Mongabay.co.id

Tak Terserap Pasar, Produksi Sagu Sungai Tohor Lesu di Masa Pandemi

Penjemuran lembaran sagu dalam proses pembuatan mie rumbia di Bengkel Kerja milik Abdul Manan. Foto: dari website Pesantren Ekologi Ath-Taariq

 

 

 

 

Sejak pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), warga Kepulauan Meranti, Riau, yang bergantung hidup dari sagu terpukul. Kilang-kilang sagu setop produksi, dari petani sagu sampai pekerja yang bergantung dari sektor inipun terdampak. Sagu-sagu tak terserap pasar.

Sudah sekitar dua bulan ini, Prengki petani Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, jadi pengangguran. Kala bosan di rumah, dia mengisi hari tanam sayuran di pekarangan. Sekali-kali dia pergi mancing buat hilangkan suntuk.

Kerja tak dapat lagi sejak pemerintah mengimbau jaga jarak agar Virus Corona tak menyebar luas. Bercocok tanam alakadar dan mengail ikan hanya untuk kebutuhan makan sehari-hari keluarganya.

Prengki punya 2,5 hektar kebun yang ditumbuhi sekitar 70-80 batang sagu. Tiap batang biasa hasilkan  10 tual sagu yang dihargai pemilik kilang Rp43.000 pertual. Sudah empat bulan sejak terakhir menjual, Prengki tidak pernah memanen sagu lagi.

Dia khawatir, tanaman menua bila terlambat panen hingga kadar sagu berkurang atau menyusut. Kalau sudah begitu, pemilik kilang akan beli dengan harga lebih murah. “Tapi, situasi sekarang jangankan murah, yang beli justru tak ada.”

Biasanya, di sela menunggu panen Prengki ambil upah mengupas kulit tual sagu di kilang. Sehari dia dapat tambahan penghasilan Rp80.000 untuk pekerjaan tidak tetap ini. Rezeki itu juga tak dapat dikais lagi sejak kilang-kilang sagu di Sungai Tohor tutup imbas pandemi Corona.

Bagi Prengki, saat ini uang jadi barang langka di Sungai Tohor. Ekonomi benar-benar susah dan lumpuh padahal mayoritas masyarakat Sungai Tohor petani sagu. Masyarakat perlu pekerjaan tetapi tak ada yang bisa dikerjakan.

Saat ini, warga hanya mengolah sagu basah di kilang dengan manual untuk makan sehari-hari sebagai pengganti beras. Prengki bilang, itu saja tidak cukup. Masyarakat perlu minyak goreng, bumbu dapur dan lauk pauk untuk menemani olahan sagu.

Warga mengharapkan bantuan pemerintah. Prengki baru dapat Rp600.000 dari program keluarga harapan (PKH). Setahu dia, sekitar 17 orang di Sungai Tohor dapat bantuan jenis ini. Bantuan langsung tunai (BLT) dan sembako seperti yang dia dengar di televisi belum menyentuh masyarakat terdampak COVID-19 sama sekali.

“Kami butuh makan. Beruntung anak-anak tak sekolah beberapa bulan ini. Kami tak pikir beli baju dan buat kue Lebaran lagi,” kata Prengki.

Ridwan lebih pusing lagi. Sudah tiga bulan dia tak dapat ke mana-mana, tak ada kegiatan. Di rumah saja. Bantuan dari pemerintah juga tak kunjung datang. Dia tak punya lahan atau kebun. Hanya buruh sagu kala ada permintaan dorong tual sagu, nebang maupun membibit sagu. Biasanya, pesanan itu tak pernah absen tiap bulan.

Sejak Corona mulai terasa di Kepulauan Meranti terutama Desa Sungai Tohor, Ridwan ikut menderita dampak produksi sagu dari kebun hingga kilang setop.

Zamhur, pemilik kilang sagu juga tak dapat berbuat apa-apa. Sebagai rantai terakhir produksi sagu di Sungai Tohor, dia sudah satu bulan menutup dan menghentikan aktivitas di kilang. Dia juga terpaksa istirahatkan 13 pekerja.

Zamhur bilang, pemilik kilang kesulitan memenuhi keperluan karyawan karena untuk pribadi saja mulai kesulitan. Kini 60 ton sagu basah masih menumpuk di kilang sejak tauke langganan tak lagi beli sagu sementara.

Nasib serupa juga terjadi pada 16 kilang sagu di Sungai Tohor sejak Malaysia karantina wilayah. Negeri jiran itu memang satu-satunya tujuan ekspor sagu basah dari desa yang pernah dikunjungi Presiden Joko Widodo 2014.

Zamhur sempat menjual sebagian sagu yang terlanjur giling ke pemilik kilang besar di Selat Panjang harga Rp450 perkilogram. Harga itu sangat jauh dari normal Rp1.950-Rp2.250. Hanya sekali itu, Zamhur tak melanjutkannya lagi. “Tak pernah turun segitu. Apa nak mati kita?”

