Mongabay.co.id

Antisipasi Krisis Pangan di Masa Pandemi, Orang Papua Kembali ke Pangan Lokal

Pisang, salah satu sumber pangan yang banyak ditanam orang Papua. Foto: Yan Legowan

 

 

 

 

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) menyebar luas ke mana-mana, termasuklah di Papua, di kota-kota hingga kabupaten di pegunungan. Laporan sampai 19 Mei 2020, ada sekitar 19 kota dan kabupaten terpapar COVID-19, tujuh di Papua Barat dan 12 di Papua.

Pandemi ini belum menunjukkan tanda-tanda mereda, obat maupun vaksin belum ada. Pemerintah telah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Papua. Pada 26 Maret 2020, Pemerintah Papua menutup bandara dan menghentikan penerbangan komersial, sementara pesawat dan kapal kargo tetap beroperasi.

Baca juga: Masa pandemi Corona, Pemerintah Mesti Serius Serap Sagu Papua

Berbagai sektor terdampak COVID-19. Solidaritas muncul di kalangan orang muda Papua, untuk membantu orang-orang terdampak. Musa Haluk, Ketua Kamar Adat Pengusaha Papua (KAP-Papua), bersama beberapa pengurus menghimpun bantuan makanan bagi yang terdampak, terutama para mahasiswa di Jayapura. Selama dua hari, dia dan beberapa temannya, keliling dari kebun ke kebun, mengumpulkan bahan makanan lokal, seperti sagu, ubi, singkong, dan pisang.

“Kami bawa betatas satu karung berisi 50 kilogram, singkong satu karung, keladi satu karung, pisang, juga sagu satu karung. Hampir semua rata, satu karung semua,” kata Musa Haluk, kepada Mongabay, melalui telepon pada 26 April 2020.

Macam-macam makanan lokal itu kumpulkan dari kebun-kebun, lalu bagikan ke asrama-asrama mahasiswa dari tujuh wilayah adat Papua di Jayapura. Ada sekitar 21 asrama mahasiswa.

Baca juga: Cetak Sawah di Lahan Gambut, Mereka Ingatkan Risiko dan Usul Sumber Pangan Lokal

Bagi-bagi makanan lokal itu rupanya sebuah awal. Musa Haluk bersama orang-orang yang tergabung dalam KAP-Papua ini menggelar solidaritas penanganan COVID-19 dan mengajak masyarakat konsumsi pangan lokal. Dia juga mendorong masyarakat kembali berkebun.

“Kami pikir, kami tidak harus makan nasi atau mie instan, yang dong pemerintah kasih bantuan. Makanan bergizi itu ada pada pangan lokal. Ada sagu, petatas, ubi, jagung, keladi, dan lain-lain,” kata Musa.

 

Berbagai sumber pangan beragam, dari ubi, pisang, yang  ditanam orang Papua. Pangan pokok tak harus beras.  Foto: Yan Lagowan

 

Elisabeth Tebai, Ketua Gugus Tugas COVID-19 KAP-Papua, mengatakan, tim mereka juga fokus pada pelaku ekonomi orang asli Papua (OAP). Selama dua minggu, tim mendata para pedagang OAP, dari penjual roti, sayur, hingga pinang.

“Total 3.527 pedagang asli Papua,” kata Elis kepada Mongabay, melalui telepon.

Para pedagang OAP itu mereka data dari wilayah Expo–batas kota dan kabupaten Jayapura ke Koya–batas Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura.

“Kita berpikir karena mama-mama takut dengan wabah ini, tidak jualan dan di rumah,” kata Elis.

Meskipun, katanya, masih ada mama-mama tetap berjualan karena terpaksa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Data pedagang OAP yang berhasil dikumpulkan itu mereka bawa ke Dinas Pemberdayaan dan Masyarakat Kampung (DPMK) dan OAP, yang kemudian disetujui sebagai pihak yang mendapatkan bantuan bahan pokok dari Pemerintah Papua, melalui Dinas Sosial dan Deperindagkop Papua.

