik, dan limbah berbahaya. Pengolahan sampah organik metodenya banyak. Bisa dicoba misalnya membuat kompos model anaerob yang tertutup atau dengan membuat galian/lubang di tanah.

Metode pengolahan sampah organik pada intinya ada ada dua, aerob dan anaerob. Aerob masih ada angin, tak tertutup, kering ada campuran tanah. Sementara anaerob menghasilkan kompos cair dan kering. Komposting juga bisa dilakukan di lubang biopori untuk komposting hijau dan cokelat.

Tips lain adalah masak sendiri, untuk mengurangi food delivery. Beli produk lokal setempat, bawa wadah sendiri. Kemudian mengurangi penggunaan air bersih dan listrik.

Bawa sampah yang tak bisa diolah ke bank sampah, bagian dari sirkular ekonomi. Setelah memilah sampah dan membuat kompos, maka kegiatan urban farming lebih mudah karena sudah punya kompos. Ini manfaat sirkular ekonomi.

“Proses paling akhir itu TPA. Misal kresek yang dipilah pemulung. Saya pernah nyoba dan sampai muntah-muntah,” ingat Nurlita soal pemilahan di TPA.

Pendapatan pemulung yang berangkat kerja pukul 5 subuh, bekerja lebih 12 jam hanya sekitar Rp50 ribu. Dengan catatan sudah jago memilah karena jenis plastik cukup banyak. Nurlita mengatakan Wastehub memiliki binaan pemulung lebih 500 jiwa di Tangerang. “Kita kelola sampah event selalu melibatkan mereka, tak menggunakan jasa kebersihan. Pendapatan mereka 2-3 kali lipat dalam sehari,” urainya.

Ada juga program peningkatan soft skill, karena kebanyakan lulusan SD, tak punya KTP. Misalnya program sekolah kesetaraan. “Ada rencana program beasiswa agar yang mengelola unit kami mereka. Sampah dari mereka untuk mereka,” lanjutnya

 

 

Dalam sesi diskusi ada sejumlah pertanyaan tentang sirkular ekonomi, bank sampah, dan program bus yang bertiket sampah plastik. Apakah ini efektif? Bank sampah diyakini bagian dari sistem sirkular ekonomi dalam tata kelola sampah.

Ecobrick menurutnya pilihan akhir untuk menampung sampah residu seperti kemasan kemasan makanan yang tak bisa didaur ulang. Ini disebut pencegahan paling akhir. Misalnya ada yang membuat ecobrick untuk melihat produksi sampah selama setahun yang dimasukkan ke botol.

Hal penting dari semua upaya menurutnya adalah konsistensi. Misal konsisten memilah, atau buat kompos, sebagai upaya menyeimbangkan manusia dan alam.

 

Exit mobile version