Mongabay.co.id

Yusuf Sangadji dan Semangat Pancasila dalam Penyelamatan Ekosistem Terumbu Karang

 

Menjaga wilayah pesisir bukanlah menjadi pekerjaan yang mudah untuk dilakukan di masa sekarang, di mana masyarakat lebih tertarik untuk menerapkan gaya hidup modern. Perhatian terhadap lingkungan pesisir bahkan cenderung diabaikan dan ditinggalkan oleh masyarakat yang hidup dan tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pengalaman seperti itu dirasakan oleh M Yusuf Sangadji, pendiri sekaligus Ketua Karang Nusantara yang berbasis di Ambon, Maluku. Dia membagikan pengalamannya tersebut dalam perbincangan khusus yang dilaksanakan secara virtual oleh Mongabay pada Minggu (31/5/2020).

Menurut dia, menjaga kelestarian ekosistem pesisir seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab bersama yang dilakukan tanpa memandang batas usia, suku, ataupun agama. Selama ini tinggal di Indonesia, maka semangat untuk menjaga kelestarian harus terus ada dan disuarakan.

“Itu yang sering saya temukan saat sedang menyelam. Karang yang rusak, masyarakat yang tidak peduli, dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dengan peledak, adalah bagian dari temuan-temuan yang saya saksikan sendiri,” ungkapnya.

baca : Sisi Positif Wabah Corona Bagi Terumbu Karang Indonesia

 

Hasil transplantasi terumbu karang dalam program adopsi terumbu karang oleh komunitas Karang Nusantara, Ambon, Maluku. Foto : Karang Nusantara

 

Yusuf menceritakan, dari pengalaman-pengalaman yang sering dirasakannya secara langsung, ada kesimpulan yang bisa jadi menjadi gambaran secara umum di masyarakat Indonesia. Kesimpulan itu, tidak lain adalah adanya pemahaman di masayarakat yang meyakini bahwa pengelolaan kawasan pesisir menjadi tanggung jawab dari masyarakat pesisir.

“Sementara, mereka yang tinggal di luar (kawasan) pesisir, tidak lagi memiliki kewajiban itu. Jelas itu pemahaman yang salah,” tutur pria yang lahir dan besar di Desa Rohomoni, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah.

Semakin sering Yusuf menyelam di salah satu wilayah perairan, semakin sering pula dia menemukan ketidaknyamanan di lingkungan tempat dia menyelam maupun lingkungan tempat masyarakat tinggal. Dari situ, tekad untuk melakukan penyelamatan ekosistem pesisis semakin menggelora dirasakan di dalam dirinya.

Mengingat kegiatan menyelam menjadi hobi yang memberikan manfaat banyak untuk dirinya dan juga pendidikan tinggi yang sedang ditempuhnya, Yusuf kemudian membulatkan tekad untuk memilih ekosistem terumbu karang sebagai objek utama penyelamatan lingkungan pesisir.

“Sebelumnya saya menyelam itu hanya untuk kesenangan, kegiatan fotografi juga. Tapi kemudian menyelam menjadi kegiatan serius untuk melihat sejauh mana kondisi ekosistem terumbu karangnya dan bagaimana upaya penyelamatannya jika ada yang mengalami degradasi,” jelasnya.

baca juga : Begini Tantangan Konservasi Terumbu Karang di Saat Pandemi

 

Hasil transplantasi terumbu karang dalam program adopsi terumbu karang oleh komunitas Karang Nusantara, Ambon, Maluku. Foto : Karang Nusantara

 

Kesadaran untuk melaksanakan konservasi terumbu karang yang terus tumbuh di dalam diri Yusuf, semakin menguatkan tekad untuk membangun satu gerakan yang bisa membangun kesadaran bersama masyarakat pesisir yang tinggal di perkotaan, baik yang sekolah ataupuh tidak menyeman pendidikan.

“Untuk sama-sama memperharikan keberlanjutan (ekosistem pesisir) kita,” tegas pria yang menempuh pendidikan di Universitas Pattimura, Ambon itu.

 

Gerakan Pancasila

Di saat yang sama, Indonesia pada 2018 sedang memperingati hari kelahiran Pancasila yang berlangsung pada 1 Juni. Momen tersebut dijadikan fondasi untuk melahirkan gerakan komunitas Karang Nusantara, karena Yusuf ingin menjadikan isu konservasi sebagai bagian dari gerakan kecintaan kepada Pancasila, ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah terbentuk Karang Nusantara, misi berikut yang ingin diwujudkan adalah menggelar kegiatan pendidikan bahari yang menjadi bagian dari pendidikan non formal. Kegiatan tersebut diharapkan bisa menumbuhkembangkan kesadaran anak-anak dan generasi muda lain pada ekosistem terumbu karang yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.

baca juga : Menumbuhkan Karang dan Memberdayakan Masyarakat di Kapoposang

 

Pengukuran terumbu karang hasil transplantasi oleh komunitas Karang Nusantara. Foto : Karang Nusantara

 

Dalam melaksanakan kegiatan pendidikan bahari, Karang Nusantara melibatkan banyak relawan untuk memberikan materi pembelajaran kepada siswa yang berasal dari kampung pesisir. Berkat ketekunan pula, hingga sekarang sudah ada 37 orang siswa yang berasal dari berbagai kampung pesisir.