Zamhur bilang, sebenarnya kilang-kilang besar memang tak mau beli sagu basah lagi karena setok mereka juga menumpuk. Kalaupun ada, mereka mau dengan harga murah.

Zamhur harap, pemerintah kabupaten beli sagu masyarakat dan mengoperasikan sentra sagu terpadu yang sudah selesai dibangun. Dia khawatir sagu-sagu yang kelamaan menumpuk akan rusak. Sebelum berhenti produksi, pekerja kilang sempat menambah penampungan karena kelebihan produksi.

Biasanya, Zamhur mulai menjual sagu tiap 25 ton produksi atau dua kali sebulan mengikuti jadwal air pasang laut.

Setelah kilang ditutup, pekerja sempat dapat tawaran mengupas kulit sagu dan menyusun untuk pengerasan jalan desa. Pekerja kilang lain juga kebagian rezeki ini. Satu kubik kulit tual sagu dibayar Rp40.000. Setelah itu, belum ada yang dapat digarap.

“Lebaran tak lama lagi. Kalau begini bayar zakat fitrah pun masyarakat tak bisa,” keluh Zamhur.

Dia bilang, pemerintah desa janji beri bantuan tunai ke masyarakat terdampak COVID-19 tetapi belum nampak tanda-tandanya.

Senada dengan Zamhur, Abdul Manan, juga petani sagu bilang, warga susah belanja kebutuhan karena sudah lama tidak kerja dan ekonomi di Sungai Tohor makin turun. Padahal, saat normal, perputaran uang dari produksi sagu di Sungai Tohor mencapai Rp2 miliar tiap bulan.

Manan juga menutup kilang. Puluhan ton sagu tidak terserap hampir satu setengah bulan. Perkiraan Manan lebih kurang 1.000 ton sagu basah tak terserap di 16 kilang. Tiap kilang mempekerjakan 13-15 orang keluarga.

 

Presiden Jokowi kala memberikan bantuan dana untuk membuat sekat kanal kepada warga Desa Sungai Tohor. Dana diterima oleh Abdul Manan, selaku pembuat petisi yang meminta Presiden blusukan ke desa mereka. Desa ini berhasil mencegah kebakaran dengan menanam produk adaptip gambut, seperti sagu. Mereka juga mengatur tata kelola air hingga air terjaga baik musim kemarau mapun hujan. Kini, masa pandemi, sagu-sagu mereka tak terserap pasar. Warga menjerit…. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

Pemerintah diminta serap sagu petani

Manan bilang, masyarakat tetap buat mi sagu untuk makan di rumah selama Ramadhan. Harapannya, Badan Urusan Logistik (Bulog) serius menyerap sumber pangan terutama sagu. Pemerintah, kata Manan, sebaiknya mengolah sagu untuk ketahanan pangan lokal.

Baik Prengki, Ridwan, Zamhur maupun Manan mendesak Pemkab Meranti, segera mengoperasikan sentra sagu terpadu. Sagu masyarakat yang dibeli pemerintah bisa diolah di sana  jadi berbagai macam produk turunan.

Selama ini, sagu basah di Sungai Tohor hanya dijual pada satu tauke. Prengki mengatakan, kadang rawan permainan harga karena hanya ditentukan satu pembeli tanpa persaingan. Pengalaman Prengki, tiap hendak Lebaran harga sagu basah selalu turun. Meskipun, kata Zamhur, tidak terlalu murah.

Bila sentra sagu terpadu gerak, tentu menyerap banyak tenaga kerja lokal, bisa mengurangi warga Sungai Tohor yang cari kerja ke Malaysia.

Beberapa hari lalu, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop-UKM) Kepulauan Meranti Azza Fachroni, ikut dalam diskusi Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Saat itu, disinggung soal pangan unggulan lokal untuk antisipasi bila beras tidak mencukupi saat pandemi COVID-19 berkepanjangan.

Fachroni sedang berupaya mencari sumber modal untuk mengoperasikan sentra sagu terpadu di Sungai Tohor. Pemkab Meranti akan beli sagu basah masyarakat untuk diolah jadi beras sagu, gula sagu, sagu mutiara dan berbagai olahan pangan lain.

Peralatan di sentra sagu terpadu sudah lengkap. Tenaga pengolah lokal sudah ada. Pemerintah Riau sudah beri rekomendasi. Fachroni sudah bentuk struktur pengelola dari pegawai dibantu tenaga dan sumberdaya lokal.

Bila itu terwujud, distribusi olahan sagu di Sungai Tohor tidak saja diangkut ke Malaysia bisa ke berbagai kota besar di Indonesia bahkan Singapura. Disperindagkop-UKM Kepulauan Meranti, katanya, sudah bangun dua rumah produksi tambahan.

