Mongabay.co.id

Catatan Klimatologi untuk Banjir Besar di Banda Aceh

Banjir besar melanda Banda Aceh tanggal 7-9 Mei 2020 lalu. Di tengah pandemik Corona, ribuan warga mengungsi. Dalam suasana Ramadhan, warga menjalani aktivitas sembari berpuasa di tenda posko-posko pengungsian yang dibangun pemerintah kota.

Sejauh ingatan dan cermatan sepanjang hayat penulis, tercatat sudah tiga kali dalam interval 20 tahun, banjir besar merendam ibukota Provinsi Aceh, yaitu di tahun 1978, 2000 dan 2020.

Sejenak saya perhatikan foto lawas koleksi milik kolega saya, Bapak Zulkarnain Jalil berjudul “Banjir Tahun 1978” yang dimuat di sebuah media Aceh tanggal 8 Mei 2020. Beliau yang kala itu berumur 11 tahun (kelas 5 SD) bersama keluarga mengungsi ke Mesjid Raya Baiturrahman. Penasaran, saya mencari tahu peristiwa yang merendam Banda Aceh tahun 1978.

Penelusuran saya menemukan berita lawas yang dihimpun Majalah Tempo Januari 1979. Di luar dugaan, ternyata kejadian banjir kala itu cukup dahsyat. Diberitakan air bah mengelupas aspal jalan di Banda Aceh sepanjang 20 kilometer.

Tanggul Sungai Aceh jebol hingga ratusan meter. Banjir memutus sebuah jembatan di Peuniti, sebuah kelurahan di Banda Aceh. Walikota Banda Aceh waktu itu, Drs. Jakfar Ahmad mencatat total kerugian yang ditaksir mencapai Rp300 juta.

 

Banjir tahun 1978, menggenangi Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Dokumen: Bapak Zulkarnain Jalil

 

Peristiwa lebih dahsyat terjadi di Aceh Besar mencatat kerugian lebih dari Rp1,4 milyar, yang meliputi 6 ribu hektar sawah tergenang dengan separuh areal rusak parah. Sepanjang 100 km jalan provinsi dan kabupaten rusak.

Rumah yang hanyut mencapai 25 unit berikut hewan ternak dalam jumlah besar. Sejumlah wilayah terisolasi imbas ambruknya jembatan hingga 14 unit.

Kondisi ini ditengarai akibat hutan di pegunungan Aceh Besar di mana Sungai Aceh berhulu mengalami deforestasi. Curah hujan tinggi yang mengguyur Banda Aceh dua pekan menjelang pergantian tahun berdampak meluapnya Sungai Aceh sekaligus menggenangi Banda Aceh.

Air berwarna kuning pekat seperti tampak dalam foto Bapak Zulkarnain Jalil merendam kota hingga puluhan sentimeter. Pada banjir 1978, Banda Aceh terendam akibat luapan Sungai Aceh. Namun tidak demikian dengan Sungai Daroy yang turut membelah Kota Banda Aceh.

Dugaan terkait kondisi hutan yang telah rusak di hulu Gunung Seulawah menguat dibalik musibah ini. Sebuah sumber menyebutkan angka seluas 64 ribu hektar. Warga Indrapuri mengatakan lumpur kental berwarna kuning kemerahan yang mengendap selepas surut seperti tanah yang dijumpai di Seulawah.

Selang 22 tahun kemudian, banjir besar kembali terjadi. Banjir terjadi di awal milenium, tepatnya tanggal 21-23 November 2000. Saya yang tinggal di Seutui Banda Aceh turut terendam air bah setinggi lutut orang dewasa oleh luapan Sungai Daroy.

Mengutip berita lawas media Aceh, rumah penduduk dan bangunan lain yang tergenang mencapai ribuan unit. Warga mengungsi mencapai puluhan ribuan jiwa. Ibukota Aceh lumpuh karena hampir seluruh wilayah administratifnya tergenang air kecuali beberapa wilayah di Ulee Kareng.

Kawasan Aceh Besar yang berdekatan dengan Banda Aceh ikut terdampak. Tercatat puluhan areal persawahan terendam. Banyak hewan ternak tenggelam. Penampang Sungai Aceh dipenuhi air bah, meluap hingga kopelma Darussalam.

Kawasan terparah melanda Peuniti Banda Aceh. Curah hujan (CH) yang saya peroleh dari BMKG Blang Bintang Banda Aceh, mencatat angka 129, 141, 185 milimeter (mm) masing-masing untuk tanggal 21, 22, 23 November 2000.

Sementara secara klimatologis (untuk mengamati keadaan normal), nilai CH rata-rata pada puncak musim hujan November yang saya olah dari data CH dalam rentang 1982-2018 adalah sebesar 250 mm. Ini berarti akumulasi CH selama 3 hari telah melebihi keadaan rata-rata (normal).

