Mongabay.co.id

Bentrok Orang Rimba dan Sekuriti Perusahaan Sawit di Masa Pandemi Buntut Konflik Berlarut

Orang Rimba hidup di bawah sudung, semacam tenda dari terpal dan kayu. Mereka hidup berpindah-pindah mencari apapun yang bisa untuk bertahan hidup. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch

 

 

 

Suara Temenggung Ngempas terdengar berat di ujung telepon. Dia satu-satunya Kelompok Orang Rimba di Desa Gading Jaya, Kecamatan Tabir Selatan, Kabupaten Merangin, Jambi, yang berdekatan dengan Rombong Sikar di Sungai Mendelang Kecamatan Tabir Selatan, Merangin, yang bentrok dengan petugas keamanan perusahaan sawit, PT Sari Aditya Loka (SAL), Selasa, (12/5/20).

Ngempas mengaku belum bertemu Sikar dan menanyakan detail bentrok itu. Dia mendapat informasi dari orang rombong Sikar. “Dari anak buah (anggota rombong) Sikar itulah baru tahunya, kalau ada bentrok dengan PT (SAL-1), ado Begendak, Betendak dan Bujang Abang yang ngasih informasi kemarin itu,”katanya ketia dihubungi Mongabay, Sabtu (16/5/20).

Baca juga: Kala Anak-anak Orang Rimba Rentan Terserang Penyakit

Kejadian bermula ketika anggota kelompok itu selama ini tinggal di dalam perkebunan itu mengambil buah sawit jatuh dari tandan atau brondolan. Mereka Begendang, Parang, Bujang Kecik, Mak Erot, Betenda, Nenek, Natas dan Ebun berencana mengumpulkan brondol. Belum sempat memungut buat sawit, Orang Rimba ini bertemu dengan satpam perusahaan. Mereka dihadang dan disuruh balik.

“Kami disuruh putar balik, kami nurut baelah (ikut saja),”kata Begendang.

Setelah disuruh putar balik rombong Orang Rimba langsung balik, hanya saja satpam masih mengiringi mereka dari belakang. Dari sinilah akhirnya timbul keributan. Akibatnya, bentrok antara Orang Rimba dengan satpam. Bentrok berlanjut sampai ke pemukiman Orang Rimba di Sungai Mendelang hingga sudung (pondok) dan pakaian Orang Rimba dirusak. “Termasuk satu motor kanti dibawa orang itu.”

Ngempas tinggal berjarak 1,5 jam perjalanan ke lokasi Rombong Sikar. Ngempas mengaku sudah hampir tiga bulan sejak wabah Virus Corona , semua rombong Orang Rimba memilih tinggal masuk ke dalam kawasan hutan.

“Kami ketakutan karena Corona ini semua rombong Orang Rimba lari ke dalam semua, masuk hutan. Ada juga di kebun masyarakat di pinggir hutan termasuk rombong saya dan Sikar,” katanya.

Mereka bertahan hidup dari hasil buruan dan bantuan dari Dinas Sosial Kabupaten Merangin.

Ado bantuan untuk makan, juga berburu juga cuma untuk makan be, kalau dijual kami dak pernah ke Bangko lagi kareno Corona ini. Takut kami, buk, dak berani jualnyo” kata Ngempas.

Ngempas bilang, ada perusahaan yang menghubungi untuk hadir Senin (18/5/20) dimintai keterangan terkait konflik yang menimpa rombong Sikar. Ngempas menolak, selain takut terpapar Corona. Ngempas juga tak mau memberikan keterangan bahwa konflik itu terjadi antara Orang Rimba dan masyarakat.

 

 

Pemukiman dan sekolah Orang Rimba di kawasan PT SAL. Foto: ELviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Apa kata pihak perusahaan? “Pada peristiwa itu pun tidak terjadi penyerangan terhadap Orang Rimba, malah perusahaan melalui satpam kami yang dikeroyok, “kata Mochamad Husni, Manajer Hubungan Masyarakat SAL, kala dihubungi.

Berdasarkan keterangan perusahaan, lima petugas keamanan sedang patroli. Di tengah jalan mereka dihadang delapan Orang Rimba dan terjadilah pengeroyokan terhadap petugas perusahaan. Mereka dipukul hingga babak belur dan basah kuyup karena diceburkan ke parit.

Baca juga: Potret Perempuan Iban dan Orang Rimba kala Hutan Hilang jadi Kebun Sawit

Untuk menghindari perkelahian lebih lanjut, tim kemananan menghindar dan memilih mundur ke pos terdekat. Dia bilang kondisi di lapangan sudah aman dan sudah dilakukan perdamaian kedua belah pihak.

“Siang ini sudah terjadi perdamaian, Kelompok Sikar mengakui, kelompoknya melakukan pemukulan terhadap securiti perusahaan, dimediasi kepolisian. Sikar sudah menyampaikan permintaan maaf dan perusahaan juga menerima permintaan maaf.”

