Mongabay.co.id

Cerita Petani Kopi Sridonoretno

 

 

 

 

Harum semerbak bunga kopi menguar dari balik kebun kopi di Desa Srimulyo, Sukodono dan Baturetno, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Aroma harum berasal dari bunga kopi robusta yang bermekaran. Bunga-bunga berwarna putih terhamparan luas di kebun kopi. Ketiga desa menghasilkan kopi merek Sridonoretno. Popularitas Sridonoretno terus melejit, dan terkenal se antero nusantara.

Saya berkunjung ke sana untuk melihat proses pengolahan lahan, pemetikan sampai siap konsumsi. Lokasi kebun kopi Sridonoretno sejauh 45 kilometer dari Kota Malang. Tanaman kopi mendominasi kebun dan pekarangan warga. Kebun tampak hijau.

Saat kopi berbunga, hanya mekar selama tiga hari, kemudian layu dan rontok. Bunga kopi ternyata juga nikmat jadi minuman. Proses petik bunga kopi harus hati-hati, agar buah kopi tak rusak.

Baca juga : Kopi Ini Sukses Satukan Ekonomi, Konservasi dan Mitigasi

Bunga kopi bisa dikeringkan dan diseduh dengan air panas. Teh bunga kopi atau coffee blossom tea nikmat disajikan di pagi hari.

Saban pagi, para petani ke kebun. Mereka memantau pertumbuhan tanaman, memupuk dan mengendalikan hama dan penyakit.

Perkebunan kopi di Desa Srimulyo, Sukodono dan Baturetno, cukup luas, hampir setiap rumah memiliki kebun kopi. Kopi bagi warga di sana bagian dari kisah hidup mereka.

Ada cerita dalam setiap proses mulai pengolahan lahan, membersihkan rumput, memangkas dahan, memetik coffe cherry atau buah kopi, menjemur, mengupas kulit, menyangrai, menggiling hingga mengemas kopi siap saji.

Heryanto, Ketua Koperasi Sridonoretno, mengatakan, kalau tertarik melihat proses pemetikan atau ikut memetik kopi bareng petani langsung dari pohon lebih baik datang pada Juni-September. Itu masa panen raya. Kadang biji kopi mulai terlihat sejak Mei, sebagian petani mulai memilih biji kopi yang merah. “Sejak empat tahun terakhir petani petik merah,” katanya.

 

Kopi Sridonoretno, sudah dikemas dan siap dipasarkan. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Terkenal sejak masa Belanda

Kopi Dampit terkenal sampai ke Eropa, sejak masa kolonial Belanda. Sayangnya, petani tak merasakan keuntungan. Harga kopi tetap tak beranjak naik. Terkenal biji kopi Amstirdam akronim dari empat kecamatan terdiri atas Ampelgading, Tirtoyudo, Sumbermaning Wetan dan Dampit.

Selama ini, ketiga desa ini merupakan penopang kopi Dampit. Selama 10 tahun terakhir, harga kopi tak menarik bagi petani dan kualitas terus menurun.

Setelah bergabung dalam Asosiasi Petani Kopi Sridonoretno, petani jadi memiliki pengetahuan mengolah lahan, budidaya kopi, memetik hingga tak memiliki teknologi pasca panen. Sebelumnya, petani memetik kopi asalan, engan pengolahan ala kadar.

Kopi biasa dijemur di lantai halaman rumah, atau di atas aspal. Usai dijemur, biji kopi dikupas dari kulit. Hasilnya, biji kopi dijual ke Pasar Dampit atau dikirim ke tengkulak. Harga biji kopi ditentukan mekanisme pasar, petani tak memiliki kedaulatan menentukan harga.

Hingga medio 2014, petani didampingi Universitas Brawijaya dan Asosiasi Petani Indonesia, belajar mengolah kopi. Mereka hanya memetik buah kopi dengan memilih yang berwarna merah. Petani dari ketiga desa bersepakat menggunakan nama Sridonoretno (SDR) akronim dari ketiga desa. Awalnya, hasil buah kopi yang dipetik dipasarkan melalui kerjasama dengan PTPN XII Bangelan, Wonosari, Kabupaten Malang.

