Mongabay.co.id

Penyelundupan Lobster Marak di Masa Pandemi

 

 

 

 

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ternyata tak membuat aksi penyelundupan anakan lobster berhenti bahkan mungkin makin marak. Dalam April dan Mei ini saja, pihak berwenang di Jambi, sudah mengungkap dua kali upaya penyelundupan puluhan ribu anakan lobster.

Pekan lalu, tim gabungan Ditreskrimum Polda Jambi bersama Satreskrim Polres Tanjung Jabung Timur berhasil menggagalkan penyeludupan enam boks benih lobster yang hendak dikirim ke Singapura.

Penangkapan ini berawal saat mobil Toyota Kijang Inova dengan nomor polisi BH 1035 MO dihentikan petugas di Jalan Lintas Jambi-Muaro Sabak, Zone V, Kecamatan Geragai, Tanjung Jabung Timur untuk pemeriksaan. Hasilnya, petugas menemukan enam boks styrofoam berisi 20.067 anakan lobster yang dikemas dalam 144 kantong plastik dengan taksiran nilai Rp2,8 miliar.

Baca juga : Sebanyak Rp1,37 Triliun Berhasil Diselamatkan dari Upaya  Penyelundupan Benih Lobster

Dua pelaku berinisial A (41) warga Nipah Panjang, Tanjung Jabung Timur dan MB (29) warga Mendahara Ilir Tanjung Jabung Timur mengaku, loster ini akan dibawa ke Desa Lambur, Muara Sabak, Tanjung Jabung Timur.

Dari informasi yang didapatkan Mongabay, lobster diambil dari Lampung bagian barat dan Bengkulu, terdiri dari 140 jenis mutiara dan 19.972 jenis pasir.

Dua pelaku diamankan petugas beserta satu mobil Toyota Kijang Inova dan tiga handphone sebagai barang bukti.

Kombes Pol M Edi Faryadi, Dirreskrimsus Polda Jambi, mengatakan, saat ini kedua pelaku dan barang bukti telah diamankan di Polres Tanjung Jabung Timur untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Keduanya akan dijerat Pasal 88 UU No45/2009 tentang perubahan atas UU No. 31/2004 tentang perikanan dan atau Pasal 31 ayat (1) Jo. Pasal 6 Jo Pasal 7 Jo Pasal 9 UU No. 16/1992 tentang karantina ikan, hewan dan tumbuhan.

Penangkapan ini adalah sudah ketiga kalinya dalam 2020. Sebelumnya, pada 8 April 2020, tim Subditgakkum Ditpolairud Polda Jambi berhasil menggagalkan rencana penyelundupan 30.431 lobster senilai Rp4,5 miliar lebih.

 Baca juga: Hilangnya Aspek Lingkungan dalam Tata Kelola Pemanfaatan Lobster

Aksi penyelundupan ini terbongkar saat tim Subditgakkum Ditpolairud Polda Jambi memergoki aktivitas bongkar muat di Jalan Lingkar Selatan, Kelurahan Kenali Asam Bawah, Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi, yang dicurigai sebagai lokasi transit. Para pelaku menyadari kedatangan petugas bergegas melarikan diri.

Petugas menemukan lima boks styrofoam berisi lobster yang dikemas dalam 153 kantong plastik beroksigen, 32.200 merupakan benih lobster pasir dan 231 jenis mutiara.

Pertengahan Februari lalu, Polres Sarolangun juga menangkap Wawan Candra, warga Lesung Batu, Muara Rupit, Kabupaten Muaratara, Sumatera Selatan. Pria 30 tahun itu mencoba kabur saat Satlantas Polres Sarolangun menggelar razia.

Dari mobil Kijang Innova yang dikendarainya, petugas mendapati 29 kantong plastik berisi 6.925 anakan lobster yang dibawa dari Bengkulu. Nilainya diperkirakan lebih Rp1 miliar.

Moh Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat, dalam Maret hingga Mei 2020 sudah enam kali upaya penyelundupan benih lobster yang digagalkan petugas. Total lebih 137.000 anakan lobster dengan nilai perkiraan Rp17,5 miliar.

