Mongabay.co.id

Momentum Tepat untuk Evaluasi Pemanfaatan Lobster 

 

Peralihan kepimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan dari Susi Pudjiastuti kepada Edhy Prabowo, ternyata tak benar-benar dimanfaatkan dengan baik untuk membangun ekonomi kelautan dan perikanan secara benar dan tepat. Kepemimpinan yang baru, justru menjadi momen yang salah karena ada kebijakan yang tidak tepat.

Di antara kebijakan yang tidak tepat itu, adalah penerbitan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia pada 4 Mei 2020 lalu.

Menurut Direktur Ekeskutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, kepemimpinan Edhy Prabowo sebenarnya bisa memanfaatkan momentum yang tepat, di mana usaha budi daya perikanan yang mencakup pembenihan dan pembesaran sedang berjalan baik dan dilaksanakan banyak pembudi daya ikan.

“Sayangnya Menteri tidak mengambil momentum tersebut,” ucapnya saat menjadi pembicara tunggal diskusi daring yang digelar Mongabay pada Rabu (13/5/2020).

baca : Demi Keberlanjutan di Alam, Benih Lobster Fokus untuk Dibudidayakan

 

Nelayan menunjukkan anakan lobster yang dibudidayakan di Pantai Sepanjang, Gunungkidul, Yogyakarta. Foto : Melati Kaye/Mongabay Indonesia

 

Abdul Halim mengatakan, momentum yang tidak dimanfaatkan oleh Edhy Prabowo, menjadi hal yang sangat disayangkan di tengah upaya Pemerintah Indonesia ingin menggenjot produksi sub sektor perikanan budi daya.

Terlebih, karena usaha pembenihan dan pembesaran lobster saat ini sedang banyak diminati dan memberi manfaat yang signifikan untuk peningkatan ekonomi masyarakat pembudi daya ikan dari skala kecil.

Selain itu, dengan melaksanakan usaha pembenihan dan pembesaran lobster, itu juga memberi manfaat yang sangat baik untuk perlindungan lingkungan sekitar. Hal itu, karena usaha membesarkan lobster akan bisa meminimalisasi penggunaan pakan ikan yang akan menghasilkan limbah.

“Sebagai gantinya, usaha pembesaran lobster biasanya memanfaatkan ikan yang tidak akan dikonsumsi,” jelasnya.

Di sisi lain, penerbitan Permen KP No.12/2020 juga menjadi kebijakan yang bertolak belakang dengan lembaga Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas Kajiskan), karena hasil kajian mereka menyebutkan bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya lobster di beberapa wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) sudah dalam status eksploitasi berlebihan.

Bagi Halim, hasil kajian Komnas Kajiskan tersebut seharusnya bisa menjadi panduan bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam membuat sebuah kebijakan. Pasalnya, dengan mengabaikan hasil kajian Komnas Kajiskan, maka itu akan memberi legalitas kepada masyarakat pesisir untuk bisa menangkap benih lobster.

“Akan banyak orang yang berbondong-bondong untuk menangkap benih lobster dan menjualnya ke (negara) pasar tujuan seperti Vietnam dan Singapura,” tuturnya.

baca juga : Adakah Cara Lain Pemanfaatan Benih Lobster, Selain Ekspor?

 

 

Lobster masih jadi salah satu produk perikanan mewah karena harganya mahal, ratusan ribu sampai jutaan tergantung ukuran dan jenis. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Gulung Tikar

Dengan semakin banyak orang yang tertarik untuk menangkap benih lobster dan mengirimnya ke luar negeri, itu juga berarti akan mengancam keberlangsungan usaha lobster di dalam negeri yang banyak melibatkan pembudi daya ikan skala kecil.

Menurut Halim, tanpa ada intervensi langsung yang tegas dari Pemerintah Indonesia, maka Permen KP No.12/2020 hanya akan semakin melanggengkan usaha menghabiskan sumber daya lobster yang ada di perairan Indonesia. Bahkan, bukan tidak mungkin jika di masa mendatang Indonesia akhirnya akan menjadi importir lobster dari Vietnam.

“Bukan dengan membuka kembali kebijakan ekspor benih Lobster, Pemerintah seharusnya bisa fokus untuk menata kembali dan memetakan kondisi lobster dan benih yang ada saat ini,” tegasnya.

Dari pandangan Halim, Pemerintah Indonesia harusnya tidak hanya melihat peluang ekonomi dari bisnis ekspor yang salah satunya didasarkan pada nilai potensi kerugian akibat upaya penyelundupan benih lobster setiap tahun yang mencapai antara Rp300 miliar hingga Rp900 miliar saja.

Akan tetapi, Pemerintah juga harus melihat dampak lingkungan yang ditinggalkan jika eksploitasi benih lobster terus dilakukan dengan cepat. Selain itu, dengan cara tersebut, Pemerintah juga secara sadar sudah mematikan usaha budi daya perikanan untuk pembenihan dan pembesaran lobster.

