Mongabay.co.id

Demi  Keanekaragaman Hayati, Penanaman Masif Ampupu di Hutan Bali Perlu Dikaji

Obyek wisata Ampupu Kembar di Kintamani, Bali. Foto : Ni Made Dwi Sagitarini/Mongabay Indonesia

Eucalyptus urophylla S.T.Blake yang lumrah dikenal sebagai ampupu, adalah jenis tumbuhan dari suku Myrtaceae. Walau pun dari marga Eucalyptus yang dikenal sebagian besar berasal dari Australia, ampupu adalah pohon asli Indonesia dengan native range di pulau-pulau Sunda Kecil, dari Flores, Adonara, Lembata, Alor, Pantar, hingga Wetar (Pepe et al., 2004).

E. urophylla adalah jenis pohon yang hijau sepanjang tahun dan fast growing, pertumbuhannya cepat. Batang utamanya lurus, artsitektur percabangan yang cenderung membentuk kerucut menjadikan bentuk pohon ini menarik sebagai penghias lansekap.

Apabila sehelai daun ampupu diremas, akan tercium aroma minyak esensial yang kuat nan khas yang dikandungnya. Sebagaimana anggota marga Eucalyptus, ampupu memiliki kandungan minyak yang tinggi dalam jaringannya, yang memberikan potensi ekonomi besar melalui esktraksi dan pemanfaatan dalam berbagai industri. E. urophylla sudah banyak diintroduksi ke berbagai belahan dunia, dari Cina hingga Brazil.

Ampupu telah sejak lama ditanam di kawasan hutan Provinsi Bali, di kecamatan Gerokgak di Buleleng hingga Rendang dan Kubu di Karangasem. Penanaman Sebagian besar dilakukan sejak Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dimulai tahun 2003, baik langsung oleh pemerintah, kelompok masyarakat, atau kegiatan CSR perusahaan-perusahaan.

baca : Kebun Raya dan Pentingnya Pelestarian Keanekaragaman Hayati

 

Pepohonan ampupu di Hutan Desa Dukuh. Foto : Adi Mahardika/Mongabay Indonesia

 

Di beberapa lokasi jenis ini ditanam dengan jarak yang relatif rapat, menjadikannya mirip perkebunan monokultur. Di kaldera Batur pun, yang masuk ke dalam UNESCO Global Geopark, ampupu telah ditanam secara masif dan sekarang mendominasi. Sebuah area yang dipenuhi Ampupu di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Batur Bukit Payang bahkan populer sebagai tempat swafoto, obyek ini diberi nama Ampupu Kembar.

Di berbagai belahan dunia introduksi masif Eucalyptus telah banyak memicu perdebatan. Kekhawatiran muncul karena sifatnya yang alelopatik, kandungan minyaknya yang besar, dan kebutuhan airnya (laju transpirasi) yang relatif tinggi sebagai implikasi dari pertumbuhan yang cepat.

Alelopati adalah fenomena di mana suatu organisme, dalam hal ini tumbuhan, menghasilkan senyawa yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme lain. Eucalyptus diketahui mengeluarkan senyawa alelopatik melalui akar, atau penguapan dari organ daun. Penelitian yang dilakukan oleh Song et al (2018) menemukan bahwa senyawa alelopatik dari serasah daun E. urophylla yang larut oleh air hujan secara signifikan menghambat perkecambahan biji tiga jenis pohon asli lokal: Leucaena leucocephala, Pterospermum lanceaefolium, dan Schefflera octophylla, di Shuilian Mountain Forest Park, di provinsi Guangdong, Cina.

Tingginya minyak yang terkandung dalam daun ampupu dapat juga memperburuk bencana di kemudian hari. Minyak yang dikandung ampupu bersifat flammable, mudah terbakar. Dalam tantangan perubahan iklim, musim kering diprediksi akan lebih intens dan panjang. Implikasinya, kebakaran hutan akan lebih sering terjadi. Ketika api timbul atau menjalar di sebuah hutan, vegetasi yang didominasi oleh Eucalyptus adalah hal terakhir yang kita harapkan.

Goodrick and Stanturf (2012) yang melakukan pemodelan perilaku api di perkebunan Eucalyptus di bagian selatan Amerika Serikat menekankan bahwa api yang mencapai bagian atas pohon Eucalyptus yang dipenuhi dengan daun akan menyebar dengan sangat cepat. Walau pun ampupu adalah jenis yang tahan api dan sering dapat segera tumbuh kembali setelah terbakar, kebakaran yang lebih intens karenanya dapat mengeliminasi jenis-jenis yang lebih rentah terhadap panas tinggi dan api.

baca juga : Apakah Bali punya Masa Depan untuk Kualitas Lingkungannya?

 

Pepohonan ampupu di kawasan hutan lindung di Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali. Foto : Adi Mahardika/Mongabay Indonesia

 

Menurunnya keanekaragaman tumbuhan di suatu hutan juga akan berpotensi tinggi untuk menurunkan keanekaragaman mikrooorganisme dalam tanahnya. Ini kemudian akan mempengaruhi siklus nutrien dan keseimbangan ekosistem lebih jauh.

Area hutan terdegradasi yang kemudian ditanami kembali dengan E. urophylla sebagai jenis pohon dominan nampaknya juga menyediakan iklim mikro yang berbeda dibandingkan dengan hutan dengan susunan vegetasi aslinya bagi hewan tertentu. Pada Maret 2020 saya sempat mengunjungi kelompok Madu Sari di desa Pempatan, Karangasem.

