Mongabay.co.id

Sumut jadi Jalur Transit Penyelundupan Burung dari Sumatera dan Indonesia Timur?

 

 

 

 

Sumatera Utara, jadi semacam jalur transit atau pintu masuk dan keluar burung-burung selundupan terutama dari wilayah Sumatera dan Indonesia Timur. Temuan lapangan dari FLIGHT Protecting Indonesia’s Birds memperlihatkan hal itu. Kasus terbongkar dibarengi penegakan hukum terhadap para pelaku, seakan tak membuat jera.

Beberapa kasus terungkap, ternyata para pelaku penyelundupan gunakan jalur udara Bandara Kuala Namu Internasional Airport (KNIA) di Deli Serdang, Sumut.

Seperti kasus, penyelundupan empat burung cenderawasih dengan rute Papua–Bandara Juanda Surabaya–Bandara KNIA. Satwa endemik asal Papua ini diamankan petugas Karantina Pertanian Kelas II Medan yang akan dibawa ke Tiongkok.

Empat burung, dua jantan, dua betina ini dititipkan ke Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumut (BBKSDA Sumut),z dan dirawat di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Sibolangit, Deli Serdang. Satu burung mati.

Upaya penyelundupan belasan paruh bengkok dari Indonesia Timur juga pernah dibongkar Krimsus Polda Sumut. Pelaku menyelundupkan burung ke luar negeri melalui Bandara KNIA.

Baru-baru ini, penyidik Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatera berhasil menggagalkan penyelundupan ribuan burung ke Pulau Jawa melalui Bandara KNIA.

Marison Guciano, Direktur Eksekutif FLIGHT Protecting Indonesia’s Birds mengatakan, ada dua hal patut jadi perhatian. Pertama, kondisi burung-burung liar di Sumatera yang diburu, diperdagangkan ilegal melalui jalur Sumut. Kedua, penyelundupan burung berbagai jenis dari Indonesia bagian timur, juga melalui Bandara KNIA.

 

Murai daun sitaan petugas dari upaya penyelundupan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Untuk wilayah Sumatera terutama Sumut dan Aceh, banyak burung diambil dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kondisi ini, katanya, sangat mengkhawatirkan.

Dalam catatan mereka, dari dua pedagang besar di Medan, seminggu sekali mengirim 3.000 lebih burung ke Jawa secara ilegal.

Parahnya, temuan mereka memperlihatkan, dua penangkar burung yang mengantongi izin menerima kiriman burung ilegal dari alam. “Sampai sejauh ini, belum terlihat upaya penertiban terhadap pedagang-pedagang besar yang memiliki izin penangkaran, justru menerima burung-burung yang diambil ilegal dari alam.” katanya.

Penyelundupan ini terjadi, katanya, diduga keterlibatan oknum aparat. Kalau tak segera diatasi, burung di alam akan cepat hilang. Kalau sampai terjadi, katanya, akan berdampak buruk pada ekosistem.

 

Pandemi makin marak

Di masa pandemi Virus Corona ini, katanya, penyelundupan burung dari Aceh ke Medan dan sekitar Medan justru meningkat. Burung-burung ini, masih bisa dikirim jalur udara, atau pesawat, walau jalur darat makin sulit.

“Kalau dari Sumatera Utara ke bawahnya yaitu ke Pekanbaru, penyelundupan dimungkinkan lewat jalur darat atau bis, mobil carteran dan mobil pribadi. Sebelum wabah Corona marak gunakan jalur darat,” katanya.

Setelah wabah Corona, di perbatasan-perbatasan lintas daerah, seperti Sumut–Riau-Jambi, banyak razia terutama terkait COVID-19, hingga makin menyulitkan atau menutup ruang gerak jaringan perdagangan satwa liar.

Petugas, katanya, menyetop setiap mobil guna mengantisipasi penyebaran virus mematikan ini. Selama Corona, justru penyelundupan di Aceh-Sumut lewat jalur udara ke Jakarta.

“Investigasi kita, 3.000 lebih burung diselundupkan melalui Sumut. Itu angka pengiriman dari Sumatera ke Jawa gunakan jalur udara atau pesawat,” katanya.

Temuan mereka, di Jawa, juga ada bandara tertentu yang bisa jadi tujuan penyelundupan burung ini.

