Mongabay.co.id

Maluku Utara Terdampak Krisis Iklim

Abrasi terus menghantam Pulau Pagama, hingga kini hampir hilang. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Setyawan, bagian Data dan Informasi BMKG Stasiun Meteorologi Baabullah Ternate, memaparkan beberapa fakta perubahan iklim di Maluku Utara, antara lain terlihat dari kenaikan suhu rata-rata tiap tahun.

Hasil analisis dan pantauan data 1980-2018, di 500 titik stasiun pengamatan BMKG di seluruh Indonesia, dari beberapa titik pengamatan menunjukkan kecenderungan suhu rata- rata mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan, menuju 2020 keseluruhan data memperlihatkan ada peningkatan rata- rata dari normal.

“Di Maluku Utara terhadap kondisi normal selama 30 tahun pengamatan dari 1980-2010, rata rata kenaikan suhu. Kondisi anomali pada 2015 naik 0,6 derajat celcius dibanding kondisi normal 28 derajat celcius.,” katanya, dalam diskusi para pihak membahas perubahan iklim di Maluku Utara, belum lama ini.

Pada 2016, naik lagi 1,02 derajat. Pada   2017 naik 0,06 derajat, 2018 naik 0,9 derajat, 2019 naik 0,7-0,8 derajat.

Untuk suhu lokal Ternate, memasuki 2020 juga mengalami kenaikan sampai 1,4 derajat. Di Sanana, naik 1,2 derajat. “Kondisi suhu setiap tahun makin naik.”

Sementara curah hujan setiap tahun mengalami penurunan. Biasa puncak hujan terjadi Desember, tetapi sangat kurang. “Curah hujan jauh dari normal hanya 20 mm-15 mm,” kata Setyawan.

Isu perubahan iklim ini diawali gejolak es di kutub mencair. Dalam bebagai pertemuan internasional ada kecenderungan peningkatan pemanasan muka bumi. Pola iklim atau mengalami pergeseran salah satu di Indonesia.

Contoh di Bogor, dulu disebut kota hujan, sekarang sudah mulai bergeser dari kondisi biasa atau normal.

Di Ternate juga begitu, sesuai data grafis perubahan suhu di Ternate, Galela, Labuha dan Sanan, baik awal musim maupun akhir musim data time series cukup panjang sampai 30 cukup jadi alasan buat menyimpulkan terjadi kenaikan suhu.

Dari kajian itu, katanya, sudah membuktikan kondisi suhu mengalami kenaikan. Khusus di atas tahun 2000-2020 ini, ada banyak perubahan. “Kita lihat dulu kalau September hingga Desember ada air yang melimpah karena curah hujan begitu tinggi. Memasuki 2020, misal, curah hujan berkurang,” katanya.

Dia bilang, di Maluku Utara, kurun 1980–awal 2020, ada kecenderungan suhu muka laut naik. Kalau suhu muka laut naik akan mengubah pola sirkulasi angin . Kalau sirkulasi angin  berubah secara otomatis menimbulkan perubahan musim.

Kondisi ini, katanya, tak dipahami sebagian besar masyarakat. Kebanyakan mereka berpikir kondisi normal ternyata sudah ada perubahan yang berdampak terhadap kepentingan masyarakat.

Contoh, petani menyiapkan bibit karena biasa November-Desember banyak air karena masuk musim penghujan hingga cocok untuk menanam.

“Minimal curah hujan 150 mm. Ternyata, tidak ada hujan. Hanya 50 mm ke bawah. Jika ini kondisinya, akan jadi musibah bagi petani. Petani akan rugi karena modal tidak kembali.”

Dulu, katanya, Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, punya sumber air bagus. Akhirnya, surplus pangan atau jadi pusat (lumbung) pangan. Saat ini, karena curah hujan makin menurun maka terjadi gagal panen dan penyediaan pangan menurun. Warga Ternate dan Malaut, misal, tidak bisa mendapatkan suplai pangan. Akhirnya mereka mengharapkan pasokkan beras dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

 

Pulau Lelei, Maluku Utara, terus terkikis abrasi. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Belum lagi dampak perubahan iklim yang lain, seperti, angin muson dan perubahan arah angin. Saat musim angin kuat, suplai bahan pangan akan terganggu.

Akhirnya, perubahan iklim ikut mengubah kondisi pasar dan harga kebutuhan pokok jadi naik. Bahan pangan sulit didatangkan dari luar karena transportasi laut terganggu. Dampaknya, harga barang tidak terkontrol dan menyebabkan inflasi. Dengan begitu mengganggu stabilitas ekonomi daerah.

“Ini harus disadari semua pihak. Perubahan Iklim itu suatu keniscayaan. Proyeksi yang dibuat BMKG adalah cara memberikan informasi kepda publik. Terpenting proyeksi yang dibuat jangan sampai tidak disikapi pemerintah daerah.”

Adityawan Ahmad, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Khairun Ternate mengatakan, perubahan iklim memberikan ancaman luar biasa.

