Mongabay.co.id

Berbagi: Sebuah Inspirasi dari Masa Pandemi guna Atasi Krisis Iklim

Ada pepatah yang menyebutkan “Apa yang kamu peroleh di pagi hari sudah cukup untuk pagi hari, dan apa yang kamu peroleh di malam hari sudah cukup untuk malam itu.”

Ungkapan ini sangat relevan untuk saat ini di mana di tempat kami tinggal, di Malaysia, yang tengah memasuki bulan kedua karantina untuk membatasi penyebaran virus corona. Hal ini memaksa penduduk dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah berjuang sendirian.

Ketika Perdana Menteri Malaysia mengumumkan Movement Control Order/ Perintah Pengendalian Gerakan 14 hari (MCO, alias “karantina”) di awal Maret, saya telah memprediksikan bahwa kondisi tersebut akan berlangsung lebih dari 14 hari. Oleh karena itu, saya dan keluarga mulai bersiap untuk tetap di rumah dalam kurun waktu yang lebih lama.

Kami tidak tahu apakah kami akan dapat memenuhi kebutuhan dasar kami nantinya. Kami membeli lebih banyak makanan kaleng dari biasanya dan saya berbangga hati untuk dapat mengatakan bahwa kami tidak turut serta memborong kertas toilet secara berlebihan.

Sekitar tanggal 23 Maret, lini masa media sosial saya mulai dipenuhi dengan kisah-kisah orang-orang yang tidak bisa tetap tinggal di rumah. Banyak dari mereka bergantung pada upah harian atau memberanikan diri untuk keluar rumah untuk berjualan makanan, sayur-mayur, atau barang-barang dan jasa lainnya meski harus melanggar aturan MCO.

Mereka semua menderita – orang tua tunggal, lansia, penyandang disabilitas, mereka menghadapi masa-masa sulit yang paling parah.

Dengan semangat untuk membantu, saya mulai turut serta dalam penggalangan dana yang diprakarsai oleh anggota parlemen untuk mendistribusikan makanan di daerah pemilihannya (di mana saya juga merupakan seorang konstituen).

Kemudian, dalam waktu yang hampir berdekatan, rekan-rekan saya di dewan nirlaba lokal sepakat untuk memobilisasi tim kami untuk membeli dan mendistribusikan makanan ke 20 desa di wilayah pinggian.

Upaya ini sangat sederhana. Tetapi, melalui upaya ini, saya menyadari bahwa keberhasilan kami untuk mengatasi pandemi ini sangat bergantung pada kemampuan golongan yang paling rentan untuk mematuhi MCO.

 

Sebuah lereng bukit yang dibuka untuk jalan bagi perkebunan sawit di Sabah, Malaysia. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Upaya Mengatasi Krisis Iklim

Dengan cara yang sama, kemampuan kita untuk mengatasi krisis iklim akan bergantung pada apakah keluarga-keluarga di negara berkembang – yang sebagian besar berada di wilayah tropis – dapat terus mencari nafkah mereka.

Untuk menjaga agar pemanasan global tetap di bawah 1,5°C, dunia meminta negara-negara hutan tropis untuk menjaga hutan mereka dan menggeser jalur pembangunan mereka, mengharuskan mereka untuk meninggalkan model yang masih dijalankan dunia maju saat ini, yakni memperdagangkan aset alam untuk keuntungan sosial ekonomi.

Bahkan, pendukung terbesar dari aksi-aksi iklim adalah negara-negara yang masih terus memperdagangkan aset alam mereka untuk kepentingan pembangunan. Padahal, dunia meminta negara-negara hutan tropis untuk mengubah cara hidup mereka dan menjalani jalur pembangunan yang eksperimental.

Salah satu eksperimen tersebut adalah dengan mendorong pasar untuk membersihkan rantai pasokan, menjauhkannya dari deforestasi. Sejauh ini, pasar dan perusahaan telah melakukan upaya sebagaimana diminta. Banyak perusahaan telah membuat komitmen publik untuk menerapkan rantai pasok yang bebas deforestasi.

Seruan untuk menjalankan intervensi ini paling keras terdengar dari elemen paling ujung dari rantai pasokan global. Namun, negara-negara yang berada di awal rantai pasoklah yang harus menanggung konsekuensi paling berat dari kebijakan ini sejak awal, khususnya negara-negara tropis dengan jumlah produsen komoditas skala kecil yang besar.

