Mongabay.co.id

COVID-19 dan Hukum Lingkungan Era Antroposen

 

Daniel Kahneman [2011] menuturkan, secara psikologis dalam situasi krisis, otak manusia bekerja cenderung menggunakan model berpikir cepat yang dipengaruhi insting survival. Model ini dibutuhkan untuk keluar secepatnya dari keadaan sulit, namun berisiko. Berpikir cepat itu reduksionis, langsung lompat ke kesimpulan.

Situasi krisis tetap membutuhkan upaya kontemplatif, guna membedah dengan hati-hati, penyebab masalah. Dengan begitu, solusi yang tepat ditemukan.

Model berpikir cepat ini terlihat dominan ketika COVID-19 meledak, menjadi pandemi. Respon pertama yang diumumkan pihak otoritas yaitu pemerintah kita, yang mestinya menjaga kesehatan warga adalah penyangkalan wabah. Dalam perkembangannya, ketika kondisi ini tidak bisa dielakkan, pihak otoritas berusaha menegosiasikannya dengan mempertahankan sedapat mungkin skenario business as usual.

Wabah virus corona [COVID-19] dipandang semata-mata melalui perspektif biomedis, yakni sebagai penyakit. Dengan begitu, jawabannya adalah bagaimana mencegah penyebaran dan menemukan antivirus.

Pada tulisan sini, saya coba membahas permasalahan menggunakan model berpikir lambat, melalui kontemplasi. COVID-19 merupakan zoonosis, penyakit satwa yang berpindah ke manusia, kemunculannya penanda adanya masalah antara manusia dengan alam.

Hal terpenting adalah, kita melihat COVID-19 dalam kaitannya dengan hukum lingkungan. Hukum yang mengatur relasi manusia dan lingkungan, termasuk hubungan antara manusia dengan satwa. Ada tiga momen yang bisa dikritisi: sebelum, saat pandemi, dan pasca.

Baca: Menjamin Ketahanan Pangan dan Kelestarian Ekologi di Masa Pandemi

 

Kelelawar, satwa yang diduga awal pembawa virus corona. Penelitian mendalam harus dilakukan untuk menyibak tabir kebenarannya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Sebelum Pandemi

Dalam UNEP Frontier Report 2016 disebutkan, salah satu kekhawatiran yang muncul dari lembaga internasional, yang mengurusi program lingkungan adalah penyakit zoonosis. Pada abad ke-20, telah terjadi peningkatan drastis penyakit menular, sekitar 75 persen merupakan penyakit zoonosis yang bersumber dari hewan.

Masih menurut UNEP [2016], rata-rata muncul satu jenis penyakit menular dari binatang ke manusia setiap empat bulan. Zoonosis datang berkaitan erat dengan perubahan lingkungan atau gangguan ekologis, misalnya deforestasi, perubahan iklim, penurunan keanekaragaman hayati, serta rusaknya habitat satwa liar itu sendiri.

Will Steffen dan kawan-kawan [2015] menyebut perubahan lingkungan hidup global sebagai the Great Acceleration. Momen penanda masuknya Bumi pada era Antroposen, manusia sebagai agen utama yang mengubah sistem Bumi secara signifikan. Akibatnya, Bumi kehilangan kestabilan, mengarah pada kondisi terra incognita [tidak diketahui tujuannya].

Antroposen menunjukkan keterbatasan hukum lingkungan, mencegah manusia tidak melewati batas-batas ekologis yang dapat merusak sistem Bumi itu sendiri.

Pada konteks COVID-19, tidak bekerjanya hukum lingkungan berakibat terjadinya perusakan habitat alami satwa liar beserta perdagangan ilegal. Pada gilirannya, memungkinkan terjadinya perpindahan penyakit dari satwa liar ke tubuh manusia. COVID-19 harus dilihat sebagai bagian kecil Antroposen.

Belajar dari kemunculan SARS awal tahun 2000, kelelawar dan musang dipandang sebagai penyababnya. Saat ini, COVID-19, menurut ilmuwan di South China Agricultural University, diduga juga berasal dari kelelawar dan trenggiling menjadi “intermediate host”.

Menurut TRAFFIC, organisasi yang melakukan pemantauan perdagangan ilegal satwa liar, periode 2010-2015, telah terjadi 111 kasus penyelundupan trenggiling dengan jumlah 35.632 ekor yang diperdagangkan di pasar gelap. Pasar utamanya adalah China.