Penyebabnya, katanya, berhubungan dengan perilaku manusia hingga terjadi peningkatan CO2. Efek rumah kaca yang berfungsi mengatur suhu bumi tetap hangat, karena terjadi penebalan di lapisan atmosfer maka panas bertahan lebih lama di bumi dan menimbulkan peningkatan suhu.

Dia contohkan, sumber emisi antara lain dari kendaraan, AC atau kulkas di rumah sampai pelepasan emisi dari penghancuran hutan.

Negara-negara industri paling banyak memproduksi emisi. Untuk itu, dunia internasional, nasional hingga daerah harus berkomitmen   menurunkan kenaikan suhu.

Berhubungan dengan iklim yang berubah, katanya, dulu kalau masuk November-Desember sudah pasti turun hujan dan angin. Orang tidak berlayar lagi. “Sekarang bergeser. Desember kemarin aman-aman saja. Nah ini terjadi pergeseran musim yang nyata.”

Di Sanana, ada satu Pulau Pagama, nyaris hilang. “Saya pernah sampai di pulau ini, terjadi kenaikan muka air dan hampir tenggelam. Sayang kebijakan Pemerintah Kepulauan Sula karena masuk kawasan wisata maka akan dibuat reklamasi. Lucu saja karena pulau kecil ini mau direklamasi, jadi seperti apa?” kata Adityawan.

Dalam kasus ini, katanya, kalau melihat data-data lingkungan, pesisir, mangrove, terumbu karang, lamun dan hutan, masih bagus tetapi pulau terkena imbas. Dalam kasus ini, katanya,   bukan orang Sula yang serakah tetapi dunia. Kalau bicara air laut, maka bicara dunia.

 

Hutan yang tergerus untuk beragam keperluan, seperti tambang, kebun sawit dan lain-lain di Indonesia, merupakan kontribusi utama pelepasan emisi karbon. Wilayah tambang PT NHM dari citra satelit. Sumber: AMAN Malut

 

Data BMKG menunjukkan, suhu tiap tahun terus naik. Kalau suhu naik maka terjadi pemanasan di bumi. Kalau bumi mengalami pemanasan maka gletzer atau es di kutub utara dan selatan mencair. Ketika es mencair volume air meningkat dan yang terimbas provinsi di pulau-pulau kecil termasuk Malut.

Pulau-pulau berukuran kecil, katanya, sangat berisiko tenggelam atau hilang. Dia mengajak semua pihak, beraksi berbasis ekologi.

Dalam kasus ikan mati awal 2020 di Malut, ada dugaan kenaikan suhu muka laut. Pada Januari-Februari, terjadi kenaikan suhu hingga 1,04 derajat dan 0,77 pada Februari.

“Ikan mati itu indikator awalnya. Lalu, warna air berubah jadi cokelat maka ada dua dugaan, pengadukan massa air karena suhu permukaan berbeda dengan suhu dasar hingga terjadi pengadukan. Air di dasar membawa racun atau sedimen naik.”

Kemudian, ada dugaan blooming algae atau ada peningkatan algae di perairan. Penyebabnya, ada peningkatan limbah rumah tangga.

Sesuai hasil diskusi pakar kelautan dan perikanan di daerah ini, katanya, menyebutkan ini dampak perubahan iklim. Karena dalam kejadian itu, banyak isu berseliweran termasuk khawatir dampak limbah tambang. Belum lagi isu reklamasi yang marak di Ternate.

Nursahid Musa dari Walhi Malut memberikan beberapa catatan penting terkait isu perubahan iklim. Menurut dia , perlu data informasi detail melalui riset soal perubahan iklim. Informasi mendasar soal perubahan suhu permukaan air laut, katanya, penting bagi aktivis atau pegiat yang konsern isu lingkungan.

Laporan terakhir Journal American Science menyebutkan, peningkatan suhu bumi karena perubahan iklim berimbas pada perubahan suhu air laut. Dia bilang, 93% pemanasan global karena ada emisi karbon yang diserap laut. Sejauh ini, katanya, kajian perubahan iklim masih melihat dalam konteks strategi mitigasi dalam daratan.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan, laut lebih banyak menyerap energi 10 kali lebih banyak dari daratan hingga pemanasan laut jadi indikator perubahan iklim sangat penting diperhatikan.

Bagi warga yang hidup di pulau kecil, laut dalam banyak hal merupakan tempat terbaik. Kalau laut tak menyerap energi, otomatis daratan akan makin panas. Secara otomatis, katanya, manusia terselamatkan oleh fungsi laut dari bencana krisis iklim. “Ini fakta. Lautan sebenarnya memiliki peran menyelamatkan manusia dari bencana iklim. Harusnya ini jadi dasar ketika bicara tentang dampak dari perubahan iklim.”

 

Keterangan foto utama: Abrasi terus menghantam Pulau Pagama, hingga kini hampir hilang. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Pepohonan bertumbangan tersapu air laut di Pulau Pagama. Foto: Wandi Buamona

 

Exit mobile version