- Sebagai daerah yang sangat tergantung pada pariwisata, Bali mengalami dampak besar setelah pandemi COVID-19 menghantam pulau ini sejak awal Februari 2020
- Anak-anak muda di Bali yang semula mengandalkan hidup dari pariwisata pun kini kembali melirik pertanian karena dianggap lebih memiliki daya tahan
- Karena kurangnya pasokan sayur dari luar Bali, petani di Bali kini bisa menjual sayur mayur mereka dengan harga lebih tinggi
- Bertani tetap memiliki daya tahan lebih baik dibandingkan hidup hanya bergantung dari pariwisata.
Sejak akhir Januari 2020, Bali mulai mengalami dampak pandemi COVID-19. Jumlah turis terus menurun bahkan kemudian nyaris tidak ada sama sekali setelah adanya penutupan penerbangan komersial maupun perhubungan darat dan laut, untuk mencegah meluasnya penularan virus corona baru penyebab COVID-19 di kiblat pariwisata Indonesia ini.
Ketika pandemi menghantam Bali dan pariwisata terpuruk, wacana lama pun kembali muncul, Bali sebaiknya kembali ke pertanian sebagai penopang utama pembangunan ekonominya. Selama ini, Bali dianggap terlalu menomorsatukan pariwisata dan sebaliknya, melupakan pertanian sebagai akarnya.
Namun, bagi sebagian anak muda, kembali pertanian itu tak lagi sekadar wacana. Mereka kembali ke perertanian setelah sebelumnya menggantungkan hidup dari pariwisata. Sebagian lain telah lebih dulu terjun ke sawah, kebun, dan kandang lalu menggunakan teknologi informasi untuk menaikkan pendapatan petani sekaligus harapan bahwa pertanian bisa menjadi masa depan Bali.
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari serial bagaimana anak-anak muda di Bali kini bertani, terutama setelah terjadinya pandemi COVID-19.
baca : Aksi Petani Pisang Mempertahankan Lahan Garapannya [1]
Bagi I Kadek Didi Suprapta, 39 tahun, bekerja di pariwisata layaknya main ayunan tembak (sling shot) yang sedang marak di Bali. Sangat menyenangkan, tetapi juga rentan. Posisinya sangat berubah cepat naik turun. Setelah sempat merasakan kejayaan bekerja di sektor ini, sekarang Dek Didi, panggilan akrabnya, sedang menghadapi situasi sulit akibat pandemi COVID-19 .
Sebagai anak muda yang tumbuh di tengah masifnya teknologi informasi, Dek Didi memulai bisnis di bidang pariwisata dengan memanfaatkan teknologi tersebut. Alumni Fakultas Hukum Universitas Udayana itu semula membuat blog jalan-jalan. Makin hari, makin banyak turis memintanya untuk menjadi pemandu perjalanan di Bali setelah membaca ulasan Dek Didi di blog.
Sejak 2007, Dek Didi membuka layanan itu melalui media daring. Menjadi pemandu perjalanan bagi turis-turis yang ingin menikmati Bali, terutama di pelosok Bali. Usahanya terus berkembang. Dari semula sendiri, dia bahkan memiliki 20 staf. Uang yang berputar di tempat usaha perjalanan miliknya berkisar Rp100 juta hingga Rp500 juta.
Kemudian, badai pandemi COVID-19 pun sampai di Bali. Merontokkan usaha-usaha pariwisata di pulau yang amat menggantungkan ekonominya dari bisnis pelesiran itu, termasuk usaha Dek Didi. Usaha perjalanan yang dia rintis berhenti total sekarang. Awalnya hanya sebagian tamunya membatalkan pemesanan. Lalu, sejak awal Maret sudah tidak ada tamu sama sekali. Dia harus merumahkan semua staf karena tidak ada pendapatan sama sekali.
“Kerja di pariwisata memang rentan sekali, terutama kalau ada kejadian-kejadian seperti saat ini,” katanya.
baca juga : Uniknya Kebun Hidroponik Tenaga Surya di Noja Bali
Begitu pariwisata Bali menunjukkan gejala akan mati suri sejak awal Maret, Dek Didi mengingat kembali akarnya, pertanian. Dia memang lahir dan besar di salah satu pusat produksi sayur mayur Bali, Kintamani. Rumahnya di Desa Songan A, Kecamatan Kintamani, Bangli dikelilingi areal kebun-kebun sayur.
Pada pertengahan April lalu, musim panen untuk tomat dan terong telah tiba. Keluarganya di desa di kaki Gunung Batur itu sudah panen. Dek Didi pun cekatan menghubungkan petani di desanya dengan pembeli di kota melalui teknologi yang dulu juga membesarkannya di bisnis pelesiran, internet.
Dek Didi antusias memperlihatkan aplikasi yang sudah dia buat, Lapak Sayur Online, di ponselnya. Menurut Dek Didi, ide pembuatan aplikasi pasar daring (online market) Lapak Sayur itu dia buat setelah melihat beberapa aplikasi serupa di luar Bali. “Akhirnya terpikir untuk membuat aplikasi serupa. Apalagi saya memang berasal dari kampung yang menghasilkan sayur-sayuran,” katanya pertengahan April lalu.
Menurut Dek Didi, selama ini hasil pertanian tersebut dijual kepada tengkulak. Akibatnya, petani hanya mendapatkan sedikit keuntungan. Dia pun berusaha mempertemukan langsung petani di tingkat produksi dengan konsumen di tingkat konsumsi melalui aplikasi yang masih dalam tahap pengembangan tersebut.