Kelompok ini bergerak dalam usaha budidaya lebah lokal Apis cerana dan beberapa anggotanya mengumpulkan madu dari lebah liar Apis dorsata. Hasil madu dari Apis dorsata sangat bergantung pada musim, namun pada periode reguler Desember – Maret setiap tahunnya, mereka dapat mengumpulkan kurang lebih 200 botol (ukuran 600 ml) per bulan.

Yang menarik, dari keterangan I Wayan Wenten yang merupakan sekretaris kelompok ini, lebah Apis dorsata hampir tidak pernah dijumpai di area hutan yang didominasi E. urophylla atau pinus saja. Lebah ini umumnya dijumpai pada area hutan dengan vegetasi asli dengan jenis-jenis pohon yang jauh lebih beragam.

perlu baca : Keanekaragaman Hayati Asia Tenggara Rentan Ancaman Kepunahan

 

Pohon-pohon ampupu yang ditanam dengan jarak relatif rapat di kawasan hutan lindung di Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali. Foto : Adi Mahardika/Mongabay Indonesia

 

Opini ini tidak bermaksud dengan serta merta menyalahkan penanaman E. urophylla yang telah dilakukan secara masif di hutan-hutan di Bali. Populasi Eucalyptus di suatu area di negara lain, sebagaimana telah dibahas dampaknya dari beberapa penelitian, belum tentu memberikan efek ekologis yang sama dengan populasi E. urophylla di Bali. Implikasi ini akan sangat dipengaruhi oleh kondisi biotik dan abiotik setempat. Sebagai contoh Chu et al (2014) menemukan efek alelopatik dari E. urophylla bersifat selektif, menghambat pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan lokal tertentu, tetapi juga tidak berdampak atau malah memberikan efek positif pada pertumbuhan jenis lainnya.

Pemerintah melalui instansi-instansi terkait perlu melakukan kajian dengan saksama akan dampak dari penanaman masif E. urophylla di Bali. Ini dibutuhkan untuk mengetahui dampak ampupu pada area-area yang telah ditanami jenis ini. Jika memang jenis ini sangat diperlukan, perlu dipetakan di mana ampupu dapat ditanam tanpa dampak negatif yang berarti (atau mungkin malah berdampak baik), serta pada tipe hutan seperti apa (komponen biotik dan abiotiknya) ampupu tidak boleh ditanam untuk menghindari efek degradatif bagi ekosistem dalam jangka panjang.

Penting juga diketahui bagaimana ampupu sebaiknya ditanam berkaitan dengan kerapatan dan kombinasi dengan jenis pohon lainnya untuk meminimalkan dampak yang tidak diinginkan. Untuk kawasan yang telah didominasi oleh ampupu, jika memang tidak mungkin diganti dengan pohon lainnya, perlu diimplementasikan pengelolaan yang tepat, bagaimana agar biomasa (utamanya bagian daun) pohon-pohon ini dapat dipanen semaksimal mungkin saat kemarau untuk meminimalkan bahan bakar bagi api. Kajian untuk tujuan-tujuan ini tentu memerlukan riset yang komprehensif, dan kolaborasi menjadi salah satu kunci: dengan kampus-kampus, lembaga penelitian, pihak swasta, mau pun masyarakat lokal.

Kawasan hutan di Provinsi Bali hanya 23% dari luas daratannya, masih di bawah syarat minimal 30% dari luas daratan atau DAS (daerah aliran sungai) yang dimandatkan dalam UU Kehutanan Nomor 41/1999. Margin of error untuk pengelolaan hutan di Bali sangatlah sempit, atau mungkin sudah tidak tersedia lagi. Kita akan semakin membutuhkan hutan yang resilient sebagai benteng alami bagi manusia dan segala keanekaragaman kehidupan yang ada di dalamnya dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Dan hutan yang resilient adalah hutan dengan keanekaragaman hayati yang optimal.

Memprioritaskan kelestarian keanekaragaman hayati tidak berarti mengesampingkan kesejahteraan manusia, justru keanekaragaman ini adalah juga demi kesejahteraan kita dalam jangka panjang.

Selamat Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia, 22 Mei 2020.

 

***

 

*Adi Mahardika, Senior Officer Program Reforestasi Bentang Alam Gn. Agung, Conservation International Indonesia. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis

 

 

Referensi

Chu, C., Mortimer, P., Wang, H., Wang, Y., Liu, X. and Yu, S., 2014. Allelopathic effects of Eucalyptus on native and introduced tree species. Forest Ecology and Management, 323, pp.79-84.

Goodrick, S. and Stanturf, J., 2012. Evaluating Potential Changes in Fire Risk from Eucalyptus Plantings in the Southern United States. International Journal of Forestry Research, 2012, pp.1-9.

Pepe, B., Surata, K., Suhartono, F., Sipayung, M., Purwanto, A. and Dvorak, W.S., 2004. Conservation status of natural populations of Eucalyptus urophylla in Indonesia and international efforts to protect dwindling gene pools. Forest Genetic Resources No.31: 62-64. FAO, Rome.

Song, Q., Qin, F., He, H., Wang, H. and Yu, S., 2018. Allelopathic potential of rain leachates from Eucalyptus urophylla on four tree species. Agroforestry Systems, 93(4), pp.1307-1318.

***

Keterangan foto utama : Obyek wisata Ampupu Kembar di Kintamani, Bali. Foto : Ni Made Dwi Sagitarini/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version