 

Penggalian batu gunung dan tanah di areal Perbukitan Peukan Bada, Aceh Besar. Banjir dan longsor hanya menunggu waktu. Foto: Yopi Ilhamsyah

 

Hujan ekstrem berdampak volume air yang turun dari langit sangat besar. Kapasitas sungai berpenampang kecil seperti Sungai Daroy jadi kelebihan muatan. Demikian juga saluran air/parit di pemukiman warga serta gorong-gorong ruas jalan Banda Aceh. Keadaan diperparah dengan sampah yang menyumbat sistem drainase tersebut.

Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tanggal 07-08 Mei 2020, banjir besar kembali melanda Banda Aceh. Hujan deras berlangsung dua hari berturut-turut. Catatan CH oleh Muhajir, forecaster senior BMKG Indrapuri, hujan yang turun di Lueng Bata yaitu 152 mm, Ulee Kareng 152 mm, Meuraxa 107 mm dan Jaya Baru 125 mm. Angka ini tercatat sebagai yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir pada periode hujan April-Mei.

Untuk CH 152 mm dengan luas Banda Aceh 61,36 km persegi, maka volume air yang telah dihasilkan sebanyak 9,3 milyar liter. Sangat masif!

Banda Aceh dan Aceh secara umum mengalami dua kali puncak musim hujan. Musim hujan pertama jatuh pada bulan November-Desember. Dua banjir besar yaitu tahun 1978 dan 2000 terjadi pada periode ini. Sementara musim hujan kedua jatuh pada April-Mei seperti dialami pada April dan Mei tahun ini.

Hujan periode April-Mei disebabkan muson Asia. Sirkulasi dari Asia Selatan membawa udara yang mengandung uap air. Ketika mencapai Khatulistiwa, udara menjadi jenuh dan hujan turun di seantero Aceh.

Catatan kolonial bersumber dari Paul van’t Veer turut menyebutkan periode pertama perang Belanda di Aceh pada 26 Maret hingga 24 April 1873 disertai hujan lebat dan banjir besar.

Kondisi ini pula yang membuat Kolonel E.C. van Daalen menarik ribuan pasukannya dari palagan Aceh dan pulang ke Batavia/Jakarta. Seorang jurnalis Belanda, Conrad Busken Huet menyindir keputusan militer tersebut lewat tulisan berjudul Moessonkolonel atau Kolonel Muson (hujan) pada koran yang terbit di Batavia.

Kendati banjir Banda Aceh telah melegenda, pencegahan banjir di ibukota Provinsi Aceh saat ini perlu diimplementasikan.

 

Ilustrasi banjir di Aceh yang terjadi beberapa waktu lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perbaiki Kualitas Lingkungan

Tolok ukur kota yang baik tampak lewat tata kelola sistem saluran termasuk sungai dan drainase beserta ruang hijaunya. Dua hal ini mutlak untuk mewujudkan kota Banda Aceh tangguh iklim.

Tanpa disertai sistem drainase yang baik, maka Banda Aceh dapat kembali terendam air hujan. Pengamatan saya, Sungai Aceh akan dipenuhi air. Sungai Daroy dan sub-DAS (Daerah Aliran Sungai) lain termasuk saluran irigasi meluap menimbulkan genangan di sejumlah bantaran.

Jelang musim hujan, sejumlah sungai termasuk Sungai Aceh dan irigasi harus dinormalisasi. Sungai-sungai ini telah mengalami penyempitan penampang akibat alih fungsi lahan menjadi pertokoan, perkebunan/sawah dan perumahan.

Aktivitas penebangan hutan di hulu serta penggalian batu dan tanah di perbukitan/pegunungan menyebabkan sejumlah sungai yang berhilir di Banda Aceh mendangkal akibat sedimentasi.

Coba perhatikan bukit-bukit yang telah digali di Peukan Bada. Dari Lampisang Aceh Besar, perhatikan barisan bukit dari rangkaian Pegunungan Bukit Barisan yang telah digali. Jika diabaikan, maka banjir dan longsor lainnya di kemudian hanya tinggal menunggu waktu. Hutan di hulu juga perlu kembali direstorasi untuk mencegah air permukaan.

Sistem drainase juga perlu ditata dengan baik dan ruang hijau sebagai daerah resapan air turut diperbanyak. Penanaman vegetasi pinggir jalan dan sungai seperti pohon trembesi dan bambu yang mampu mengikat tanah, menyimpan air dan menyerap karbon dalam jumlah besar guna memulihkan iklim kota yang telah berubah, juga perlu ditingkatkan.

Minimnya vegetasi ini akan berimbas pada tingginya curah hujan. Daerah kota yang panas ibarat magnet, menarik awan hujan dan menempelnya di kota. Ini mengapa hujan turun berhari-hari di Banda Aceh karena awan hujan menggantung selama berhari-hari di atas kota.

Tentu saja perilaku warga yang selalu peduli lingkungan dengan turut menjaga kebersihannya dari sampah turut menjadi indikator kota yang baik.

 

* Yopi Ilhamsyah, penulis adalah Dosen Klimatologi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, artikel ini adalah opini penulis.

 

 

Exit mobile version