“Selain lewat aplikasi, konsumen juga bisa berbelanja lewat, Facebook, Instagram, Whatsapp atau Messenger,” lanjutnya berpromosi.
perlu dibaca : Berkebun Selaras Alam di Kota
Tetap Bertani
Pandemi COVID-19 , yang mulai dari Wuhan, China sejak akhir Desember 2019, memang amat terasa dampaknya di Bali. Sebagai provinsi yang menggantungkan pendapatan utama dari pariwisata, Bali terasa mati suri. Suasana ini terlihat terutama di daerah-daerah pariwata. Turis asing dan domestik, yang pada tahun lalu mencapai lebih dari 12 juta di Bali, hampir tak terlihat sama sekali.
Tempat-tempat wisata di Bali pun ditutup semua untuk menghindari penularan virus corona baru, penyebab COVID-19 . Pantai Kuta, Pura Tanah Lot, Kebun Raya Bedugul Bali, Taman Wisata Alam Gunung Batur, dan seterusnya yang biasanya dibanjiri turis kini terlihat lengang. Sepi.
Namun, di pusat-pusat pertanian, suasana terlihat tak berbeda dibandingkan biasanya. Begitu pula di desa-desa yang mengitari Danau Batur, danau terbesar di Bali sekaligus salah satu pusat produksi sayur di pulau ini. Ketika Dek Didi baru memulai aplikasinya untuk berjualan sayur, petani muda lain sedang sibuk mengolah lahannya di kawasan yang sama.
Pasangan suami istri Ni Ketut Sita, 30 tahun, dan Jro Artawan, 40 tahun, termasuk di antaranya. Artawan berasal dari Banjar Alengkong yang berada di atas bukit mengelilingi Danau Batur. Untuk bertani, dia harus pindah ke Desa Batur. Bersama saudaranya, mereka membuka lahan di lereng gunung berbatu sisa-sisa letusan purba yang masuk dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Batur.
“Menurut petugas boleh pakai lahannya asal tidak menebang pohon,” kata Artawan.
Bersama istri dan saudaranya, Artawan mengerjakan tiga lahan terpisah. Masing-masing kira 15 are. Pagi pada pertengahan April 2020 lalu, pasangan dengan empat anak ini sibuk bertani. Mereka menyiram tanaman daun bawang dan sayur kubisnya. Keduanya merupakan komoditas andalan dari Batur, selain juga tanaman bawang.
“Sekarang panen sedang bagus. Harganya juga begitu,” lanjutnya.
Artawan menambahkan dua bulan terakhir, harga daun bawang sedang bagus. Sampai Rp40.000 per kg. Padahal, biasanya hanya setengah. “Tidak tahu apakah karena (virus) corona atau gimana,” ujarnya.
menarik dibaca : Kisah Aira, Bocah Kota yang Bercita-cita Menjadi Petani
Lebih Bergairah
Secara umum, Artawan merasa saat ini pertanian terasa lebih bergairah setelah adanya pandemi COVID-19 . Anak-anak muda yang dulu hanya mengandalkan tamu, misalnya sebagai pemandu lokal ataupun sopir agen perjalanan, kini lebih banyak berkebun. Mereka kini membantu orangtuanya di kebun atau bahkan membuka kebun sendiri di lahan yang semula menganggur.
Meski dia sendiri mengaku takut terhadap pandemi, Artawan yakin bahwa hal ini justru bagus pada pengembangan pertanian di Bali. “Biar anak-anak muda Bali mau kembali bertani,” katanya.
Hal serupa dikatakan Puniadi Makmurtama, anak muda lain di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Bangli, yang kini juga bertani. Menurut Puni, panggilan akrabnya, pandemi COVID-19 membuat anak-anak muda di desanya sadar kembali bahwa pertanian tetap lebih memiliki daya tahan dibandingkan pariwsata.
Puni sendiri kini ikut menikmati hasil berkebun di 40 are lahan yang mengelilingi rumahnya. Pada pertengahan April lalu mereka selesai panen terong. “Karena pasokan dari luar Bali tidak ada, jadi harganya sekarang naik,” lanjutnya.
Saat ini, menurut Puni, harga terong juga sedang bagus. Dari biasanya Rp3.000/kg, saat ini harganya Rp7.000/kg. Bahkan harganya pernah sampai Rp500/kg atau malah dibuang-buang karena tak ada permintaan. Beda dengan sekarang. Permintaan juga makin banyak. “Tidak ada yang tersisa di rumah karena semua dibeli,” lanjutnya.
Luh Sugiari, petani muda lainnya, mengatakan hal serupa. Harga tomat yang biasanya Rp3.000/kg, saat ini justru sampai Rp30.000/kg. Senada dengan Puni, dia menduga kenaikan harga itu karena pasokan sayur dari Jawa memang berkurang.
“Petaninya senang kalau harganya bagus begini. Bekerja jadi lebih semangat,” kata Sugiari sambil sibuk memangkas cabang-cabang pohon tomat di kebunnya.
Di tengah pandemi COVID-19 yang mengakibatkan pariwisata Bali mati suri, petani-petani muda seperti Artawan dan Sugiari justru mendapatkan harga yang lebih baik. Hal itu menumbuhkan asa bagi mereka bahwa bagaimana pun juga, bertani tetap memiliki daya tahan lebih baik dibandingkan hidup hanya bergantung dari pariwisata.
“Dari sisi pendapatan memang tidak sebesar pariwisata, tetapi bertani lebih kuat pondasinya,” ujar Dek Didi.