Mereka bergabung untuk memperbaiki mutu. Lantas petani mendapat pendampingan dan pelatihan. Para petani menyadari jika mulai budidaya, petik dan pengolahan pasca panen menentukan kualitas biji kopi. Penyimpanan biji kopi juga penting. Biji kopi hasil olahan petani disimpan di gudang penyimpanan dengan menjaga suhu dan kelembaban guna menghindari jamur dan suhu dingin.

Sejak empat tahun lalu, petani menentukan harga dengan kesepakatan bersama pembeli sesuai biaya produksi. Pada 2015, petani Sridonoretno mengundang para pemilik kedai se-Malang Raya. Mereka berdialog multi pihak untuk menentukan harga.

Petani menghitung harga sesuai dengan biaya produksi, dan pemilik kedai juga menghitung harga yang pantas. Respon pasar bagus.

Harga ditentukan sampai ke kedai kopi biji kopi Rp35.000 per kilogram, kopi asalan di pasaran Rp18.000 per kilogram, kopi hasil petik merah dari petani Rp22.000. Petani bekerjasama dengan mitra Rembug Pawon untuk memasarkan kopi di sejumlah kedai di Kota Malang.

Tahun berikutnya, harga biji kopi dari petani Rp35.000, harga dari mitra ke kedai kopi Rp45.000. Meski di pasaran harga kopi sempat turun, namun kopi Sridonoretno tetap stabil. Sekarang, harga kopi asalan di Pasar Dampit Rp20.000. Koperasi petani kopi Sridonoretno sempat kewalahan tak bisa memenuhi pesanan.

Tahun ini, 13 ton biji kopi robusta terserap pasar dengan seluruh potensi panen 600 ton. Selebihnya, kopi masih jual asalan ke pasar maupun tengkulak. Sebagian petani rela menjual murah karena pengolahan pasca panen tak ribet.

Koperasi juga menjual daring atau dalam jaringan alias online. Penjualan secara daring tersebar seluruh nusantara, mulai kedai kopi di Jakarta, Medan, Subang dan Bandung. Total setiap bulan terjual sekitar 500 kilogram.

Petani tengah mengajukan perhutanan sosial seluas 965 hektar di hutan lindung. Lahan diajukan untuk kelola 841 petani. Kebun bakal untuk tanam kopi, cengkih dan pisang. Juga ada tanaman sela berupa durian, manggis, sirsat, petai dan alpukat. Sedangkan lahan dengan kemiringan 45 derajat ditanami kayu dan tanaman buah.

 

Untuk mendapatkan kualitas kopi bagus, antara lain dengan petih buah berwarna merah. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Merawat “bayi” kopi

Pekerjaan utama warga tiga desa sebagai petani kopi dengan kepemilikan lahan 0,25 hektar. Mereka menggantungkan hidup dari kopi, dan budidaya aneka buah seperti pisang, sirsak, dan manggis. Mereka juga merawat kambing dan ayam untuk tambahan penghasilan.

Saban hari, Heryanto beraktivitas di kebun kopi baik menyiangi rumput atau gulma dan mengecek dahan tanaman.

Secara rutin, dia juga memangkas cabang atau dahan yang tak produktif. Sedangkan pemupukan dua kali setahun, sebelum dan sesudah musim hujan. Tak lupa memastikan tanaman naungan di sekitar kopi juga sehat antara lain lamtoro dan kelapa.

Koperasi juga berinisiatif membentuk sekolah lapangan budidaya kopi dan pengendalian hama terpadu sejak 2016. Tujuannya, meningkatkan produktivitas karena banyak petani tak mengolah lahan dan merawat kopi secara intensif.

Petani belajar teknik peremajaan tanaman kopi dengan sambung samping (side grafting). Dengan begitu bisa menyediakan bibit tanaman berkualitas, tahan hama penyakit dan produksi melimpah.

Setelah bibit kopi berkualitas, petani harus rutin memangkas dahan dan daun. Para petani juga belajar membuat nutrisi pupuk cair dan penerapan pada tanaman kopi. Sekolah lapang diikuti 18 kelompok tani, terdiri dari 500 petani.

Usaha memperbaiki sistem budidaya tanaman kopi menunjukkan hasil. Produktivitas kopi meningkat. Penghasilan petani meningkat 53% dari Rp27 juta per hektar pertahun jadi Rp42 juta. Mulai 2015-2019, peningkatan produksi kopi berkualitas terus melonjak jadi 50 ton per tahun. Juga ada peningkatan omset penjualan Rp1,1 miliar jadi Rp2,1 miliar per tahun.

