Mongabay.co.id

Bersiasat Merawat Satwa yang Terancam Punah Saat Wabah Corona

 

Rudy Arifin, gamang menghitung hari. Ada semacam keraguan yang dirasakan pria 52 tahun itu. Pasca lembaga konservasi ditutup selama dua bulan, pemerintah berencana membuka kembali pada 29 Mei nanti. Meski demikian, penetapan tanggal itu bisa saja meleset. Pasalnya, jenjang waktu pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun belum diketahui periode berakhirnya.

“Ditengah segala ketidakpastian tak banyak pilihan selain bersiasat mengurusi satwa agar tidak terlantar,” kata Manajer Operasional Taman Satwa Cikembulan Kabupaten Garut, Jawa Barat itu saat ditemui belum lama ini.

Saat memeriksa kandang karantina, pupil matanya tertuju pada seekor macan tutul jawa berumur 5 tahun. Satwa langka itu, mendenguskan nafas. Menggeram. Menerka siapa yang memanggilnya dengan sebutan “Devi”.

“Dia (macan tutul) buta sejak berkonflik dengan manusia di hutan Ciamis. Naluri liarnya masih ada sekalipun taringnya sudah patah,” ungkapnya.

Di alam bebas, seharusnya Devi sudah kawin dan beranak pinak. Namun, karena tersingkir dari habitatnya di Suaka Margasatwa Gunung Sawal. Kini macan tutul itu hanya bisa menghabiskan umurnya di karantina.

baca : Mendesak.. Nasib Satwa di Kebun Binatang Butuh Kebijakan Negara

 

Devi, seekor macan tutul jawa di kandang karantina Taman Satwa Cikembulan Kabupaten Garut, Jawa Barat. Lembaga konservasi yang didirikan tahun 2009, kerap menampung satwa hasil konflik dengan manusia. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Saat berumur satu tahun, kata Rudy, kucing besar betina itu bertubuh kurus, perutnya buncit dan terlihat tonjolan pada tulang pinggangnya. Merasa prihatin, ia mengajukan permohonan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Ciamis untuk menampung macan tutul malang itu di Taman Satwa Cikembulan miliknya.

Dipercaya sebagai lembaga konservasi eks situ, Rudy tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan negara. “Sekarang Devi jauh lebih gemuk dan sehat karena mendapat asupan makanan 4 kilogram daging sapi dan ayam per hari. Perawatan kesehatan melalui dokter hewan juga rutin dilakukan,” ucapnya.

Di tempat perlindungan satwa itu, Rudy sudah menampung Kupa, macan tutul jantan, juga dari Gunung Sawal. Total, ada 6 macan tutul jawa di sana. Semuanya merupakan satwa yang “kalah” dari kerasnya konflik dengan manusia.

Sebetulnya, Devi bisa saja dikawinkan dengan Kupa. Akan tetapi karena terkendala fasilitas, penjodohan pun urung terwujud.

Kisah penyelamatan satwa yang kritis seperti Devi itu bukanlah satu-satunya. Seekor merak (Pavo cristatus) yang sekarat juga berhasil diselamatkan. Berbeda dengan macan tutul, merak itu awalnya milik seorang warga Garut yang tidak mampu lagi merawat.

Ada juga, owa jawa dewasa yang bernasib serupa. Si “pemilik” enggan merawat sehingga diserahkan kepada petugas balai konservasi. Akibat salah urus, kata Rudy, primata setia ini hidup tak normal. Penyebabnya, kerap diberi pakan berupa pur ayam selama bertahun-tahun.

