Mongabay.co.id

Bahaya, Jika Kabut Asap Melanda Sumsel Selama Pandemi

Kabut asap dari lahan terbakar di Kabupaten Ogan Ilir terasa hingga Palembang, khususnya di Palembang wilayah barat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Saat ini Sumatera Selatan [Sumsel] menjadi provinsi tertinggi kasus positif COVID-19 di Pulau Sumatera. Angkanya mendekati 1.000 kasus. Para pasien virus corona ini kian terancam jiwanya, jika terjadi kebakaran hutan dan lahan [karthutla] di wilayah gambut yang menimbulkan kabut asap di Sumsel.

Apa yang harus dilakukan?

Selama lima tahun terakhir [2015-2019], Sumatera Selatan, merupakan provinsi yang mengalami karhutla terluas di Indonesia, mencapai 1.011.733,97 hektar. Luasannya ini di atas enam provinsi lain yang setiap tahun mengalami hal serupa, yakni Kalimantan Tengah [956.907,25 hektar], Papua [761.081,12 hektar], Kalimantan Selatan [443.655,03 hektar], Kalimantan Barat [329.998,35 hektar], Riau [250.369,76 hektar] dan Jambi [182.195,51] hektar.

Setelah terbakar 2015 lalu, sekitar 646.298,80 hektar, Sumatera Selatan sempat menunjukan perkembangan signifikan dalam upaya pencegahan kebakara. Pada 2018, hutan dan lahan gambut hanya terbakar sekitar 16.226, 60 hektar. Namun pada 2019 melesat hingga 336.778 hektar.

“Meningkatnya kebakaran gambut puluhan kali di Sumatera Selatan pada 2019 dibandingkan 2018 merupakan hal yang perlu diperhatikan semua pihak, sehingga tidak terulang pada 2020,” kata Bambang Hero Saharjo, pakar gambut dan forensik kebakaran dari IPB, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [22/5/2020] lalu.

Berdasarkan data yang diberikan Bambang Hero, kebakaran lahan gambut terluas di Sumatera Selatan pada 2019 lalu masih berada di daerah yang selama ini sering terbakar. Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] seluas 91.665 hektar, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba] seluas 11.851 hektar, Kabupaten Banyuasin seluas 24.692 hektar, serta Musi Rawas Utara [Muratara] seluas 6.015 hektar.

Baca: Jika Hutan dan Lahan Terbakar, COVID-19 Kian Menyebar?

 

Asap membumbung tinggi di lahan terbakar di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pada 24 Oktober 2019 lalu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kurangnya konsolidasi

Dr. Najib Asmani, Ketua Yayasan Kelola Lanskap Berkelanjutan, menyatakan penyebab luasnya karhutla di Sumsel pada 2019 adalah konsolidasi kurang intensif. “Tidak diantipasi sebelum musim kemarau tiba,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Rabu [27/5/2020].

“Sebetulnya Sumsel sudah punya SOP pada waktu Asian Games 2018. Jika SOP itu diadopsi, mungkin kebakaran hutan dan lahan gambut tidak seluas itu,” kata mantan Ketua TRGD [Tim Restorasi Gambut Daerah] Sumsel.

“Jadi untuk mencegah Karhutla tahun ini, konsolidasi harus ditingkatkan,” ujarnya.

Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi dari UIN Raden Fatah Palembang, menyatakan tingginya karhutla di Sumsel pada 2019, karena mitigasi pra bencana tidak maksimal. “Pembukaan lahan tetap terjadi, lahan terlantar dibiarkan, edukasi tidak maksimal dengan fasilitasi. Bukan fokus ke pencegahan dengan usaha produktif tapi hanya pelarangan saja,” katanya, Rabu [27/5/2020].

“Memang faktor iklim juga membuat lahan gambut menjadi mudah terbakar,” lanjutnya.