Pada Sabtu, 16 Mei 2020, bantuan itu diserahkan secara simbolis oleh Wakil Gubernur Papua, Klemen Tinal. Namun, kata Elis, bantuan yang disalurkan di empat titik di Sentani, Abepura, Koya, dan Pasir Dua, belum mencukupi keseluruhan pedagang OAP yang terdata. “Tiap paket bahan makanan berisi 20 kg, satu rat telur, satu karton mie instant, lima liter minyak goreng, gula, susu, dan biskuit satu kaleng,” katanya.

Menurut Elis, bantuan makanan itu tak akan cukup untuk menopang kehidupan masyarakat selama pandemi ini.

KAP-Papua pun salurkan pangan lokal guna memenuhi keperluan pangan masa pandemi mereka. “Masyarakat supaya tetap mengonsumsi pangan lokal,” katanya.

Dia bilang, KAP-Papua misi mengembangkan ekonomi dari dusun, menata pembangunan dari kampung ke kota. “Kami mengangkat potensi ekonomi di dusun yang punya nilai ekonomi, nilai gizi tinggi, apalagi melawan COVID salah satunya makan makanan yang bergizi [itu pangan lokal]. Dari beras saja tidak cukup,” kata Musa.

 

 

Sosialisasi COVID-19 di Dogiay. Foto: KAP-Papua

 

***

Kamis, 7 Mei 2020, Arnoldus Douw, sambil memegang alat pengeras suara di dalam mobil yang melintas di sepanjang jalan Kota Dogiyai, menyerukan agar masyarakat mengantisipasi kemungkinan krisis pangan dan kelaparan di masa COVID-19.

“Bertani, berkebun, berternak, untuk menghasilkan ubi, keladi, sayur mayur, demi makanan lokal kita, untuk kelangsungan hidup kita bersama. Cukupilah masing-masing keluarga dengan mengandalkan pangan lokal,” kata Arnoldus, dalam bahasa Mee, terlihat dalam video yang diterima Mongabay.

Arnoldus Douw, Ketua KAP-Papua wilayah Dogiyai, bergabung bersama dengan Tim Gugus Tugas COVID-19 Kabupaten Dogiyai. Dalam pekan sosialisasi, dia empat kali menggunakan kendaraan keliling kota dan kampung di berbagai titik di Dogiyai. Sebagian tim, berjalan kaki masuk ke kampung-kampung pedalaman, untuk sosialisasi Corona dan ajak masyarakat berkebun.

“Bahasa lokal lebih menyentuh, mereka akan berbicara dari satu ke satu, satu ke satu,” kata Arnoldus, kepada Mongabay, melalui telepon.

Ada 10 distrik, 79 kampung, dan 89 marga di Kabupaten Dogiyai.

Setiap tim turun, terdiri dari kepala desa, tokoh adat, tokoh agama, Dinas Kesehatan, dan pemerintah daerah. Mereka selalu gunakan bahasa Mee, karena lebih efektif. “Mereka dapat informasi cepat dengan bahasa lokal. Itu yang di kampung-kampung,” kata Arnoldus.

“Wabah Corona ini akan lama, pangan nasional (beras) akan sulit. Masyarakat mesti berkebun, siapkan pangan lokal untuk keberlangsungan hidup,” katanya.

Kembali berkebun, menurut Musa, adalah gerakan membangkitkan pangan lokal, sekaligus menghidupkan kebun-kebun yang mati, ditelantarkan oleh petani. Selama ini, pangan lokal yang tersedia mengandalkan hasil kebun hanya untuk keluarg sendiri, dan sebagian dijual.

Sejak diserukan kembali berkebun, banyak orang membuka kebun. Dengan alat seadanya, bahkan pakai kayu, orang berbondong-bondong berkebunm mulai dari Jayapura, menyebar ke berbagai daerah lain, seperti Lannijaya, Wamena, Dogiyai, Biak Numfor.

KAP-OAP pun bantu alat kerja di kebun. “Selama ini, sebelum wabah ini, hanya beberapa orang berkebun. Sekarang, dari Sentani sampai Koya, orang-orang berkebun,” kata Elis.