“Setelah perawatan, dia kembali menyukai buah dan sayuran. Sebenarnya, owa jawa ini lebih cocok bila dititiprawatkan di Aspinall Ciwidey (pusat rehabiltasi primata jawa), karena mereka fokus ke primata,” terang Rudy.

baca juga : Krisis Pakan Satwa di Kebun Binatang Dampak Pandemi Corona

 

Orangutan, salah satu koleksi satwa di Taman Satwa Cikembulan Kabupaten Garut, Jawa Barat. Lembaga konservasi eks situ memiliki luas 5 hektare dengan koleksi satwa berjumlah 435 ekor dari 114 spesies. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kepedulian

Pergulatan Rudy dengan satwa berawal dari ketidaksengajaan. Pada 2009 lalu, ia diminta membantu mengurusi izin pemeliharaan satwa dilindungi milik kakaknya.

Konsep yang diajukan adalah taman satwa. Konsep tersebut diajukan karena ketika itu sudah ada 200 hewan dari 70 spesies yang hendak dipelihara di lahan seluas 1 hektar di Desa Cikembulan.

Mewujudkan taman satwa tidaklah sederhana, katanya. Banyak yang dikorbankan. Bukan melulu tentang uang, tenaga dan pikiran. Ruwetnya regulasi yang mesti ditempuh demi mendapatkan izin bahkan nyaris menghentikan langkah Rudy.

Tak cukup sampai di situ, nada sumbang yang menganggap idenya gila dan tidak menguntungkan sempat dirasakan Rudy. Begitu juga dengan penolakan masyarakat setempat.

“Tetapi karena didasari kesenangan terhadap binatang sehingga menjalaninya pun tulus,” katanya mengenang.

Ia meyakini bahwa usaha taman satwa lebih dari sekadar mencari keuntungan ekonomi. Perlindungan hewan langka dengan kualitas hidup layak merupakan tujuan utama lahirnya taman satwa.

Tidak adil, katanya. Jika orientasinya konservasi hanya untuk mendatangkan untung dari upaya perlindungan hewan semata. Apalagi itu mustahil, “Sebab dalam sebulan saja, kami harus mengeluarkan biaya Rp200-300 juta untuk operasional taman satwa termasuk kebutuhan pakan satwa. Bila pemerintah melihat kami tidak mampu merawat hewan-hewan yang ada, sewaktu-waktu bisa disita.”

Selama pandemik, Rudy mengaku banyak belajar. Ia mulai mengembangkan pakan mandiri terutama bagi satwa herbivora. Untuk karnivora, ia berjejaring dengan para peternak lokal untuk mendapatkan daging sapi dan ayam dengan harga yang kompetitif.

Sejauh ini, penyesuaian pakan, merumahkan separuh pekerja hingga mengeluarkan ongkos pribadi untuk biaya perlindungan satwa sudah dilakukan. Meski buntung, keputusan itu mesti tetap disiapkan agar satwa tak terancam kelaparan.

“Paling tidak kami sudah mempersiapkan skema terburuk yang kemunginan akan terjadi,” paparnya.

perlu dibaca : Penyelamatan Satwa di Tengah Pandemi Corona

 

Singa, salah satu koleksi satwa di Taman Satwa Cikembulan Kabupaten Garut, Jawa Barat. Lembaga konservasi eks situ memiliki luas 5 hektare dengan koleksi satwa berjumlah 435 ekor dari 114 spesies. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Memberdayakan

Dalam perkembangannya, keberadaan taman satwa memunculkan banyak hal positif. Selain jadi kawasan wisata di Garut, potensi ekonomi lokal juga diberdayakan. Rudy mempekerjakan 30 orang di taman satwa, 90%-nya adalah warga lokal yang semula bekerja serabutan. Terkecuali tenaga medis.

Aep (20), mantan kuli pasar, salah satunya. Ia menjadi penjaga beruang madu dan kasuari sejak 2018 lalu. Dengan pelatihan dan praktik lapangan, kini Aep mafhum mengenai tabiat satwa, kesukaan satwa, cara memandang satwa terhadap manusia serta kebiasan-kebiasaan lainnya.