Mengingat betapa terhubungnya kita secara global serta banyaknya komitmen yang telah dibuat oleh nama-nama besar dalam komoditas perdagangan, untuk mengakhiri deforestasi dalam rantai pasok mereka pada tahun 2020 Kita seharusnya telah melihat perubahan besar dalam hal laju deforestasi.

Ternyata, kita telah memasuki tahun 2020 dengan laju deforestasi yang justru semakin mengkhawatirkan.

Total 3,6 juta hektar hutan primer hilang pada tahun 2018, -seluas negara Belgia. Total tutupan pohon yang hilang pada tahun 2018 mencapai rekor tertinggi 12 juta hektar. Sementara itu, berbagai laporan menunjukkan bahwa deforestasi di Amazon kembali meningkat dalam dua bulan pertama tahun 2020.

Oleh karenanya, terlihat jelas bahwa meskipun sudah banyak komitmen yang bermaksud baik, kita belum juga berhasil meratakan kurva deforestasi.

Salah satu alasannya adalah kekhawatiran negara-negara tropis bahwa mereka harus menanggung biaya yang terlalu besar jika mereka memilih untuk menjaga aset alam mereka. Mereka takut bahwa pilihan untuk mengunci aset mereka akan mengorbankan pemberdayaan manusia dan kesempatan orang-orang di negara mereka untuk mencari nafkah.

 

Kunci keberhasilan berada di mata rantai terlemah

Seperti halnya dalam mengatasi pandemi coronavirus, faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan kita untuk mengatasi perubahan iklim adalah bagaimana nasib masyarakat yang paling membutuhkan. Ada dua jalur yang dapat kita pilih.

Pertama, komunitas iklim dapat terus memaksakan standar dan harapan tinggi mereka agar semua negara hutan tropis mengupayakan yang lebih baik lagi — tanpa dukungan apa pun — karena itu adalah hal yang sudah seharusnya mereka lakukan.

Atau, kedua, dunia dapat menerima, seperti yang saya yakini selama pandemi ini, bahwa cara terbaik untuk membantu kita dalam mengatasi perubahan iklim secara global adalah dengan membantu tetangga-tetangga kita yang sedang berjuang keras dalam hidup mereka.

Dalam konteks solusi perubahan iklim, membantu tetangga Anda adalah hal yang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Alih-alih mengajukan tuntutan tanpa berkonsultasi lebih dulu, negara-negara maju dan para pelaku pasar harus mampu melihat realitas di lapangan, dan di sektor-sektor di mana mereka mengajukan tuntutan ini.

Mereka harus menyadari bahwa akan selalu ada hambatan  untuk mencapai standar dan harapan yang mereka tetapkan. Beban tidak bisa diletakkan di pundak, saat orang masih berpikir “saya tidak membutuhkan bagaimana itu terjadi di masa depan”. Mereka membutuhkan kebutuhan primer mereka [termasuk kebutuhan konsumsi] segera, di saat ini.

Negara maju dan dunia bisnisnya, juga harus mengidentifikasi dan berinvestasi di sektor-sektor yang telah menunjukkan itikad baik untuk mengatasi perubahan iklim, yaitu lewat tindakan aksi dan tanda-tanda awal yang positif.

Mereka harus berinvestasi dan membangun platform multi-pemangku kepentingan di tingkat lokal, yaitu untuk berbagi tanggung jawab dalam merumuskan komitmen, dan yang terpenting, dalam melaksanakan komitmen tersebut di lapangan.

Hari ini, ada sejumlah daerah di wilayah tropis yang telah menjalankan langkah-langah berarti untuk menuju pembangunan rendah emisi. Sayangnya, model ini tidak mendapatkan banyak dukungan.

Pengakuan atas upaya daerah-daerah tersebut sangat sedikit. Begitu pula investasi yang mereka terima: minim, atau bahkan tidak ada sama sekali.

Saya sungguh berharap bahwa pelajaran yang kita dapat dari pandemi ini, tidak serta-merta hilang ketika kita melawan perubahan iklim. Sadarilah bahwa kita semua terhubung dan hubungan tersebut hanya akan tetap kuat jika kita menjaga mata rantai terlemah di antara kita.

 

Artikel ini juga tersedia dalam bahasa Inggris: Feed your neighbour, solve big problems

 

* Darrel Webber, penulis adalah Direktur Pelaksana Strategi Hutan Global untuk lembaga nirlaba Earth Innovation Institute dan mantan CEO Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO). Sebagai penduduk asli Kalimantan, Darrel lahir di Sabah, tempat ia tinggal saat ini. Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

Exit mobile version