Mongabay.co.id

Wabah Tak Setop Perdagangan Ilegal, Ratusan Burung Mati saat Proses Pengiriman

 

 

 

 

Masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ternyata tak menghentikan aksi perdagangan ilegal satwa liar, seperti dilakukan HS, warga Takengon, Aceh Tengah, Aceh, yang berusaha menyelundupkan ribuan burung pleci (Zosterops japonicus) dari Aceh ke Kota Medan, Sumatera Utara, menggunakan jalur transportasi darat. Pengiriman paket dengan cara tak layak, dari 1.266 burung pleci, 556 mati, hanya 710 hidup.

Situasi jalan dari Aceh-Sumut yang cukup lengang, karena ada aturan pengurangan kegiatan di luar rumah, dimanfaatkan pelaku untuk menjalankan aksi membawa sedikitnya 1.266 burung, yang disembunyikan dalam 30 kardus. Burung-burung mereka tempatkan di bagian belakang bus milik PT Atlas, terletak di Jalan Ringroad, Gagak Hitam, Kota Medan.

Aksi ini diketahui petugas Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) Wilayah Sumatera, yang mengamankan ribuan barang bukti.

 

Jauhnya jarak perjalanan Aceh Tengah ke Medan, Sumut, lebih 500 burung pleci mati. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Haluanto Ginting, Kepala Seksi Wilayah 1 Medan- Aceh, Balai Gakkum KLHKl Wilayah Sumatera mengatakan, pengamanan ribuan burung dari Takengon Aceh Tengah ke Medan ini, karena tak dilengkapi surat angkut tumbuhan dan satwa dalam negeri.

Pengungkapan kasus ini, katanya, setelah ada laporan masyarakat, bahwa akan ada pengiriman ribuan burung dari Aceh ke Medan.

Mendapat informasi ini, mereka langsung membentuk tim dan investigasi. Dua hari pengintaian, mobil yang membawa ribuan burung ini melintas di perbatasan Aceh-Sumut. Petugas yang lakukan pengintaian, mengikuti mobil yang membawa burung-burung itu.

“Karena tidak dilengkapi surat angkut tumbuhan dan satwa dalam negeri, barang bukti langsung kita amankan. Si pembawa ribuan burung itu juga pemeriksaan mengenai asal usul barang bukti, kata Haluanto Ginting, Jumat (8/5/20).

Burung-burung yang ditempatkan dalam 30 kardus itu, mengalami kondisi tak baik karena perjalanan cukup jauh dari Aceh ke Sumut. Ketika diamankan, dari 1.266 burung pleci, 556 sudah mati, hanya 710 hidup.

“Pengirimnya dari Aceh Takengon inisial HS dan penerimanya di Medan berinisial S. Dari pemeriksaan terhadap S, didapatkan informasi kalau burung-burung itu dikirim dari Aceh untuk ecer di Medan dan sekitar, ” katanya.

 

Petugas Seksi Wilayah I Balai Gakkum KLHK WIlayah Sumatera membawa burung yang diamankan dari upaya perdagangan ilegal. Foto:  Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Meskipun penerima dan pengirim tidak ditahan karena ribuan burung itu bukan satwa dilindungi, namun dia memastikan akan ada pengembangan kasus ini. Informasi awal yang mereka terima satwa-satwa yang akan dikirim jenis dilindungi. Dia bilang, akan ada koordinasi dengan BKSDA Aceh, soal daftar pengumpul maupun penangkaran di Aceh.

Kasus ini terbongar dari investigasi jual beli burung FLIGHT Protecting Indonesia’s Birds. Marison Guciano, Direktur Eksekutif FLIGHT Protecting Indonesia’s Birds mengatakan, untuk membongkar kasus ini mereka investigasi perdagangan burung ilegal di Sumut, termasuk Kota Medan. Investigasi baru satu bulan belakangan.

“Kami sering membantu otoritas dengan penyelidikan, menyediakan informasi, kemudian kami berikan kepada otoritas agar segera diambil tindakan,” kata Marison.

Untuk kasus di Medan, mereka mendapatkan informasi dari pedagang-pedagang di Riau, bahwa banyak perburuan dan penyelundupan di Sumut dan Aceh, tetapi minim pengungkapan kasus. Mereka pun tertarik investigasi.

“Kami menekankan kepada tim, jangan patah semangat tetap bekerja di lapangan dengan mematuhi standar COVID-19. Pekerjaan terus lanjut. Kami menemukan informasi pengiriman burung dalam jumlah cukup besar, dengan bus Atlas dari Aceh Tengah ke Medan. Tim mengikuti dan kami meneruskan informasi kepada Gakkum, yang merespon dengan sangat baik, ” katanya.

Sudarmadji, pernah bekerja sebagai Kepala Bagian Peraturan Perundang-undangan dan Informasi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Departemen Kehutanan –sekarang Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK, mengatakan, aksi mereka bisa berdampak pada kehilangan populasi burung ini di alam liar.

“Satwa liar juga harus dilengkapi izin, seperti izin tangkap, izin angkut dan sebagainya. Tetapi tidak ada sanksi hukuman, kecuali kalau satwa itu terbukti dari kawasan konservasi, tetap bisa dihukum.”

Sudarmadji bilang, perlu sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya konservasi sumber daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam harus bijaksana, dalam artian tidak boros.

“Satwa-satwa yang berhasil disita harus kembali ke alam. Tingkatkan penangkaran atau budidaya, Jangan egois, biarkan burung lepas di alam bebas.”

 

 

Keterangan foto utama: Lebih 500 burung pleci mati dalam proses penyelundupan dengan bus dari Takengon ke Medan. Foto: AYyat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Burung pleci sian yang masih bertahan hidup, sebagian yang lain mati. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version