Mongabay.co.id

Menumbuhkan Karang dan Memberdayakan Masyarakat di Kapoposang

 

Bencana global pandemi COVID-19 dirasakan berbagai lapisan masyarakat, termasuk di antaranya nelayan. Pembatasan akses dan turunnya harga ikan membuat nelayan sulit memenuhi kebutuhan hidup. Dukungan terhadap nelayan menjadi prioritas berbagai pihak, termasuk dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Salah satu upaya yang dilakukan KKP dalam rangka konservasi sekaligus membantu perekonomian nelayan yang terkena dampak COVID-19 adalah melalui program padat karya rehabilitasi karang. Termasuk yang dilakukan di Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Dirjen PRL) KKP Aryo Hanggono, dalam siaran pers KKP, Selasa (5/5/2020), pelaksanaan kegiatan ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden Jokowi dan Menteri KKP agar memperbanyak program padat karya, tetap menjaga daya beli masyarakat, dan meminimalisir dampak pandemi COVID-19 terhadap perekonomian.

Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Ikram Sangadji selaku UPT pengelola TWP Kapoposang menjelaskan bahwa saat ini perlu aksi nyata pemerintah dalam membantu masyarakat. Salah satunya adalah dengan menciptakan kegiatan padat karya yang melibatkan masyarakat.

“Maka dari itu BKKPN Kupang berinisiatif untuk merangkul masyarakat dalam bentuk program padat karya rehabilitasi karang. Diharapkan dengan adanya kegiatan ini dapat membantu menggerakkan perekonomian masyarakat sekaligus memperbaiki ekosistem terumbu karang di kawasan TWP Kapoposang,” jelas Ikram.

baca : Hancurnya Industri Wisata Selam Indonesia di Tengah Wabah Corona

 

KKP melalui BKKPN Kupang melaksanakan kegiatan konservasi sekaligus pemberdayaan masyarakat nelayan terdampak COVID-19 dengan kegiatan padat karya berupa rehabilitasi terumbu karang dengan metode spider di KWT Kapoposang, Kabupaten Pangkep, Sulsel. Foto: BKKPN Kupang/Mongabay Indonesia.

 

Pada kegiatan ini, sebanyak 100 unit media transplantasi karang diturunkan dengan jumlah fragmen karang sebanyak 1.000 buah (pcs). Lokasi penurunan transplantasi terletak di sebelah utara Pulau Kapoposang pada zona pemanfaatan TWP Kapoposang dengan kedalaman antara 5 hingga 7 meter.

Pembuatan media transplantasi karang diserahkan seluruhnya kepada anggota kelompok Web Spider dan Kelompok Masyarakat Penggerak Konservasi (KOMPAK) Kapoposang Sejahtera yang berjumlah 25 orang.

“Untuk pembuatan satu media transplantasi masyarakat menerima Rp100.000. Dengan demikian, untuk 100 media transplantasi masyarakat memperoleh Rp10 juta,” tambahnya.

Menurutnya, tidak hanya di Kapoposang, kegiatan serupa juga dilakukan di tujuh kawasan wilayah kerja BKKPN Kupang, yaitu Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu, TWP Gili Matra, Suaka Alam Perairan (SAP) Raja Ampat, TWP Laut Banda, TWP Padaido, Suaka Alam Perairan (SAP) Waigeo sebelah barat dan Suaka Alam Perairan (SAP) Aru bagian tenggara.

Dijelaskan Ikram bahwa kegiatan rehabilitasi ekosistem merupakan agenda tahunan yang dilakukan balai yang dipimpinnya. Khusus untuk rehabilitasi terumbu karang mereka biasanya metode beton dan spider.

“Upaya ini sudah sering dilakukan, cuma sekarang kita gunakan sistem padat karya, kita serahkan ke masyarakat di mana mereka yang mendesain dan memasang. Kita dampingi, bagaimana mengambil fragmen karang di alam dan memasangnya. Ini sudah kita latih. Dengan upaya padat karya ini kita berharap masyarakat mendapat income, walaupun terbatas,” jelasnya.

baca juga : Begini Dampak Pandemi Bagi Masyarakat di Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Timur

 

KKP melalui BKKPN Kupang melaksanakan kegiatan konservasi sekaligus pemberdayaan masyarakat nelayan terdampak COVID-19 dengan kegiatan padat karya berupa rehabilitasi terumbu karang dengan metode spider di KWT Kapoposang, Kabupaten Pangkep, Sulsel. Foto: BKKPN Kupang/Mongabay Indonesia.

 

Dari 100 rangka spider ini bisa menghasilkan sekitar 100 meter persegi terumbu karang baru. Beberapa contoh yang sudah dilakukan menunjukkan adanya pertumbuhan karang sangat bagus.

“Setahun bisa kelihatan kalau kesuburannya baik, dengan suhu permukaan lautnya dalam kondisi normal. Idealnya antara 30-31 derajat. Di situ pertumbuhannya akan sangat baik apalagi kalau telah melewati musim hujan.”

Metode spider sendiri adalah penanaman menggunakan media rangka besi yang berbentuk heksagonal yang bentuknya seperti jaring laba-laba. Terbuat dari besi yang dilapisi serat kaca dan pasir.