Kini, mereka mengembangkan budidaya kopi arabika dengan ketinggian tanah antara 800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Uji coba tengah dilakukan agar bisa menghasilkan biji kopi arabika berkualitas.

Peneliti dan praktisi kopi Djoko Soemarno menyarankan, petani membuat lubang di dekat tanaman atau rorak. Berfungsi sebagai kantung air. Tujuannya untuk cadangan air saat kemarau atau aeroasi akar dengan harapan buah kopi makin lebat, besar dan terus menerus berproduksi tanpa jeda.

Tanaman kopi ditentukan oleh pengolahan lahan, penyediaan bibit tanaman unggulan serta pengendalian hama dan penyakit. Jadi, semua proses harus diperhatikan. Pemetikan buah kopi juga harus dipilih yang matang. Kalau petik salah, kualitas biji kopi bisa merosot. Petani harus memilih hanya memetik biji kopi merah dan masak sempurna.

“Biji kopi hijau akan rusak jika di-roasting. Gosong menjadi arang,” katanya.

Proses penjemuran juga mempengaruhi kualitas biji kopi. Biji kopi harus dijemur di wadah bersih untuk menjaga mutu dan rasa.

 

Mengemas kopi Sridonoretno. Foto: Eko WIdianto/ Mongabay Indonesia

 

Kopi berkualitas

Setelah kopi dipetik, proses berlanjut ke sortasi. Dipilih hanya buah kopi yang merah merona. Sedangkan buah kopi yang kuning apalagi hijau dipisahkan.Selanjutnya berlanjut sesuai metode pemrosesan. Kopi Sridonoretno tersedia proses secara natural, honey, full wash atau wine.

Proses natural buah kopi setelah dipetik, lalu jemur di bawah sinar matahari langsung. Biasa, buah kopi disebar di papan anyaman bambu, di bolak-balik sampai kering merata. Secara alamiah kulit ceri terkelupas. Ini teknik paling tua. Dengan proses ini, cenderung keasaman rendah, dengan cita rasa kopi eksotis dan body lebih banyak.

Sedangkan proses full wash, kopi diseleksi dengan cara perambangan. Buah kopi direndam dalam wadah berisi air, hanya yang tenggelam yang terpilih. Buah kopi mengapung dipastikan cacat dan dipisahkan.

Lantas pisahkan antara kopi kulit ceri dan buah dengan alat depulper atau pengupas. Biji kopi yang terpisah dicuci dan rendam dalam bejana berisi air agar sisa kulit luruh dan bersih. Berikutnya, proses pengeringan.

Untuk proses honey, kopi dipisahkan antara kulit dengan biji pakai mesin pengupas. Sebagian mucilage atau lendir dibiarkan menempel pada biji kopi, lanjut dengan pengeringan.

Untuk proses wine, buah kopi dibungkus plastik kedap udara untuk fermentasi selama tiga bulan. Setelah itu, buah kopi dikeringkan dengan jemur biasa seperti proses natural.

Koperasi memiliki enam unit pengolahan hasil (UPH) tersebar di tiga desa. Buah kopi yang terkumpul dicatat, dihitung kemudian olah di UPH untuk menjaga kualitas sesuai standar. Semua proses pasca panen di UPH dari penyimpanan dan pemasaran.

UPH memastikan kualitas green bean (biji hijau kopi) sesuai kebutuhan pelanggan. Biji kopi siap dipasarkan ke sejumlah kedai kopi di seluruh nusantara. Sebagian biji kopi juga di-roasting (sangrai) sesuai selera: dark, medium atau light. Pembeli yang ingin buah tangan dalam bentuk kopi bubuk, bisa langsung digiling dan kemas sesuai selera.

Saat ini, Asosiasi Petani “Sridonoretno” dan Koperasi “SDR” melayani 500 petani sebagai produsen kopi, terorganisir dalam 18 kelompok tani dengan potensi panen 600 ton per tahun. Dari jumlah itu, baru 250-an keluarga petani kopi sudah menjalankan sistem petik merah dengan hasil sampai 10-25 ton per tahun. Untuk permintaan dari jaringan kedai kopi sebesar 50 ton per tahun.

 

Menjemur kopi. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version