Dalam laporan itu disebutkan, trenggiling ilegal ada yang berasal dari Indonesia. Artinya, Indonesia memiliki kontribusi secara tidak langsung terhadap munculnya COVID-19, karena gagal mencegah perdagangan ilegal hewan pemakan serangga ini.

Baca: Polusi Udara dan Kerentanan Terkena Virus Corona

 

Trenggiling, satwa liar yang tidak pernah berhenti diburu untuk diperdagangkan secara ilegal. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Saat Pandemi

Lockdown dan physical distancing merupakan respon paling lazim diambil oleh pemerintah di banyak negara menghadapi situasi pandemi COVID-19. Cara ini dinilai tidak hanya efektif mencegah penularan corona lebih luas, tetapi juga berdampak tidak langsung dengan berkurangnya kegiatan manusia. Termasuk, aktivitas ekonomi yang selama ini menjadi sumber berbagai permasalahan lingkungan.

Keadaan ini sebagaimana ditunjukkan di beberapa negara, seperti China, Italia dan Amerika. Dengan melambatnya aktivitas ekonomi, udara bertambah bersih, polusi air berkurang, dan satwa liar berkembang biak tanpa gangguan manusia.

Perbaikan kondisi lingkungan memunculkan narasi ‘blessing in disguise’. Akan tetapi, perbaikan lingkungan jangka pendek ini dapat membuat kemanusiaan kita tergelincir pada pandangan eko-fasisme [eco-fascism]. Pandangan yang melihat Bumi akan lebih baik apabila manusia menderita, atau bahkan bila manusia punah.

Sebaliknya, jika kita sepakat manusia merupakan agen aktif pengubah sistem Bumi dan membawa kita pada epos Antroposen, maka manusia pula yang seharusnya memiliki tanggung jawab memperbaikinya. Tanpa harus menunggu kepunahan.

Di masa tanggap darurat ini, justru yang terjadi adalah pembekuan hukum lingkungan. Environmental Protection Agency [EPA] di AS, misalnya, menunda penegakan hukum lingkungan. Selain itu, instrumen pencegahan berupa amdal juga dikesampingkan dalam membangun rumah sakit khusus COVID-19.

Sampah plastik, limbah medis, polusi deterjen, serta konsumsi air diprediksi mengalami peningkatan. Prinsip kehatian-hatian [precautionary principle] juga dilewatkan dalam kebijakan penyemprotan disinfektan massal, padahal kita belum tahu apa dampaknya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

Baca juga: Virus Corona dan Kesehatan Mental Kita

 

Antroposen menunjukkan keterbatasan hukum lingkungan, untuk mencegah manusia tidak melewati batas-batas ekologis yang dapat merusak sistem Bumi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Setelah Pandemi

Kita masih jarang menemukan diskusi bagaimana seharusnya membangun relasi sosial dan ekologi ketika pandemi berakhir. Absennya skenario tanding yang membicarakan relasi baru tersebut, kemungkinan akan menjadi momen business as usual untuk menciptakan kenormalan baru [the new normal]. Atau dengan kata lain, mencoba membawa kita kembali pada momen sebelum pandemi dengan sedikit penyesuaian dan percepatan. Skenario business as usual dapat dilihat dari bagaimana ambisi pemerintah kita untuk segera mengundang turis datang ke Indonesia.

Selain itu, ketertinggalan ekonomi selama momen tanggap darurat ingin dikejar dengan ritme lebih cepat. Dalam konteks ini polemik RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi relevan untuk dibicarakan dan sekaligus menjawab pertanyaan mengapa Pemerintah dan DPR begitu ngotot mewujudkannya.

RUU Cipta Kerja dipandang akan menjadi instrumen pasca-pandemi untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan dikejar dengan jalan relaksasi atas safeguard sosial dan lingkungan.

Alih-alih memperkuat hukum lingkungan untuk membangun etika lingkungan baru dalam relasi sosial dan ekologi, hukum lingkungan justru akan didesain sedemikian rupa sebagai instrumen mempermudah investasi.

Tentu saja, keputusan ini memiliki harga sangat mahal untuk dibayar dalam jangka panjang. Pandemi-pandemi baru akan muncul karena kita gagal mereorientasi hubungan harmoni kita dengan lingkungan melalui instrumen hukum lingkungan. Termasuk, reorientasi sistem ekonomi yang menjadi akar permasalahan lingkungan selama ini.

 

*Agung Wardana, Dosen Departemen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version