Menurut Fachroni, tidak semua produksi sagu di Kepulauan Meranti lumpuh. Beberapa tempat seperti di Selat Panjang sudah kembali beroperasi dan menyalurkan sagu ke luar. Rata-rata yang beraktivitas kembali adalah penghasil sagu kering.

Kilang-kilang di Sungai Tohor saat ini masih menghasilkan sagu basah. Fachroni sudah menyarankan pemilik kilang kembali jalin perdagangan karena beberapa produk dari Kepulauan Meranti seperti kelapa diterima kembali di Malaysia. Beberapa pelaku ekspor sudah melaporkan ke Fachroni.

“Sungai Tohor hanya jual sagu basah dan pasar mereka hanya di Malaysia. Yang lain tak ada keluhan dan tetap produksi sagu kering. Lagi pula pasar mereka di beberapa tempat dan permintaan lebih banyak. Sungai Tohor berharap dari sentra sagu terpadu saja,” kata Fachroni.

Sembari itu, Disperindagkop-UKM Kepulauan Meranti mulai mendata industri kecil menengah yang terdampak COVID-19. Kebanyakan, katanya, mereka penghasil sagu kering tetapi belum ada rencana pemberian insentif.

Akhir April lalu, Presiden Jokowi mengingatkan para menteri soal krisis atau kelangkaan pangan karena cuaca ekstrem terlebih lagi akibatada pandemi. Jokowi bahkan memerintahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bersama kementerian terkait untuk membuka lahan persawahan baru. Pesan itu disambut Pemerintah Riau.

 

Mie sagu, dalam satu produk dari sagu yang cukup dikenal dari Sungai Tohor. Mengolah sagu jadi mie bisa jadi salah satu jalan agar ekonomi Sungai Tohor bergerak. Pasar potensial mie sagu bisa ke berbagai daerah. Mie sagu, selain bernilai tambah daripada sagu mentah, usia produk pun lebih tahan lama. Foto: dari website Pesantren Ekologi Ath-Taariq

 

Saat ini, beras yang dapat dihasilkan di Riau hanya 35-45% dari total konsumsi perbulan, antara lain, dari Kabupaten Siak, Rokan Hilir, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Bengkalis, Kampar dan Rokan Hulu. Sisanya dari luar seperti Sumatra Barat dan Jawa.

Herman Mahmud, Plt Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Riau menyebut, Gubernur Riau Syamsuar mulai intens pengadaan pangan.

Syamsuar instruksikan bupati dan walikota mengolah seluruh lahan pemerintah yang kosong dengan tanaman, jagung, ubi dan hortikultura lain termasuk mempercepat penanaman padi selagi masih musim hujan.

Mengingat prakiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Gesofisika (BMKG), Juni sampai Agustus cuaca di Riau akan panas atau sedikit curah hujan. Antisipasi kemarau nanti, kata Herman, Syamsuar juga sudah minta siapkan sumber-sumber air seperti embung.

Luas lahan yang akan digarap Pemerintah Riau untuk cadangan pangan sekitar 22 hektar belum termasuk yang akan dikelola langsung masyarakat. Dia perkirakan sekitar 30 hektar.

Syamsuar turut bantu benih padi dan jagung pada masyarakat. Saat ini telah disalurkan di Siak, Bengkalis dan akan datang di Kampar.

“Untuk pangan lokal di Riau kita mengharapkan cadangan sagu di Meranti,” kata Herman.

Saat Mongabay tanyakan soal sagu petani Meranti, dia minta agar konfirmasi lebih lanjut ke Plt Dinas Perkebunan Riau Ahmad Syah Harrofie.

Ahmad Syah hanya membaca pesan yang dikirim Mongabay via WhatsApp tanpa ada respon. Mongabay coba menghubungi di nomor lain juga tak dijawab.

Tengku Effendi, Kepala Dinas Perkebunan Hortikultura Kepulauan Meranti mengaku, belum terima keluhan petani perihal menumpuk dan tak laku sagu di kilang-kilang Sungai Tohor. Dia bilang, justru tak ada panen sagu yang terhenti karena kalau itu terjadi tentu masyarakat tak dapat cari rezeki dan nafkah.

Tengku menyadari, dampai COVID-19 membuat warga terbatas bergerak. Belum ada pengawasan di lapangan selama wabah berlangsung. Sejauh ini, katanya, juga belum ada insentif bagi petani terdampak karena anggaran dinas dipotong 50-60%.

 

 

Keterangan foto utama: Penjemuran lembaran sagu dalam proses pembuatan mie rumbia di Bengkel Kerja milik Abdul Manan. Foto: dari website Pesantren Ekologi Ath-Taariq

Exit mobile version