Mongabay.co.id

Dengarkan Jeritan Bumi: Sebuah Refleksi Teologis atas Masalah Tanah dan Ruang Hidup

“Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku. (Imamat 25:23)

 

Selamat merayakan Hari Raya Kenaikan Yesus Kristus Ke Surga, yang jatuh pada hari ini (21/05). Tulisan ini adalah renungan teologis tentang rumusan pekerjaan Allah, secara khusus mencermati hubungan manusia dengan alam lingkungannya.

Pernahkah pembaca sekalian mendengar istilah Oikotree? Agaknya di Indonesia masih sedikit yang mengetahuinya. Kata ini berasal dari dua istilah alkitabiah: Oikos and the Tree of Life (Wahyu 22.1-2). Oikos berarti rumah, rumah, tempat tinggal, tempat kediaman Allah, semua ciptaan Tuhan, dan dedaunan pohon untuk penyembuhan bangsa-bangsa.

Oikotree merupakan aliansi global yang muncul merespon ketidakadilan ekonomi dan kehancuran ekologis yang merajalela dewasa ini. Dalam sebuah forum global di Johannesburg 2013, para pihak memutuskan untuk mengembangkan suatu refklesi teologis mengenai masalah ruang hidup, atau lebih spesifik perihal penguasaan tanah di belahan bumi.

Ruang ekumenis tersebut disponsori oleh Council for World Mission (CWM), World Council of Churches (WCC), dan World Communion of Reformed Churches (WCRC). Oikotree Movement terbuka untuk semua orang yang peduli terhadap keadilan dan kemanusiaan.

 

Konflik lahan yang mengarah pada benturan sosial, disebabkan klaim tanah masyarakat yang diambil untuk tujuan pengusahaan lahan oleh pengusaha dengan justifikasi izin dari pemerintah. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Tanah adalah karunia Tuhan untuk kehidupan manusia. Kitab Imamat mengatur tanah dengan ketat. Ada masanya tanah harus diistirahatkan sejenak dari proses produksi, semata-mata untuk kemuliaan Tuhan. Tanah adalah kepunyaan Tuhan, dan bukan dimiliki oleh individu tertentu.

Baca juga: Draf Masih Bermasalah, Tunda Pengesahan RUU Pertanahan

Tanah harus kembali kepada-Nya, dengan cara dikelola bagi kemakmuran seluas-luasnya rakyat dari berbagai golongan (Imamat 25:23). Hal ini diatur agar tidak terjadi feodalisasi di kalangan umat kala itu (Simanjuntak: 2018).

Konversi tanah sebagai komoditi di muka Bumi telah membawa banyak kerusakan dan kehancuran. Kerapkali keberadaan tanah sebagai komoditas membawa penyingkiran rakyat kecil dari tempat hidupnya.

Oikotree Movement melalui gerakannya ingin menegaskan bahwa agama memiliki dimensi sosial yang kuat. Tidak semata persoalan vertikal antara umat dengan Tuhan. Berbagai masalah ekonomi, sosial, kebudayaan apalagi politik umat manusia harusnya menjadi perhatian.

Dalam buku Listen to the Land! Responding to Cries for Life, yang pertama kali diterbitkan di Daegu, Korea Selatan (2016), sejumlah kasus konflik penguasaan tanah di dunia menjadi catatan.

Salah satunya, kasus di Cape Town, Afrika Selatan, yang mengakibatkan ribuan keluarga tergusur ketika tanah-tanah yang mereka tempati diperlukan demi adanya perluasan bandar udara untuk penyelenggaraan Piala Dunia 2010.

The Guardian sempat menerbitkan liputan terkait peristiwa itu dengan judul Life in ‘Tin Can Town’ for the South Africans evicted ahead of World Cup (1/4/2010). Liputan itu mengambarkan bagaimana kehidupan di ‘Tin Can Town’ yang merupakan relokasi untuk orang-orang Afrika Selatan yang diusir menjelang Piala Dunia 2010.

Ribuan keluarga mengungsi ke tempat-tempat penampungan tidak resmi laksana ‘living death’ dengan degradasi yang tak terhitung secara ekonomi dan ekologis.

Bahwa kondisi di ‘Tin Can Town’ lebih buruk daripada di kotapraja yang dibuat selama rezim apartheid berkuasa. Faktanya piala dunia pertama di Afrika telah menjadi alat untuk mengesankan para orang asing yang kaya dengan mengorbankan penduduk setempat yang miskin.

Oikotree Movement juga menyorot Papua, bagian dari Republik Indonesia, yang mana eksploitasi terhadap tanah masyarakat setempat oleh korporasi-korporasi nasional dan multinasional. Parahnya lagi kegiatan itu juga disokong oleh keterlibatan militer dan aparatus negara.

Lambat-laun orang-orang Papua terpinggirkan dari tanahnya atau disebut juga sebagai ‘ibu’ –yang memberi kehidupan bagi mereka.

