Mongabay.co.id

Aceh Tengah Banjir Bandang, Walhi: Kembalikan Fungsi Hutan Sebagaimana Mestinya

 

 

Banjir bandang menerjang lima desa di dua kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Air bah yang turun bersama lumpur dan bongkahan kayu sisa penebangan itu, terjadi pada Rabu, 13 Mei 2020.

Badan Penanggulangan Bencana Aceh [BPBA] pada 14 Mei 2020, menjelaskan, bencana yang terjadi di Desa Paya Tumpi Induk, Paya Tumpi Baru, Pinangan, dan Gunong Balohen, Kecamatan Kebayakan, dan Desa Daling, Kecamatan Bebesan, mengakibatkan 57 rumah rusak dan 89 jiwa mengungsi.

Berdasarkan rekaman video yang beredar luas di media sosial, banjir sore hari itu tidak hanya menerjang permukiman tapi juga menghanyutkan kenderaan roda dua dan empat.

“Sebanyak 31 rumah rusak berat dan 26 rumah rusak sedang, juga menghancurkan perkebunan dan pertanian masyarakat. Korban luka akibat bencana ini mencapai lima orang,” jelas BPBA dalam laporannya.

Hingga saat ini, masyarakat dibantu pemerintah dan berbagai pihak berupaya membersihkan lumpur dan kayu yang memenuhi permukiman.

Baca: Catatan Klimatologi untuk Banjir Besar di Banda Aceh

 

Banjir bandang melanda Aceh Tengah. Foto: Istimewa/Badan Nasional Penanggulangan Bencana

 

Peringatan

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur mengatakan, organisasi masyarakat sipil telah berkali mengingatkan pemerintah di Aceh dan pihak lainnya untuk memperhatikan pelestarian dan pemanfaatan hutan beserta lahan. Tentunya, berdasarkan daya tampung dan daya dukung.

“Perambahan hutan terus terjadi, termasuk di dataran tinggi Gayo, yaitu: Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Hutan juga rusak karena berbagai proyek pembangunan yang mengubah fungsi hutan,” terangnya Senin [18/5/2020].

Muhammad Nur menyebutkan, semua pihak, khususnya pemerintah sangat memahami dataran tinggi di Aceh memiliki tanah yang labil. Rawan bencana, banjir maupun longsor.

“Dari berbagai kajian, wilayah tengah Aceh termasuk Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues merupakan kawasan rawan bencana longsor dan banjir bandang. Namun, kajian tersebut tidak digunakan, termasuk alasan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan daerah, sehingga ruas jalan baru dibuka,” ujarnya.

Walhi Aceh selalu mempertanyakan komitmen pemerintah dan para pihak dalam mempertahankan tutupan hutan. Deforestasi akibat pembalakan liar, pembukaan kebun, adanya ruas jalan, serta pertambangan legal maupun ilegal dan rusaknya bantaran sungai adalah permasalahan yang terjadi saat ini.

“Sayang, kita semua tidak belajar dari berbagai bencana yang melanda negeri ini. Kesalahan pengelolaan dan pelestarian hutan jangan diulangi. Bencana ini bukan hanya cobaan, tapi juga karena kita yang mengundang,” terang Muhammad Nur.

Baca: Derita Warga Terkena Banjir dan Longsor di Masa Pandemi

 

Banjir bandang di Aceh Tengah tidak hanya merusak rumah tapi juga kendaraan bermotor dan membuat sejumlah masyarakat mengungsi. Foto: Badan Penanggulangan Bencana Aceh Tengah

 

Berdasarkan data tim Geographic Information System [GIS] Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA], tiga tahun terakhir laju kerusakan hutan di Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues meningkat. Ini terlihat dari berkurangnya tutupan hutan.

Kabupaten Aceh Tengah kehilangan tutupan hutan mencapai 6.234 hektar. Rinciannya, pada 2017 [1.894 hektar], 2018 [1.924 hektar], dan 2019 meningkat menjadi 2.416 hektar.

Kabupaten Bener Meriah juga sama, tutupan hutannya berkurang. Tahun 2017 [569 hektar], 2018 [765 hektar], dan 2019 [951 hektar].

Gayo Lues mengalami hal serupa. Tahun 2017, kabupaten ini kehilangan tutupan hutan 811 hektar, pada 2018 [1.494 hektar], dan 2019 [1.228 hektar].

Baca juga: Meski Pandemi, Perusakan Hutan Leuser Tidak Berhenti

 

Fungsi hutan di Aceh Tengah harus dikembalikan sebagaimana mestinya. Foto: Junadi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perbaikan daerah resapan air

Kepala Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Idrus Saputra mengungkapkan, banjir bandang terjadi karena daerah resapan air di beberapa perbukitan, termasuk di Pantan Terong yang terletak pada ketinggian 1.350 m dpl telah rusak.

“Untuk menghindari banjir bandang susulan, pemerintah harus segera menyelamatkan daerah resapan air di Aceh Tengah dengan menjadikan hutan lindung atau wilayah konservasi,” sebutnya.

Idrus mengatakan, selama ini perbukitan mulai di rambah untuk dijadikan areal perkebunan atau pertanian, tanpa melihat dampak terhadap masyarakat yang tinggal di bawah.

Lereng-lereng di jalur masuk ke Pantan Terong mulai di rambah baik untuk ditanami kopi maupun palawija, termasuk kentang. “Pemerintah Aceh Tengah beberapa tahun terakhir juga menggalakkan penanaman kentang di daerah tersebut,” ujarnya.

Baca juga: Rusaknya Hutan Berdampak pada Kualitas Kopi Arabika Gayo

 

Kopi arabika Gayo yang merupakan salah satu produk kopi terbaik dunia, di hasilkan di kebun kopi yang ada di sekitar Lut Tawar, Aceh Tengah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Monalisa, Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh menyebutkan, menanam palawija termasuk kentang atau kol di lereng gunung atau di daerah resapan air adalah kegiatan berbahaya. Dapat mengundang bencana.

“Kondisinya malah labil karena gembur. Jika hujan turun tanah akan mudah terbawa air,” sebutnya.

Monalisa mengatakan, menggalakkan penanaman kentang bukan hanya terjadi di Kabupaten Aceh Tengah, tapi juga terjadi di Kabupaten Bener Meriah. “Jika daerah tanamnya tidak benar-benar diperhatikan, bencana seperti tanah longsor akan semakin sering terjadi.”

Monalisa menuturkan, saat ini lereng-lereng perbukitan di dataran tinggi Gayo juga dirambah untuk dijadikan kebun kopi, dengan merusak hutan.

“Pemerintah harus cepat mencegah, mengembalikan fungsi hutan agar bencana lebih besar tidak datang,” tutupnya.

 

 

Exit mobile version