Musa bersama tim mengkoordinir para petani, terutama kelompok-kelompok tani, yang membuka kebun mereka kembali. Sekitar dua minggu tim menerima permintaan alat-alat kerja dari berbagai kelompok, mencapai lebih 300 kelompok yang mengajukan permintaan alat kerja. “Dari survei, sekitar 90 lebih kelompok tani. Ada sekitar 80 hektar lahan pertanian, sebagian besar ada di Keerom,” kata Musa.

Mereka akan membagikan alat kerja kepada kelompok tani yang sudah berkebun. “Kita sediakan 700 sekop, 500 parang, 200 linggis, 200 cangkul,” kata Musa 21 Mei lalu melalui telepon.

 

 

Para mahasiswa pun kembali berkebun tanam pangan lokal. Foto: Yan Degowan

 

Dia bilang, pembagian alat kerja kepada kelompok tani antara lain, di Tabi (Jayapura) dan Arso dan Koya untuk Keerom. “Rinciannya, 150 parang, 150 sekop, 100 linggis, 100 kampak. Lalu dibagikan juga logistik untuk bekerja, beras 200 karung, tiap karung isi 25 kilogram,” kata Musa.

Menurut Musa, keperluan pangan lokal jadi solusi bagi keamanan pangan di Papua di masa pandemi. Berkebun, katanya, harus mulai dari sekarang karena sistem pertanian orang Papua, dari pengolahan lahan hingga masa tanam bisa berlangsung sekitar dua bulan.

 

Berdaulat dengan pangan lokal 

Daawia Suhartawan, Dosen Fakultas MIPA Universitas Cendrawasih Papua dan Mahasiswa Doktoral di Department of Nature Conservation George-August Universitat Gottingen, mengatakan, sistem berkebun orang-orang di Papua, seperti suku-suku di dataran tinggi, juga berkebun secara menetap, menjamin ketersediaan pangan sepanjang tahun. Satu keluarga, katanya, bisa punya dua sampai tiga kebun yang tanam dan panen bergantian.

“Mereka juga memiliki strategi memanen bertahap. Petani hanya memanen ubi jalar yang berukuran besar, sementara yang kecil dibiarkan tumbuh hingga besar. Ini juga strategi penyimpanan dan pengawetan makan di dalam tanah,” kata Daawia, dalam diskusi online akhir April lalu.

Gerakan kembali berkebun saat pandemi ini bukan hanya mencegah krisis pangan, juga melestarikan bumi dan alam Papua. Karena orang-orang Papua menerapkan prinsip-prinsip pertanian permakultur, yaitu menanam tumbuhan secara organik, tanpa obat kimia dan penyemprotan pestisida.

Saat ini, katanya, dunia kembali ke pertanian permakultur, karena pertanian modern telah membahayakan kesehatan manusia dan bumi. “Suku-suku Papua sudah mempraktikkan ini sejak ratusan tahun lalu. Mereka bukan hanya konsumen, setiap suku Papua adalah produsen,” kata Daawia.

“Dengan mengonsumsi makanan lokal kita mengurangi jejak karbon yang dihasilkan dari polusi,” katanya.

Baginya, memakan pisang lebih ramah lingkungan daripada apel yang harus didatangkan dari Amerika. “Berapa polusi yang dikeluarkan dari asap pesawat sampai di antar dengan mobil ke toko-toko. Lebih baik uang kita belanjakan di mama-mama, kita dapat makanan sehat karena tidak pakai pupuk (kimia),” katanya.

Menurut dia, orang Papua mampu melawan krisis pangan saat pandemi COVID-19 ketika orang-orang di Papua mau mengkonsumsi pangan lokal, seperti ubi-ubian dan sagu yang berlimpah.

“Kalau beras bisa saja mungkin jadi masalah karena stok beras dari luar Papua, sementara angkutan transportasi ada pembatasan selama pandemi,” katanya.

 

 

Keterangan foto utama: Pisang, salah satu sumber pangan yang banyak ditanam orang Papua. Foto: Yan Legowan

 

 

Exit mobile version