Mongabay.co.id

Petani Pemulia Tanaman dan Rumusan Kebijakan Budidaya Tanaman yang Tidak Berpihak

Tradisi Sakke Hudali merupakan warisan leluhur masyarakat Pantis, Tapanuli Utara, usai menanam padi yang terus dipertahankan hingga saat ini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dalam International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (ITPGRFA) mendata bahwa lebih dari 75% dari keragaman tanaman global telah punah tanpa dapat diperbaiki saat memasuki awal abad ke-21.

Penyebab utama yang berkontribusi dari erosi genetika tersebut diantaranya penggantian varietas lokal yang telah beradaptasi dengan varietas yang lebih seragam dan lebih tinggi produksinya.

Menurut penulis, persoalan dalam keragaman tanaman pangan dapat disimpulkan dalam pokok-pokok persoalan yang ada, yaitu: 1) pergeseran dari sistem tradisional ke sistem produksi yang intensif; 2) benih menjadi eksternal input dalam pengelolalaan pertanian; 3) terkonsentrasinya sumber asal benih dalam industri global; 4) perdagangan yang mengarah pada pasar industri yang terkonsentrasi; dan 5) berlakunya persyaratan keseragaman dalam industri pangan dan homogenisasi dalam budaya pangan.

Meskipun persoalannya telah amat jelas, sayangnya hal tersebut tidak tercermin dalam keberpihakan dari para perumus kebijakan di Indonesia.

Hal ini terlihat pada UU Nomor 22/2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (UU SBPB) yang merupakan revisi atas UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT). Alih-alih mendukung, UU baru belum mencerminkan kebebasan dan ekspresi para petani dalam mengembangkan teknologi plasma nutfah dan mendorong keragaman pangan yang ada.

Tulisan ini bermaksud untuk mencermati kebijakan yang ada, – melihat sisi historisitas, dan refleksi tantangan pengelolaan pangan oleh petani di masa depan.

Baca juga: Pertanian Organik sebagai Solusi Pertanian Berkelanjutan

 

Nasib petani harus diperhatikan agar kondisi pertanian Indonesia stabil. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

UU usang 

UU No 12/1992 tentang SBT memang sudah cukup tertinggal untuk menampung perkembangan politik terkini. Padahal di sisi lain Pemerintah Republik Indonesia sendiri telah  mengikatkan diri (melalui UU Nomor 4/2006) dengan ITPGRFA, yang mulai berlaku efektif sejak 2004, untuk meletakan dasar-dasar terhadap petani pemulia tanaman.

Sebagai negara peratifikasi, maka Indonesia diwajibkan mengakui kontribusi yang sangat besar yang telah dan akan terus diberikan oleh masyarakat lokal dan asli, serta petani.

Pun negara seperti Indonesia, – yang berada di pusat keanekaragaman tanaman dunia, menjadi penting untuk melibatkan petani dan para pemulia tanaman untuk melakukan konservasi dan pengembangan sumber daya genetik tanaman yang bakal menjadi basis produksi pangan dunia.

Secara khusus, maka setiap negara, – apabila sesuai, dan tergantung pada peraturan perudangan-undangan nasionalnya, perlu mengambil langkah untuk melindungi dan mendorong hak-hak petani, termasuk:

a) perlindungan pengetahuan tradisional yang relevan dengan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian; b) hak untuk berpartisipasi secara berimbang dalam pembagian keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian; dan c) hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, pada tingkat nasional, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian.

Dengan demikian, ketentuan dalam ITPGRFA ini tidak boleh ditafsirkan dengan cara membatasi hak petani untuk menyimpan, menggunakan, mempertukarkan dan menjual benih/bahan perbanyakan hasil tanaman sendiri.

Di dalam negeri, semangat ini sebenarnya telah muncul dengan adanya UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pergeseran paradigma sentralistik menjadi desentralistik pun diatur bidang yang berhubungan dengan kewenangan pengelolaan budidaya tanaman/pertanian.

Contohnya dalam Lampiran UU Pemerintah Daerah terdapat enam hal yang perlu disesuaikan dalam pengelolaan budidaya tanaman atau pertanian. Ia mencakup sarana pertanian, prasarana pertanian, pengendalian dan penanggulangan bencana pertanian, perizinan usaha pertanian, karantina pertanian, dan varietas tanaman.

Adapun sebelumnya, dalam UU SBT belum ada mengatur ketentuan budidaya pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam suatu unit agroekosistem. Belum pula terlihat pengaturan mengenai strategi pembangunan pertanian pertanian berkelanjutan secara komprehensif.

Akibatnya, petani kehilangan hak untuk melakukan pemuliaan tanaman lokal. Amat jarang ditemui benih-benih lokal, petani tampak kehilangan kemampuan untuk pemuliaan. Hal ini diperparah lagi dengan munculnya pupuk-pupuk kimia yang tidak hanya berbahaya dan mengganggu ekologi, tetapi juga berbahaya bagi manusia (petani).