Dalam Warta Ekonomi menyebutkan, kalau Orang Rimba Rombong Sikar dan perusahaan sudah berdamai. Dalam situs berita ekonomi itu menyatakan, perdamaian dua kelompok yang berselisih itu juga disaksikan Kapolres Merangin AKBP Mokhamad Lutfi SLK, Dandim 0420 Sarko Letkol Inf Tommy Radya Diansyah Lubis, dan Kepala Dinas Sosial PPK Kabupaten Merangin Junaidi.

Junaidi membenarkan, antara Orang Rimba dan SAL pernah terjadi perselisihan, namun telah sepakat berdamai dan saling memaafkan. Mereka berharap, ke depan persoalan serupa tak terjadi lagi.

Pemerintah, katanya, melalui Dinas Sosial membantu dan membimbing kelompok itu untuk meningkatkan taraf hidup, salah satu pembangunan rumah. Di masa pandemi Corona, Pemkab Merangin, Jambi juga aktif sosialisasi dan membantu Orang Rimba memenuhi kebutuhan pangan.

 

Perjalanan panjang konflik

Pada November 2018, saya berjumpa dengan Departi Selora dari Rombong Sikar, di Desa Mentawak, Kecamatan Tabir Selatan, Merangin. Rombong ini yang berkonflik tiga hari lalu. Ada 11 rumah dibangun SAL dan satu ruang belajar. Ada 31 keluarga bermukim di luasan tanah berkisar dua hektar. Di belakang lokasi, Orang Rimba membangun sesudungon untuk mereka beristirahat. “Kalau masih ado rimbo, senang, sekarang pencarian pi ado lagi, “ katanya.

HGU SAL-1 terbit 1996 seluas 5.171 hektar dan tanggung jawab pengelolaan lahan tambahan 308 hektar pada 2005 tertuang dalam salinan HGU SAL-1-surat keputusan Menteri Pertanian Nomor 353 / Kpts/KB.510/6/1987 tentang proyek pengembangan PIR Trans Kelapa Sawit di Rantau Panjang Tabir, Sarolangun Bangko dan Daerah Muara Bungo, Bungo Tebo, Jambi. Perusahaan sawit ini merupakan anak perusahaan Astra Agro Lestari Tbk.

Perusahaan ini beralamat di Desa Muara Delang, Kecamatan Tabir Selatan, Kabupaten Merangin, Jambi. SK Amdal Nomor 071/RKL-RPL/BA/VI/95 dengan persetujuan revisi amdal Nomor 36/2006. Luas total perkebunan sawit 19.701,15 hektar dengan pola inti–plasma dengan rincian, kebun inti murni 5.479,45 hektar, plasma 13. 157,56 hektar, dan KKPA 1.064, 65 hektar.

Berdasarkan data KKI Warsi 2018, Orang Rimba yang tinggal di tanah perkebunan sawit SAL berjumlah 778 jiwa tergabung dalam 192 keluarga. Mereka tinggal hidup di pinggir-pinggir perkebunan sawit itu dengan membuat pondok. Orang Rimba ini tersebar mulai dari DAS Air Hitam seperti Air Panas, Sungai Keruh, Paku Aji, Simapuih, Punti Kayu, Tengkuyungan, Sungai Putih dan DAS Mandelang.

Menurut catatan KKI Warsi, selama 17 tahun terakhir sejak 1997, telah terjadi konflik yang menyebabkan korban jiwa dari Orang Rimba. Konflik ini bagian dari usaha Orang Rimba mempertahankan hidup mereka.

Kala itu, Depati Selora mengatakan, lokasi inti 1 SAL merupakan tanah adat, tempat balai dilangsungkan dan pusako bagi rombong mereka.

“Disana tanah balai kami, ada kuburan nenek moyang kami di sana dan sementara pabrik itu, kebun durian dan buah mereka,”katanya.

Pada 28 Agustus 2018, lima Tumenggung Orang Rimba mengadukan nasib mereka ke Gubernur Jambi. Menurut Tumenggung Sikar, yang hingga kini tinggal di Muara Delang SP C Kebun Inti I SAL, persoalan mereka sudah ada sejak perusahaan itu datang menghancurkan hutan Orang Rimba.

“Kami hidup terkatung-katung, ibarat ayam kami tidak adu induk, kami mengadu dengan bepak rajo godong,” kata Sikar, kala itu.

 

Perempuan Rimba di Rombong Sikar, menguliti pinang pada November 2018. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Kini, katanya, hidup Orang Rimba dari mengambil bondol sawit, dan ketika diketahui perusahaan bondol yang sudah mereka ambil disita. “Padahal, tanah nenek moyang kami itu yang kini jadi pabrik SAL itu. Dulu, kami mau dirumahkan dekat SAL, tetapi kami tidak diberikan lahan. Di sebelah kami dibangunkan transmigrasi dikasih lahan usaha. Nah, kami mau hidup dari apa? Memungut brondolan saja kami dilarang,” tambah Tumenggung Kecinto.

Tumenggung Kecinto dan kelompoknya sudah dirumahkan oleh pemerintah pada 2001 di Air Panas, di pinggir sawit SAL. Waktu itu, Orang Rimba mengira mereka dapat rumah mendapat perlakuan sama dengan transmigrasi era 1990-an. “Rupanya kami macam ikolah, piado diberiko lahan, hidup kami makin susah,”kata Kecinto, juga dikenal dengan nama Afrizal.