Baca juga: Polemik Tanah Marga di Kampung Bupul, Saat Hutan Berubah jadi Kebun Sawit

 

Saat hutan ditebang dan berganti menjadi hutan tanaman industri maupun perkebunan skala besar. Orang Papua kehilangan pijakan dan hubungan mereka dengan Ibu Bumi mereka. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Bagi orang Papua hutan bukan semata sumber kehidupan, tapi juga rumah nenek moyang, oleh karena itulah mereka harus melestarikan hutan dan seisinya. Komunikasi dan hubungan dengan nenek moyang bukan hanya soal masa lampau, tetapi, -dan lebih-lebih lagi, untuk masa kini dan masa depan.

Nenek moyang mengamanatkan hutan dan kekayaan alam untuk dilestarikan bagi anak cucu, bukan untuk dirusak dan dihabiskan di masa sekarang. Namun kegiatan-kegiatan ekstraktif telah mengeksploitasi hutan dan mengganggu komunitas-komunitas adat dari pusat kehidupan mereka.

Tak terhitung lagi tragedi-tragedi perampasan ruang hidup semacam itu di pelosok Bumi. Pun juga pendudukan tanah dengan menyingkirkan orang-orang Palestina yang berlangsung hingga sekarang. Ditegaskan oleh Oikotree, sebenarnya itu merupakan bagian dari pendurhakaan teologi.

Teologi sebagai refleksi kritis tidak hanya terpaku pada penyembahan, tetapi juga penghormatan dengan kasih dan sayang terhadap ciptaan Tuhan. Kita tidak dapat memuja Tuhan Sang Pencipta jika kita merusak, menghancurkan, atau menyebarkan polusi, terhadap ciptaan-Nya. Hal itu harus dirubah jika kita menghendaki diri kita menyatu ke dalam jaringan kehidupan.

Kita harus memberikan kontribusi dalam pelestarian keberagaman kehidupan, karena itulah yang diinginkan Tuhan terhadap kita, menjadi manusia yang penuh cinta kasih pada alam semesta.

Pada bulan November 2013, Paus Fransiskus menerbitkan surat apostolik yang disebut juga Evangelii Guadium. Paus mengetengahkan sudut pandang kenabian pasca-kapitalis.

Pemimpim Umat Katolik sekaligus Kepala Negara Kota Vatikan itu menerangkan bahwa sistem ekonomi global yang “tidak adil” saat ini, disebabkan oleh berhala pada uang, tirani pasar, spekulasi keuangan, korupsi dan penggelapan pajak. Salah satu penyebabnya adalah budaya konsumerisme.

“Bahaya besar di dunia saat ini, yang diliputi oleh konsumerisme, adalah kehancuran dan kesedihan yang lahir dari hati yang berpuas diri dan tamak, pengejaran demam kesenangan yang sembrono, dan nurani yang tumpul. Kapan pun kehidupan batin kita terperangkap dalam kepentingan dan kepeduliannya sendiri, tidak ada lagi ruang bagi orang lain, tidak ada tempat bagi orang miskin. Suara Tuhan tidak lagi terdengar, sukacita cintanya yang tenang tidak lagi terasa, dan keinginan untuk berbuat baik memudar. Ini adalah bahaya yang sangat nyata bagi orang percaya juga. Banyak yang menjadi mangsa, dan akhirnya marah, marah dan lesu. Itu bukanlah cara untuk menjalani kehidupan yang bermartabat dan terpenuhi; itu bukan kehendak Allah bagi kita, juga bukan kehidupan dalam Roh yang memiliki sumbernya di dalam hati Kristus yang bangkit” begitu ujar Paus Fransiskus pada Bab V: Spirit-Filled Evangelizers [259-261]).

Akar dari konsumerisme adalah kapitalisme tanpa kendali yang tengah menghancurkan dunia dan menjadi mesin pembunuh umat manusia.

Sistem kapitalisme telah menciptakan bentuk-bentuk perbudakan baru seperti sindikat perdagangan manusia untuk kepentingan tenaga kerja murah di pabrik-pabrik, prostitusi dan pekerja anak di bawah umur.

Persoalan-persoalan ini harus mengganggu ketenangan nurani kemanusiaan setiap orang beriman (Paroki Santo Paskalis: 2015). Meminjam kalimat Jasman F. Simanjuntak, kehadiran Gereja menjadi tidak relevan bila imannya tidak turut merefleksikan situasi agraria kita sekarang, sebab misi bergereja tidak lain adalah pembebasan.

Isu keadilan agaria perlu disuntikan kembali kedalam pekerjaan misi kristen –termasuk juga di Indonesia. Yang mana terdapat ratusan konflik terkait penguasaan tanah setiap tahunnya— yang menelan korban, membuat yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin melarat.

Persoalan ini perlu terus diarusutamakan dengan lebih berani agar mendapat tempat di episentrum pergumulan umat beragama Indonesia.

Tulisan ini diadaptasi dari buku: Dengarkan Jeritan Bumi; Respon Kristiani atas Krisis Keadilan Ekologis (versi Indonesia dari Listen to the Land! Responding to Cries for Life). Penulis: Oikotree Movement. Penerbit: Ultimus, Bandung. 2018. Tebal: 102 halaman.

***

Foto Utama: dua anak Kampung Bupul di Papua, melihat hutannya yang menghilang diganti dengan perkebunan skala besar. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

* Alek Karci Kurniawan, penulis adalah Analis Kebijakan Konservasi; Saat ini bekerja untuk prakarsa iklim dan hutan di dataran rendah Sumatera.

 

 

Exit mobile version