Begitu juga dengan Abah Kendi (65) yang sudah bekerja selama 10 tahun mengurusi puluhan mamalia endemik seperti kijang, rusa totol dan rusa timor. Selama pandemi, ia mengaku beruntung bisa terus diberdayakan di taman satwa. Saat ini, dia ditugasi mengurus kebun sayur mayur untuk cadangan pakan satwa herbivora.

Sementara itu, Humas Taman Satwa Cikembulan Willy Ariesta (26), berharap dibukanya kembali kebun binatang tak melenceng dari jadwal pemerintah. Ia mengaku rindu memberikan pemahaman kepada khalayak tentang tentang aturan perlindungan satwa langka dengan benar.

“Saya senang menyampaikan pesan konservasi seperti yang dilakukan bapak,” kata putra sulung Rudy ini.

Saat ini taman Cikembulan telah mampu meningkatkan kapasitas tampung satwa menjadi 5 hektare. Koleksi hewannya pun juga bertambah dua kali lipat. Jumlahnya 435 ekor dari 114 spesies. Willy menjelaskan, penambahan itu didapat dari perkembangbiakan secara alami, sumbangan masyarakat, dan limpahan dari kebun binatang yang kelebihan populasi.

Potensi itu kemudian terus dikembangkan dengan menjalin hubungan dengan intansi pendidikan di Garut. Sehingga kunjungan ke taman satwa dijadikan salah satu edukasi muatan lokal berbasis konservasi bagi murid taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Tujuannya, siswa mendapatkan pengenalan langsung tentang berbagai jenis hewan.

baca juga : Nasib Primata di Tengah Pandemi COVID-19

 

Kondisi Taman Satwa Cikembulan yang terpaksa tutup selama pandemi covid19 di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Lembaga konservasi eks situ memiliki luas 5 hektare dengan koleksi satwa berjumlah 435 ekor dari 114 spesises. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Selain itu sekolah menengah kejuruan juga rutin datang untuk belajar tentang kesehatan dan kesejahteraan satwa. Bahkan, penelitian bagi mahasiswa jenjang strata 1 dan 2 banyak dilakukan di Cikembulan. Kawasan ini diteliti sebagai pola pengembangan kawasan eks situ yang ideal.

Menjelang sore, Willy bergegas ke lahan belakang taman satwa untuk mengecek ternak unggas dan ikan sebagai candangan pakan. Situasi saat ini, katanya, memaksa taman satwa untuk terus meningkatkan mutu agar terus diminati dan tak ditinggalkan.

“Saya berharap masyarakat Garut dan sekitarnya terbantu dengan adanya taman satwa ini. Minimalnya, bagi setiap orang yang berkunjung ke Cikembulan menjadi lebih peduli terhadap perlindungan satwa langka,” pungkasnya.

 

Donasi Pakan Satwa dan Kebijakan Pemerintah

Penutupan seluruh Lembaga Konservasi di Indonesia bagi pengunjung sebagai dampak penerapan kebijakan PSBB di beberapa daerah untuk meminimalisasi penyebaran COVID19 telah memunculkan isu satwa kelaparan akibat kehabisan pakan. Sebagai dampak tidak adanya pemasukan dana di LK.

Meski ditutup, LK tetap melakukan pemeliharaan terhadap satwa, mulai dari pemberian pakan, pemeriksaan kesehatan hingga menjaga kebersihan lingkungannya.

Ketua Umum Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI) Rahmat Shah mengatakan pihaknya mendukung upaya pemerintah memutus mata rantai penyebaran virus COVID19, dengan menutup kegiatan operasional seluruh LK di Indonesia sejak Maret 2020.