Fakta pun berkata, banyak petani-petani kecil yang bertani dan melakukan pemuliaan tanaman secara tradisional terjerat hukum.

Rezim UU SBT pun disinyalir membuka peluang masuknya pemodal asing sehingga petani pemulia tanaman justru mendapat tekanan dari adanya benih-benih introduksi yang diproduksi oleh perusahaan yang hanya berorientasi pada keuntungan.

Kondisi ini tentu mengebiri kemandirian petani. Semua masalah inilah yang mendorong tuntutan akan munculnya agenda Perubahan UU SBT dalam Prolegnas 2015-2019.

 

Bibit kedelai yang akan ditanam oleh petani di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Petani memerlukan dukungan kebijakan dalam pengembangan dan pemuliaan tanaman. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

UU Baru yang belum beri jaminan

Pada Sidang Paripurna 24 September 2019, anggota DPR RI 2014-2019 berhasil mengesahkan UU Nomor 22/2019 tentang SBPB sebagai revisi atas UU SBT.

Dalam diskursus publik, RUU SBPB gaungnya memang kalah pamor dari RUU “kontroversial” lain seperti RUU KPK, RUU KUHP, dan RUU Minerba yang lebih menuai kritik luas dari publik. Padahal jika ditelisik, substansi SBPB masih tetap menuai polemik bagi masa depan petani dan tantangan pengelolaan pangan di Indonesia.

Sayangnya meski telah lama ditunggu, substansi UU masih belum bisa memuaskan rasa keadilan bagi petani. Petani a.k.a pemulia tanaman masih resah dengan termuat kembalinya ancaman pidana terhadap petani yang melakukan kegiatan pemuliaan tanaman (Pasal 27 ayat 3).

Hal ini seperti membawa flash back ingatan ke masa silam, saat sepuluh organisasi petani dan organisasi kepertanian melakukan gugatan uji materi UU SBT ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon dalam tuntutannya menganggap bagian dari UU SBT telah berlaku tidak adil terhadap petani.

Ada tiga hal pokok saat itu, – atau enam pasal UU SBT, yang digugat oleh para pemohon.

Pertama, terkait perencanaan budidaya tanaman yang masih tetap didominasi oleh pemerintah. Kedua, soal pelenggaraan budidaya tanaman yang masih didominasi oleh pemerintah dan perusahaan. Ketiga, ancaman pidana terhadap petani kecil pemulia tanaman.

Dalam Putusan Nomor 99/PUU-X/2012, MK menyatakan bahwa sebagian pasal yang dipermasalahkan pemohon memang beralasan hukum dan sebagian lagi ditolak.

Adapun pasal yang ditolak terkait peran pemerintah dalam merencanakan pengembangan budidaya tanaman. Seperti mencakup penetapan wilayah pengembangan budidaya tanaman, dan mengatur produksi budidaya tanaman tertentu berdasarkan kepentingan nasional.

Di luar itu, MK menilai, Pasal 9 ayat (3); Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2);  Pasal 60 ayat (1) huruf a dan huruf b, ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBT Nomor 12/1992 benar bertentangan dengan konstitusi.

Dalam keputusannya, MK menafsirkan kegiatan berupa pencarian dan pengumpulan plasma nutfah oleh petani untuk dirinya maupun masyarakatnya tidak membutuhkan izin.

Namun dalam perjalanan waktu, pembentuk undang-undang tidak menerjemahkan ulang dalam ketentuan umum apa yang dimaksud dengan masyarakat tersebut. Peredaran varietas hasil pemuliaan tanaman yang tiba-tiba dibatasi hanya dalam satu wilayah kabupaten/kota, bukanlah dianggap solusi jitu oleh sejumlah petani pemulia tanaman.

Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian. Meski telah ada pembelajaran dari proses di MK, tampaknya DPR tidak melihat hal tersebut sebagai konsideran penting dari materi UU SBT yang digugat sebelumnya.

Dalam kacamata keadilan, seharusnya pembatasan semata-mata hanya ditujukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan hak dan kebebasan orang lain, memenuhi unsur tuntutan yang keadilan, yang sesuai dengan pertimbangan moral, norma agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam sebuah masyarakat demokratis.

Bagi petani, kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan model pembudidayaan tentunya harus dijamin oleh UU. Jika tidak ada kebebasan, maka ke depan dapat dipastikan pemenuhan pangan di Indonesia semata-mata hanya akan menjadi bagian mesin produksi industri pertanian yang dikendalikan kapitalis global.

 

* Tri Wahyuni, penulis adalah pemerhati masalah lingkungan hidup; Peneliti di Institute for Population and National Security. Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

Exit mobile version