 

Cenderawasih yang diamankan Balai Karantina di Bandara Kuala Namu. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Mengapa penyelundupan via jalur udara bisa terjadi? Pertama, katanya, pengiriman burung melalui jalur udara kemungkinan bisa lolos dengan hanya mengantongi surat Karantina. Kewenangan pemeriksaan di bandara, katanya, tak hanya ada pada BKSDA, juga Balai Karantina Pertanian, terutama terkait surat kesehatan hewan.

Kedua, penyelundupan ini bisa terjadi karena tidak ada komunikasi baik antara Karantina dan BBKSDA Sumut.

“Itu bisa saja terjadi. Jadi, burung-burung ini bisa terbang ke Jawa dengan modal surat kesehatan Karantina, tetapi Karantina tak mengecek asal usul burung, apakah diambil ilegal dari alam atau tidak,” katanya.

Data dari FLIGHT Protecting Indonesia’s Birds, untuk seluruh Indonesia total pertahun burung-burung diburu dari alam liar mencapai 20 juta ekor, dengan perkiraan sekitar 14 juta ekor dari Sumatera. Jenis burung buruan ini, katanya, dari yang tak dilindungi maupun dilindungi. Jenis burug yang sering diselundupkan cucak hijau dan poksay kepala putih.

Jumlah fantastis ini menurut Marison, untuk memenuhi pasokan pasar-pasar burung, terutama di Jawa.

Dia bilang, Bandara KNIA pintu utama jalur lalu lintas burung-burung itu. Pengawasan di sana, sangat lemah. Pedagang-pedagang di Pekanbaru, Riau, sebagian dari mereka mengirim burung ke Jawa atau ke Jakarta, tidak gunakan bandara di Pekanbaru, justru lewat Kuala Namu.

Marison bilang, pengepul burung di Sumut ini ada di Tapanuli Selatan dan Kota Binjai. Ada juga di wilayah-wilayah yang jauh dari dua daerah ini, yang berdekatan dengan kawasan hutan.

 

 

BBKSDA Sumut, katanya, harus mengawasi lebih ketat pedagang-pedagang atau pengumpul satwa-satwa di Sumut.

Penyelundupan burung ini, katanya, selain dari Indonesia ke luar negeri, juga menemukan marak penjualan dari Malaysia ke Indonesia. Ada juga dari Malaysia-Indonesia-Thailand, terutama jenis-jenis kacer dan murai batu.

Burung-burung ini, katanya, masuk melalui Batam, dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau, sebagian dikirim ke Medan. Dari Medan dikirimlah ke beberapa daerah di Sumatera dan Jawa.

Selain perdagangan dan penyelundupan ilegal burung-burung dari Sumatera mereka juga menemukan banyak burung- dari Indonesia timur ke luar negeri melalui Medan. Setelah sampai di kota ini, mereka akan transit saja atau singgah di Medan, lalu melanjutkan pengiriman ke luar negeri.

Sejumlah temuan tim mereka, penyelundupan burung transit dari Medan terutama ke Vietnam. Lagi-lagi, katanya, Medan menjadi hadi tempat transit karena pengawasan longgar dan dugaan keterlibatan oknum di dalamnya. Dari Medan juga banyak penerbangan ke luar negeri hingga jadi titik transit penting.

Data yang mereka miliki, jenis-jenis burung yang disalurkan dan berhasil disita aparat, seperti cica daun besar, cica daun kecil, cica daun sayap biru, poksay Sumatera, dan ekek keling. Lalu, serindit melayu, ekek geling, ciblek , kolibri, kopi-kopi, gelatik batu, pelatuk sampit, pleci cucak jenggot, murai air, poksay Medan, rambatan dan tengkek buto.

Sedangkan burung-burung yang berhasil disita aparat di Sumut berasal dari Indonesia timur, seperti cenderawasih, kakatua jambul kuning, nuri kepala hitam, nuri Ambon, kakatua raja, nuri kabare, kasuari gelambir ganda, rangkong, kakatua koki dan kakatua Maluku.

Hotmauli Sianturi, Kepala Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), enggan berkomentar ketika dikonfirmasi perihal Sumut jadi transit penyelundupan burung.

Saat dihubungi menggunakan telephon seluler, dia hanya mendengarkan pertanyaan kemudian menutup telepon sambil mengatakan tengah sibuk. Diajuga tak mau komentar ketika ditanya melalui aplikasi WhatsApp.

“Ada apa? Saya sibuk,” katanya langsung mematikan telepon.

 

 

Keterangan foto utama: Cenderawasih kuning jantan yang diamankan Balai Karantina di Bandara Kuala Namu. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version