Baca: Refleksi COVID-19: Sejak Dulu Bangsa Indonesia Rajin Mencuci Tangan

 

Kawasan hutan di Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OKI, yang terbakar hebat akhir Oktober 2019 lalu. Upaya pemadaman dilakukan dengan water bombing dan juga jalur darat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Patroli dan TMC

Selama April 2020, Manggala Agni Sumsel melakukan patroli terpadu dengan TNI, Polri, BPBD, dan MPA [Masyarakat Peduli Api] di wilayah rawan kebakaran hutan dan lahan. Sejumlah posko patroli pencegahan terpadu didirikan di Muba [5 posko], Banyuasin [2 posko], Ogan Ilir [3 posko], OKI [5 posko], Muaraenim [2 posko], Lahat [1 posko], Musi Rawas [1 posko] dan Pali [1 posko].

Setelah itu, Manggal Agni melakukan patroli mandiri karena TNI dan Polri fokus menjadi satgas COVID-19. “Tapi Juni ini kami akan melakukan patroli terpadu lagi,” kata Ferdian Krisnanto, Kepala Balai PPIKHL [Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan] Wilayah Sumatera, Rabu [27/5/2020].

Selain itu, juga akan dilakukan operasi TMC [Teknologi Modifikasi Cuaca] untuk membasahi gambut selama 15 hari. Operasi ini merupakan kerja sama KLHK, BPPT dan mitra kerja. “Saat ini operasi TMC dilakukan di Riau, mungkin minggu kedua Juni di Sumsel,” kata Ferdian.

Baca juga: Jangan Terulang Lagi Krisis Pangan di Air Sugihan

 

Virus corona yang mewabah dan menimbulkan kecemasan masyarakat dunia. Ilustrasi virus corona: Alissa Eckert & Dan Higgins/Centers for Disease Control and Prevention

 

Dipadukan

Pendemi corona dan karhutla adalah dua persoalan yang harus diatasi Sumsel secara bersamaan. Kedua upaya pencegahan tersebut membutuhkan dana besar dan kerja sama berbagai pihak, serta persoalan yang sama di masyarakat terkait ekonomi.

“Akibat pendemi, ekonomi masyarakat termasuk di pedesaan, jelas terpengaruh. Sementara dipahami selama ini aktivitas membakar hutan dan lahan gambut yang dilakukan masyarakat salah satu faktornya adalah ekonomi. Jadi, dampak pendemi, secara teori, memungkinkan banyaknya masyarakat melakukan pembakaran hutan dan lahan gambut untuk kegiatan ekonomi,” kata Yenrizal.

Persoalannya, lanjut Yenrizal, akibat kebakaran hutan dan lahan gambut itu menimbulkan kabut asap. “Mengerikan jika terjadi kabut asap selama pendemi. Sebab kabut asap jelas memperparah pasien corona, yang jelas mengancam jiwanya karena pernapasan kian terganggu. Selain itu, bukan tidak mungkin virus menyebar karena banyaknya orang yang mengalami gangguan pernapasan,” terangnya.

Atas dasar itu, sebaiknya tim pencegahan COVID-19 dan kebakaran hutan dan lahan gambut disatukan. Terpadu. Terutama terkait skema ekonomi. Misalnya, setiap warga yang menerima bantuan dana atau pangan dari pemerintah selama pendemi, dilarang melakukan pembakaran. Jika terbukti, selain dananya ditarik atau ditunda, diberi sanksi hukum seperti selama ini.

“Tapi yang lebih efektif, mereka yang diberi bantuan diajak menjadi tim pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut,” ujarnya.

Terkait usulan ini, Ferdian menyatakan, mendukung satgas [COVID-19 dan karhutla]. Semoga masyarakat dan berbagai pihak berperan optimal. Akan sangat tersiksa apabila banyak asap pada kondisi begini.

“Selama pendemi, anggota Manggala Agni juga membantu penyemprotan disinfektan serta sosialisasi ancaman virus pada kelompok masyarakat di wilayah rawan kebakaran,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version