Aksi penyelundupan ini terus terjadi di wilayah yang menjadi pintu keluar maupun transit, seperti Surabaya, Semarang, Jambi dan Riau. Dia menduga, para pelaku sengaja memanfaatkan masa pandemi karena banyak petugas kini tengah berkonsentrasi pada penanganan wabah COVID-19.

“Kemungkinan penyelundup memanfaatkan masa pandemi ini untuk beraksi, sebab intensitas pengawasan lapangan oleh aparat berkurang,” katanya.

Abdi mendorong, para petugas tetap siaga dan memperketat pengawasan di pintu keluar seperti pelabuhan. “Upaya ‘intelejen’ perlu ditingkatkan dengan kerja sama dengan masyarakat setempat. Jika ada aktivitas orang mencurigakan, misal, kemunculan orang baru dimasa social distancing pada satu wilayah tertentu.”

 

Petugas Polda Jambi menunjukkan anakan lobster yang berhasil dimankan petugas. Foto: Yitno Supprapto/ Mongabay Indonesia

 

Meningkat?

ProFauna mencatat aktivitas perburuan satwa liar saat pandemi Virus Corona justru meningkat. Perumahan karyawan dan pemutusan hubungan kerja ditengarai jadi antara lain penyebabnya. Mereka yang kehilangan pekerjaan mulai mencoba mencari peruntungan dari hasil berburu satwa liar.

“Ada yang berburu untuk ekonomi ada juga yang sekadar hobi,” kata Rosek, pendiri Profauna.

Namun Rosek bilang, belum menemukan ada peningkatan penjualan satwa liar di saat pandemi. Meski demikian, Profauna menemukan setidaknya 5.000 iklan terbuka di situs penjualan online yang menjual aksesoris dari kulit penyu sisik dengan nilai diperkirakaan capai Rp5 miliar.

Sekitar 70% perdagangan satwa liar lewat online yang dianggap lebih aman dibanding cara konvensional atau bertemu pembeli langsung. Rosek bilang, pelaku akan mengaburkan alamat agar tidak dapat terlacak petugas.

“Misal lokasi sebenarnya dia di Surabaya, tapi disebutnya di Tanggerang. Kan kita gak tau. Saat sudah deal barang dikirim lewat jasa pengiriman. Tidak perlu ketemu langsung dengan pembeli jadi lebih aman.”

Facebook, kata Rosek telah membuat aturan yang melarang jual beli satwa liar namun para pelaku selalu punya cara untuk tetap menjualnya.

“Pelaku ini lebih pintar, dia cukup pasang foto satwa tanpa dikasih keterangan dijual. Cukup tulis “cantik ni” pembeli sudah mengerti bahwa itu dijual.”

“Malah sekarang jual beli satwa ini kan ada grupnya sendiri dan tertutup. Kalau kita mau masuk harus daftar dulu. Di situlah mereka akan jual beli,” kata Rosek.

Perdagangan satwa liar tak melulu satwa dilindungi. Jenis satwa tak dilindungi juga marak diperjualbelikan tanpa takut terjerat kasus hukum, seperti burung kicau. Rosek khawatir, perdagangan satwa yang tak dilindungi akan berakhir pada kepunahan.

“Kalau jual kulit harimau atau gading gajah itu jelas dilindungi, data populasi ada. Kalau burung kicau seperti cendet, di Jawa sudah sulit ditemukan, padahal sebelumnya banyak di kebun, sawah sekitar rumah, khawatir tiba-tiba terjadi kepunahan lokal. Karena tidak ada catatan populasi di alam.”

Begitu juga perenjak jawa (Prinia familiaris), katanya, sekarang sudah sulit, padahal dulu banyak di kampung–kampung.

Dia mendorong, pemerintah segara mendata satwa liar yang belum dilindungi untuk melindungi dari ancaman kepunahan, terutama burung kicau yang rawan diperdagangkan dan penangkapan skala besar.

Pemerintah juga diminta pengetatan pengiriman paket penjualan satwa. Semua pengiriman paket harus ada surat resmi. Misal, di Jambi, pengiriman burung ke Jawa bisa dititipin ke bus, travel, tanpa ada pemeriksaan. Ini harus pengetatan.”

 

Keterangan foto utama: Petugas Polda Jambi, mengamankan ribuan anakan lobster, 19 Mei lalu. Foto: dokumen Polda Jambi

Exit mobile version