Mongabay.co.id

Inilah Cekungan Bobotsari, Penyimpan Air di Purbalingga dan Banyumas

 

Kini telah memasuki musim pancaroba, masa perubahan atau transisi dari musim penghujan ke kemarau. Hujan mulai jarang, hanya kadang-kadang. Tetapi kerap turun dengan deras meski hanya sebentar. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan sebagian wilayah di Jawa Tengah (Jateng) telah memasuki kemarau, tetapi sebagian besar baru masuk musim pancaroba.

Bagaimana dengan wilayah Jateng, khususnya di Banyumas dan Purbalingga? Secara faktual, pada musim kemarau setiap tahunnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyuplai kebutuhan air bersih hingga beribu-ribu tangki untuk wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan. Sumur-sumur mengering dan sumber air seperti mata air mengalami penurunan volume. Meski demikian, BPBD tetap mampu menyuplai kebutuhan air bersih untuk wilayah setempat, karena di lokasi lain, tersedia cukup air.

Kepala Pusat Mitigasi Bencana Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Siswandi mengungkapkan sesungguhnya Banyumas dan Purbalingga itu mustahil kekurangan air. “Jika setiap kemarau ada kesulitan air bersih, itu semua hanya persoalan distribusi semata. Karena sebetulnya di Banyumas dan Purbalingga itu memiliki kekayaan air dalam perut bumi yang luar biasa. Air terjebak di antara endapan pasir lahar masa lalu hasil erupsi Gunung Slamet,”jelas Siswandi saat berbincang dengan Mongabay pada Jumat (22/5).

Air dengan volume besar itu terikat pada pasir lahar. Sebagian air yang mengalir dari Gunung Slamet ke wilayah sekitarnya, terjebak pada wilayah Cekungan Bobotsari. Di mana letaknya? Siswandi menerangkan bahwa pra ahli geologi memang menyebut sebagai Cekungan Bobotsari, sebuah nama yang menunjuk daerah di bagian timur laut dari Kota Purbalingga.

“Tetapi Cekungan Bobotsari itu tidak hanya di wilayah Bobotsari, namun meluas dari wilayah setempat, kemudian Kota Purbalingga, Purwokerto, sampai ke arah barat Banyumas. Kalau dilihat di Google Maps, wilayah dari Bobotsari, Purbalingga di timur, kalau utara perbatasannya dengan Baturraden, sedangkan di selatan wilayah Kemranjen, dan di barat Ajibarang. Itu merupakan wilayah Cekungan Bobotsari dengan areal yang sangat luas. Di dalam perut bumi, ada cadangan air yang luar biasa volumenya,” ungkap Siswandi yang juga seorang geolog tersebut.

baca : Adakah Solusi Permanen Krisis Air Bersih Ketika Kemarau Datang?

 

Antara Purbalingga dan Purwokerto, di sebelah tenggara Gunung Slamet, ada cekungan yang dinamakan Cekungan Bobotsari yang merupakan daerah penyimpan air di perut bumi. Sumber : Google Maps

 

Menurutnya, di Banyumas dan Purbalingga yang mempunyai kekayaan air tanah yang luar biasa sejatinya tidak akan kekurangan air. Namun demikian, stok air permukaan saja masih cukup melimpah di wilayah Banyumas dan Purbalingga. “Untuk jangka pendek dalam mengatasi kekeringan, saya kira yang dibutuhkan adalah menabung air. Di wilayah-wilayah yang kering di Banyumas, seperti di Darmakradenan, Ajibarang atau Gumelar, Purwojati, warga membutuhkan bak penampungan. Misalnya dengan membangun bak penampungan air di dalam tanah, seperti orang membuat septic tank. Dengan ukuran 5 x 5 meter saja, saya kira cukup. Atau bak penampungan di atas,” kata Siswandi.

Sedangkan untuk jangka menengah dan panjang, maka pemerintah perlu melakukan pipanisasi. Sebab, dengan melakukan pipanisasi, maka air bisa terdistribusi ke wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan. Jika hal itu dilakukan, maka tidak perlu lagi menyuplai kebutuhan air bersih dengan menggunakan truk tangki air keliling. “Di wilayah lereng Gunung Slamet itu sangat kaya sumber airnya. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk menyuplai kebutuhan air bersih untuk wilayah yang setiap kemarau kekeringan,” ujarnya.

Di sisi lain, konservsi air juga menjadi sesuatu hal yang harus terus digalakkan, salah satunya dengan terus menanam pepohonan. “Secara umum, hampir sebagian besar pohon dapat dimanfaatkan untuk konservasi air. Dengan adanya pepohonan, secara ilmiah, akar pohon pohon yang menyerap air tersebut, juga berfungsi menjaga agar air tidak ke mana-mana atau sebagai pengumpul air. Benar, bahwa pepohonan mencari air untuk bisa hidup. Tetapi perakaran pohon juga berfungsi menjaga air permukaan untuk tidak ke mana-mana. Simpelnya, seperti sumbu dalam kompor minyak tanah. Jadi, akar seperti itu, menyerap dan menjaga air tetap ada di lokasi tersebut. Tidak mengherankan jika ada pepohonan yang besar, maka di situ ada “tuk” atau sumber mata air,” katanya.