“Seharusnya Menteri yang baru bisa menggerakkan pembudi daya untuk terlibat dalam kegiatan pembenihan dan pembesaran lobster,” tambahnya.

Pada kesempatan sebelumnya, Abdul Halim juga menjelaskan bahwa penerbitan Permen tersebut akan membuat pelaku usaha budi daya lobster di seluruh Negeri akan mengalami kesulitan untuk memperoleh benih lobster yang berkualitas dengan harga yang terjangkau.

Kemudian, harga lobster yang sudah melalui proses pembesaran di dalam negeri juga akan anjlok karena diakibatkan terus meningkatnya permintaan lobster dari Vietnam. Kondisi tersebut akan mengancam usaha lobster milik pelaku usaha skala kecil gulung tikar.

“Itu akibat menduanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (Edhy Prabowo) yang menitikberatkan pada peningkatan PNBP (pendapatan negara bukan pajak) perikanan ketimbang menyejahterakan pembudi daya dalam negeri secara masif,” jelas dia.

Dengan kata lain, Permen 12/2020 menandai babak baru eksploitasi sumber daya perikanan, khususnya benih Lobster untuk tujuan jangka pendek, yakni untuk menggenjot PNBP di sektor perikanan. Upaya tersebut seperti dijelaskan di atas, bertolak belakang dengan hasil kajian Komnas Kajiskan tentang sumber daya Lobster di Indonesia.

perlu dibaca : Sebanyak Rp1,37 Triliun Potensi Kerugian Negara Diselamatkan Dari Penyelundupan Benih Lobster

 

Lobster, salah satu jenis unggulan hasil perikanan kelautan Indonesia. Foto: Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Larangan Eksploitasi

Menurut Halim, status tersebut berlaku untuk 11 WPP NRI dan karenanya tidak boleh ada kegiatan eksploitasi benih lobster tanpa merujuk pada sejumlah aturan pendukung yang sudah ada. Adapun, aturan yang dimaksud, adalah hasil studi Komnas Kajiskan sebagai basis data acuan stok lobster.

Kemudian, ada juga peraturan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP terkait nelayan kecil yang dibolehkan menangkap benih lobster, dan peraturan Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP terkait pengawasan pemanfaatan benih lobster.

Terpisah, Menteri KP Edhy Prabowo pada Selasa (12/5/2020) memberikan keterangan resmi berkaitan dengan penerbitan Permen KP 12/2020. Menurutnya, perubahan aturan tentang pemanfaatan lobster sudah melalui hasil kajian yang mendalam oleh para ahli yang kompeten di bidangnya.

“Aturan itu dibuat berdasarkan kajian para ahli. Sehingga kita lihat saja dulu. Kita bikin itu juga berdasarkan perhitungan,” ujarnya dalam siaran pers yang dikirim KKP kepada Mongabay, Rabu (13/5/2020).

Tentang kekhawatiran banyak pihak yang menyebutkan bahwa izin ekspor benih lobster akan mengancam populasi komoditas tersebut, Edhy mengatakan bahwa itu tidak benar. Menurutnya, aturan izin benih lobster sebenarnya sangat mengedepankan prinsip keberlanjutan yang diterapkan oleh para para pelaku usaha.

Dia memaparkan, bagi para pelaku usaha yang ingin mengekspor benih lobster, maka mereka harus terlebih dahulu melakukan usaha budi daya lobster dan kemudian melaksanakan pelepasliaran sebanyak dua persen dari hasil panen budi daya ke perairan asal ataupun sekitarnya.

Penerapan syarat melaksanakan budi daya bagi para pelaku usaha yang ingin mengekspor benih lobster, didasarkan pada hasil kajian yang dilakukan para ahli lobster di Universitas Tasmania, Australia. Saat bertemu para ahli secara langsung beberapa waktu lalu, Edhy mengaku mendapatkan penjelasan bahwa lobster adalah komoditas yang biasa dibudidayakan sejak lama.

“Ditambah lagi, potensi hidup (survival rate/SR) lobster budi daya sangat besar mencapai 70 persen, jauh lebih tinggi dibanding hidup di alam,” sebutnya.

Di samping keberlanjutan, alasan ekonomi menjadi pertimbangan diterbitkannya Permen KP 12/2020. Alasan tersebut didasarkan pada pengalaman sebelumnya saat Permen KP 56/2016 masih berlaku, di mana banyak nelayan yang mengaku kehilangan mata pencaharian untuk menangkap benih Lobster ataupun budi daya Lobster.

“Kita mendorong keberlanjutan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Keduanya harus sejalan. Tidak bisa hanya keberlanjutan saja, tapi nelayan kehilangan penghasilan. Tidak bisa juga menangkap saja, tanpa mempertimbangkan potensi yang dimiliki,” pungkas dia.

 

Exit mobile version