Sejak ada perusahaan sekitar 1995, Orang Rimba makin tergusur. Seiring waktu Orang Rimba menginginkan hak mereka kembali. Ada sejumlah opsi tuntutan Orang Rimba, yang pertama lahan mereka kembali dengan cara melepaskan lahan sawit SAL sekitar 500 hektar yang akan dibagikan ke masing-masing keluarga.

Artinya, masing-masing keluarga dapat dua hektar. Kalau opsi ini tidak bisa dipenuhi, Orang Rimba berharap pemerintah tidak memperpanjang izin hak guna usaha SAL di wilayah itu. “Jika sudah berakhir HGU jangan diperpanjang, kembalikan saja lahan kami,”kata Sikar, kala itu.

Pilihan berikutnya, perusahaan memberikan lahan lain untuk Orang Rimba, terserah di mana yang penting mereka bisa mendapat akses.

Kehidupan Orang Rimba sangat memprihatinkan. Tidak ada ketersediaan lahan dan hutan yang bisa mereka manfaatkan kecuali dengan membeli.

Orang Rimba hidup dengan memungut sumber alam eksotik seperti ular, biawak, penis buaya, kumpulkan anak karet, biji sawit, pengumpul pinang, petai, jengkol (sebagian dari kebun masyarakat), ataupun rongsokan besi tua –yang dianggap Orang Rimba tidak terpakai lagi oleh masyarakat desa. Terkadang, Orang Rimba juga ambil tanaman warga transmigrasi dan perkebunan sawit.

Dari catatan Warsi, kurun 15 tahun terakhir ada 14 Orang Rimba meninggal dunia karena konflik dengan masyarakat desa.

 

***

Kalau melihat dari sejarah, Orang Rimba, selalu menghindari konflik fisik terbuka. Antropolog Universitas Diponegoro, Adi Prasetidjo menyebutkan, semua hubungan dengan orang luar di Komunitas Orang Rimba melalui waris dan jenang dengan seizin mereka.

“Ini terutama untuk Orang Rimba di Bukit 12, yang di luar tak sekuat di Bukit 12,” katanya.

Dari aturan persumpahan dunia terang dan hutan, katanya, dunia terang—tak berhutan– merupakan dunia orang luar (Melayu), hutan adalah dunia Orang Rimba. “Nah, ketika daerah-daerah terbuka, mulai tahun 80’an, mulai tuh orang-orang luar masuk. Baik seizin waris jenang maupun tidak. Dulu, jika konflik dengan orang luar, Orang Rimba menghindar dan masuk ke hutan. Menghindarlah pokoknya. Atau diselesaikan lewat waris dan jenang. Maka, ada istilah mengadu ke waris dan jenang.”

Mulai tahun 80’an, hutan Jambi terbuka untuk sawit dan transmigrasi lalu pemukiman dan lain-lain, maka dunia mereka juga makin terbuka. Interaksi Orang Rimba dengan orang luar jadi langsung tidak lewat waris jenang.

“Lama-lama oleh Orang Rimba, waris dan jenang dianggap tidak memihak mereka, atau dianggap tidak punya kuasa lagi seperti dulu.”

Konflik fisik terbuka pertama Orang Rimba, sampai ada korban itu pada 1997, di Sungai Ruan. Ada dua Orang Rimba meninggal dunia.

“Kalau penyebab, kebanyakan kasus karena stigma dan prasangka orang luar ke Orang Rimba yang menyebabkan berkelahi dan lain-lain.”

Dalam desertasinya, dia menyebutkan, kalau ada tiruan yang dilakukan Orang Rimba dari cara-cara orang luar.

Adi Prasetidjo bilang, konflik dengan SAL sudah berlangsung lama dan bisa terus terjadi mengingat banyak kenangan lahan bagi mereka.

“Mereka tinggal disitu mulai lahir. Daerah jelajah semuanya di situ. Lansekap disitu. Nggak mungkin dia pindah ke tempat lain. Kenapa? Karena mereka masih terikat dengan adatnya secara lansekap. Misal, orang Terap nggak mungkin masuk lalu tinggal ke Sungai Kejasung, kecuali dia Semendo dan lain-lain.”

Mereka hidup dengan memahami lansekap kemudian masuk sawit, berubahlah lansekap mereka. “Tapi masih mindset lansekap seperti di hutan. Jadi, nggak heran ada brondolan diambil karena dianggap seperti pohon di depan rumahnya, lalu diambil dijual persis kayak mereka dulu ambil rotan, damar dan lain-lain.”

“Bedanya sekarang sawit, plus milik perusahaan hingga dianggap maling. Ini akan terus menerus konfik kalau tidak ada solusi nyata.”

 

***

Keterangan foto utama: Orang Rimba hidup di bawah sudung, semacam tenda dari terpal dan kayu. Mereka hidup berpindah-pindah mencari apapun yang bisa untuk bertahan hidup. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch

 

 

Exit mobile version