Menurutnya, karena fungsi perakaran sebagai “gantungan” air, maka kalau tidak ada pohon, air juga akan turun. Sebab, tidak ada perakaran pohon yang mampu menahan air supaya air tetap dekat dengan permukaan tanah.

baca juga : Menabung Air Hujan, Memanfaatkan Saat Kemarau

 

Embung yang berada di Kalibagor, Banyumas dan siap untuk dijadikan alternatif pengairan pada saat musim kemarau. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Antisipasi Kemarau

BPBD Banyumas masih tetap mengandalkan suplai kebutuhan air bersih untuk masyarakat yang mengalami kekeringan dengan mendistribusikan menggunakan mobil tangki air. “Untuk rencana penanggulangan kekeringan ke depan, maka suplai kebutuhan air bersih untuk wilayah kekeringan masih jadi alternatif utama,” jelas Sekretaris BPBD Banyumas Ariono Purwanto.

Sebenarnya, sudah banyak wilayah-wilayah yang ada di Banyumas yang telah membangun sumur dalam melalui program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (pamsimas), namun belum semua daerah memiliki. Bahkan, kadang pada musim kemarau juga ada yang turun volumenya, sehingga masih tetap mengandalkan suplai air bersih untuk solusnya.

Di sisi lain, pemkab juga telah membangun sejumlah embung yang dapat digunakan untuk mengairi areal sawah dan perkebunan di wilayah-wilayah tadah hujan. “Hingga kini, di Banyumas telah memiliki 13 embung yang dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Biasanya, embung-embung ini lebih besar jika dibandingkan dengan yang dikelola oleh Dinas Pertanian. Embung yang kami kelola kapasitasnya mencapai 10 ribu meter kubik (m3) atau bahkan lebih. Ukuran embung ya sekitar 100 x 100 meter dengan kedalaman antara 1-2 meter. Fungsinya adalah menampung kelebihan air di waktu musim penghujan, sehingga dapat dimanfaatkan ketika kemarau datang,”jelas Kepala DPU Banyumas Irawadi.

Menurutnya, ke-13 embung tersebut tersebar di sejumlah kecamatan di antaranya adalah Kecamatan Purwojati, Cilongok, Kalibagor dan lainnya. “Pada umumnya, konsep embung yang lama berada di wilayah daratan, sehingga agak sulit dan lama realisasinya. Sebab, harus ada pembebasan tanah. Makanya, ke depan ini kami mencoba membangun embung dengan konsep ‘long storage’. Tidak berada di darat, melainkan di alur sungai. Ada semacam bendungan yang disesuaikan dengan alur sungai, sehingga air sungai ada yang tertahan dan menjadi tabungan ketika musim kemarau tiba,” ujarnya.

Dijelaskan oleh Irawadi, sebetulnya tahun ini akan ada pembangunan satu embung dan rehabilitasi dua embung. Namun, karena ada COVID-19, maka semuanya dibatalkan. Tetapi pada intinya, salah satu antisipasi yang dilakukan pemkab adalah dengan menabung air, baik pembangunan embung atau “longs storage” di alur sungai.

perlu dibaca : Cerita Bencana Kekeringan yang Terus Berulang

 

Embung yang berada di Rawalo, Banyumas sebagai penyimpan air. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Dinpertan KP) Banyumas Widarso mengatakan bahwa pihaknya juga mengelola embung-embung yang tersebar di wilayah rawan kekeringan. “Fungsi dari embung tersebut memang untuk menyimpan air. Untuk embung yang dikelola Dinpertan KP ukurannya kecil hanya kisaran 30 x 40 meter dengan kedalaman antara 1-2 meter. Kapasitasnya untuk mengairi antara 5-10 hektare (ha). Tetapi kalau untuk mengairi sawah, jelas akan cepat habis. Karena itulah, kami menyediakan pompa air untuk kelompok tani agar memanfaatkan air sungai kalau sawahnya mengalami kekeringan,”ujarnya.

Petani, lanjut Widarso, biasanya juga telah menyiapkan sumur pantek yang digali di sekitar sawah. Hal itu dilakukan sebagai tempat tabungan air untuk menyelamatkan tanaman padi jika mengalami kekeringan. Apalagi, di wilayah Banyumas masih ada 9 ribu hektare (ha) yang diperkirakan belum tanam sampai pada akhir Mei dari luasan total 30 ribu ha. Ia berharap, mudah-mudahan kemaraunya masuk kategori kemarau basah, sehingga kekeringan dapat dihindarkan. Meski semuanya telah diantisipasi.

 

Exit mobile version