Rangka spider ini berfungsi sebagai rumah karang. Di bawah laut, kaki-kaki spider ini diikat satu sama lain sehingga saling menguatkan. Melindunginya dari hantaman ombak agar tak bergeser atau hanyut ke mana-mana.

“Kita gunakan metode spider ini karena paling mudah untuk kondisi COVID saat ini, karena bahan bakunya lebih cepat dan proses tumbuhnya juga lebih cepat karang. Di dalam satu meter persegi itu kami pasang sekitar 50 sampai 100 fragmen coral,” jelas Ikram.

Penggunaan metode spider ini juga terkait tujuan yang ingin dicapai dan fungsinya.

“Kita juga biasa gunakan metode beton. Kelebihan beton ini selain untuk rehabilitasi juga untuk fungsi fisik sebagai barrier penahan ombak. Cuma kita lihat di Kapoposang lebih cocok untuk spider karena kita juga ingin membuat destinasi-destinasi diving atau snorkling, yang sangat cocok dengan metode spider ini. Ke depan kita ingin membuat transplantasi dengan fokus pada jenis karang-karang hias sehingga bisa memberikan ekonomi yang lebih tinggi,” jelasnya.

perlu dibaca : Kodingareng Keke Ditarget jadi Laboratorium Terumbu Karang Sulawesi

 

Di dalam laut, kaki-kaki spider ini diikat satu sama lain sehingga saling menguatkan, sehingga melindungi media transplantasi karang itu dari hantaman ombak agar tak bergeser atau hanyut ke mana-mana. Foto: BKKPN Kupang/Mongabay Indonesia.

 

Destructive Fishing

Menurut Ikram, Pulau Kapoposang menjadi salah target rehabilitasi karena dari aspek ekologi merupakan benteng terakhir bagi Kepulauan Spermonde. Di kawasan ini banyak ditemukan beragam jenis ikan karang, terutama kerapu sunu. Di kawasan ini pula tingkat destructive fishing cukup tinggi.

“Di situ aktivitas destructive fishing memang agak tinggi. Tim kami masih melakukan monitoring aktivitas seperti bom dan bius ikan. Pelakunya biasanya nelayan-nelayan dari luar pulau, kebanyakan dari Karangrang,” katanya.

Tidak hanya bom dan bius ikan, ancaman lain berupa pemasangan bubu di sekitar wilayah terumbu karang, di mana nelayan biasanya menggunakan kompresor.

“Itu harus kita halau karena menggunakan bubu pasti memasang di daerah karang di mana mereka akan menginjak dan merusak karang tersebut.”

Untuk aktivitas bom dan ikan sendiri, meski berbagai langkah persuasif dan preventif untuk pencegahan telah dilakukan namun para nelayan-nelayan tersebut ‘kucing-kucingan’ dengan petugas dan warga.

“Mereka biasanya melakukan aktivitas tersebut di pagi atau sore hari, ketika kondisi ombak sangat tinggi, sehingga sulit terawasi.”

Hanya saja, sejak akhir 2018 aktivitas ini mulai berkurang seiring membaiknya jaringan telekomunikasi di pulau tersebut, yang memudahkan pelaporan. Kendalanya pada waktu respon penindakan yang masih terhitung lama, bisa mencapai 2 jam.

“Kita ada tim quick response hanya saja kewenangan penegakan bukan di KKP, tetapi di instansi lain. Kita tetap kolaborasi. Di lapangan kita persuasif saja, mencegah kemudian memberikan ke penanganannya ke mereka,” tambahnya.

baca juga : Kelompok Ini Sukses Tumbuhkan Kembali Terumbu Karang. Bagaimana Ceritanya?

 

Nelayan di Pulau Kapoposang terdampak pandemi COVID-19 di mana aktivitas melaut berkurang. Harga ikan di pusat pelelangan ikan di Makassar pun menurun hingga 50 persen akibat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Foto: Nirwan (YK)/Mongabay Indonesia.

 

Ancaman Lingkungan

Terkait ancaman di wilayah Kapoposang, dibenarkan Nirwan, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL).

“Meski kondisi terumbu karang di Kapoposang masih dalam kategori baik, namun masih menghadapi sejumlah ancaman, seperti penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, wisata dan pembuangan limbah,” katanya,

YKL juga menemukan sejumlah karang yang mengalami kematian akibat penyakit, yang disebabkan oleh menurunnya kualitas perairan di sekitar wilayah tersebut. Selain itu, ada juga kematian karang yang diakibatkan oleh pemangsaan dari biota lain berupa bintang laut seribu, drupella dan corallivore.

Menurut Nirwan, jika dilihat dari udara, Pulau Kapoposang tampak seperti seekor ikan raksasa yang memiliki ekor besar dan sirip pada bagian perutnya. Seluruh pantainya tampak putih oleh warna pasir. Gradasi warna yang terbentuk dari udara persis seperti pulau-pulau lainnya. Terlihat pula semacam flek yang menunjukkan sebaran terumbu karang yang luas di sekitar Pulau Kapoposang. Perbedaan warna antara laut dangkal dan laut dalam sangat tegas.

“Ini menunjukkan daerah tersebut merupakan drop off dan wall, yang menjadi salah satu karakteristik kondisi bawah laut Pulau Kapoposang,” tambahnya.

 

Exit mobile version