“Penutupan ini jelas berdampak bagi pengelola LK. Apalagi selama ini LK mengandalkan biaya pengelolaan satwa dan karyawan dari tiket masuk pengunjung. Mudah mudahan pandemi ini tidak berkepanjangan karena sebagian LK hanya mampu bertahan hingga bulan Juli 2020. Namun selama penutupan, keeper satwa masih tetap bekerja seperti biasa merawat satwa. Begitu pula dokter hewan tetap melakukan pemeriksaan kesehatan satwa untuk menjamin kesejahteraannya,” kata Rahmat dalam siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jumat (15/5/2020).

perlu dibaca : Mengurangi Interaksi Manusia pada Satwa Liar untuk Pencegahan Jenis Penyakit Baru

 

Petugas memberi makan tapir koleksi Kebun Binatang Bandung pasca penutupan selama wabah korona di Taman Sari, Kota Bandung. Menurut Marketing Communcation Bandung Zoo, Sulhan Syafi’i, pihaknya hanya mampu menyediakan pakan hingga empat bulan ke depan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Oleh karena itu Rahmat Shah berharap perhatian dan dukungan dari KLHK untuk membantu LK, sebagaimana yang telah dilakukan pada saat ini. Selain itu, PKBSI juga berinisiatif mengajak masyarakat luas untuk ikut peduli satwa di LK dengan membantu program donasi “Food for Animal.” Seluruh hasilnya akan disalurkan kepada LK yang benar – benar membutuhkan pembiayaan pakan satwa dan obat obatan selama masa pandemic COVID19 ini.

“Tentu kami akan mempertanggungjawabkan seluruh donasi masyarakat secara transparan. Termasuk menyeleksi LK yang sangat membutuhkan bantuan. Baik selama masa pandemi maupun masa recovery pasca pandemi ini,” tambah Rahmat.

Sedangkan Direktur Jenderal KSDAE KLHK Wiratno mengatakan Lembaga Konservasi umum di Indonesia seperti Kebun Binatang, Taman Satwa dan Taman Safari yang telah mendapatkan ijin pemerintah cq KLHK sebanyak 81 unit. Pengelolanya mulai dari badan usaha milik Pemerintah Daerah maupun BUMS.

“Dengan jumlah koleksi satwa lebih dari 66.845 individu baik karnivora, herbivora, burung dan ikan, penutupan LK mempengaruhi operasional dalam mencukupi kebutuhan pakan dan obat obatan. Untuk membantu mereka, KLHK telah mengalokasikan pakan dan obat obatan bagi LK yang membutuhkan,” katanya.

Selain dukungan pakan dan obat obatan, KLHK juga memberikan dukungan melalui kebijakan, seperti

  1. Surat Menteri LHK ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor S.210/ MENLHK/PHPL/HPL.3/4/2020 tanggal 3 April 2020, tentang Permohonan Relaksasi Kebijakan Ekonomi Sektor Kehutanan termasuk didalamnya diusulkan stimulus keringanan perpanjangan masa pembayaran pajak serta kebijakan tertentu terkait pembatasan pergerakan dalam hal penyediaan pakan satwa.
  2. Surat Menteri LHK ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor S.280/ MENLHK/SETJEN/OTL.0/4/2020 tanggal 23 April 2020, tentang Permohonan Relaksasi Pajak bagi Lembaga Konservasi.
  3. Surat Menteri LHK ke Menteri Keuangan Nomor S. 279/MENLHK/SETJEN/ OTL.0/4/2020 tanggal 23 April 2020 tentang Permohonan Relaksasi Pajak Bagi Lembaga Konservasi.
  4. Surat Menteri LHK ke Menteri Dalam Negeri Nomor S.277/MENLHK/SETJEN/ OTL.0/4/2020 tanggal 23 April 2020 tentang Permohonan Relaksasi Pajak Bagi Lembaga Konservasi.
  5. Surat Direktur Jenderal KSDAE ke Korlantas POLRI dan Dirjen Perhubungan Darat Nomor S.211/KSDAE/KKH/KSA.2/5/2020 tanggal 6 Mei 2020 tentang Permohonan Pengecualian Transportasi Penyediaan Pakan Satwa di Kebun Binatang.

 

Exit mobile version