“Ini adalah pendidikan alternatif bagi anak-anak pesisir. Habitat mereka sebenarnya, bisa bermain sambil belajar. Kami ingin mengembalikan jati diri mereka sebagai anak pesisir,” tegas dia.

Sebagai gerakan komunitas, Yusuf mengakui kalau pendanaan untuk berbagai kegiatan di lapangan masih harus mengandalkan kantong dana pribadi yang berasal dari tim Karang Nusantara yang terdiri dari delapan orang. Kemudian, bergantung juga kepada para pengadopsi (adopter) kegiatan transplantasi karang.

“Sampai sekarang sudah lima kali kegiatan transplantasi karang dilaksanakan dan melibatkan 165 adopter,” jelas dia.

Program transplantasi karang sendiri menggunakan prinsip “dari, oleh, dan untuk”, yang berarti bahwa kegiatan tersebut memang diperuntukkan bagi masyarakat. Melalui kegiatan tersebut, masyarakat diajak untuk ikut menjaga dan melestarikan terumbu karang yang ada di wilayah pesisir yang menjadi lokasi sekitar tempat tinggal mereka.

Gerakan tersebut, dikemas dalam sebuah kegiatan transplantasi karang dengan konsep adopsi satu bibit karang. Adapun, kegiatan transplantasi karang yang dilakukan oleh Karang Nusantara mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 24 Tahun 2016 tentang Tata Cara Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Pada kesempatan yang sama, Yusuf juga berbicara tentang pemanfaatan karang hidup untuk dijadikan sebagai bibit transplantasi yang menjadi bagian dari progam Karang Nusantara. Bagi dia, kegiatan pemanfaatan tersebut tidak menjadi masalah jika dilaksanakan mengikuti acuan peraturan dari Pemerintah dan juga lembaga konservasi dunia dan Indonesia.

“Tetapi, jika itu tidak mengikuti acuan aturan, juga bisa memicu kerusakan karang dan bahkan ekosistem terumbu karang, maka pemanfaatan untuk pengambilan bibit juga menjadi kegiatan tidak baik,” tegas dia.

perlu dibaca : Kaka Slank Gak Bisa Jauh dari Laut

 

Pengukuran terumbu karang hasil transplantasi oleh komunitas Karang Nusantara. Foto : Karang Nusantara

 

Terumbu dan Karang

Diketahui, pada akhir 2018 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis data terbaru status terumbu karang dan diterbitkan dalam sebuah buku. Dalam buku tersebut, dijelaskan tentang pemahaman terumbu karang dan karang yang sering kali disalahartikan oleh masyarakat luas.

Buku yang ditulis oleh para peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) itu menjelaskan bahwa terumbu karang adalag sebuah eksosistem komplek yang dibangun utamanya oleh biota penghias kapur (terutama karang) bersama biota lain yang hidup did asar dan di kolom air.

Sedangkan, karang adalah hewan laut yang mempunyai sel penyengat atau dikenal Cnidaria (cnido : penyengat). Karang keras secara spesifik masuk ke dalam Kelas Anthozoa dan Ordo Scleractinia. Di Indonesia, jumlah karang yang ada adalah 83 genera dengan total jenis 569. Jumlah ini mewakili sekitar 76 persen genera dan 69 persen jenis karang yang ada di dunia.

Sampai saat ini, banyak anggapan di masyarakat awam yang meyakini kalau karang adalah benda mati yang berbentuk batu di dalam perairan laut. Itu kenapa, LIPI menyebut kalau eksploitasi karang untuk dijadikan material fondasi bangunan sampai sekarang masih terus berlangsung.

Karang keras pada umumnya adalah berbentuk koloni, yaitu kumpulan dari banyak individu. Dalam hal ini, satu individu karang diwakili oleh satu polyp yang tersusun atas saluran pencernaan yang sederhana dan tiga lapisan tubuh. Untuk tegaknya seluruh jaringan, polyp didukung oleh kerangka kapur yang merupakan hasil sekresi.

Kerangka kapur ini diendapkan di bawah dan membentuk pola/alur yang berbeda antara jenisnya. Pola dan bentuk dari kerangka kapur inilah yang menjadi dasar penamaan jenis-jenis karang secara konvensional. Hal ini juga berlaku untuk karang yang soliter (hanya terdiri dari satu polyp saja).

Sebagai hewan, karang memperoleh energinya dari makanan yang ditangkap oleh tentakel-tentakel di sekitar mulutnya. Selain itu, karena proses evolusi yang panjang, karang bersimbiosis dengan alga bersel satu (Symbiodinium) yang mampu berfotosintesis sehingga karang dapat memperoleh lebih banyak energi dengan memanfaatkan sinar matahari.

 

Pengukuran terumbu karang hasil transplantasi oleh komunitas Karang Nusantara. Foto : Karang Nusantara

 

Dengan cara-cara demikian, karang mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Pada kondisi normal, karang dapat mencapai pertumbuhan hingga sekitar 2 sentimeter per tahun untuk karang massive dan 10 cm untuk karang bercabang.

“Pertumbuhan karang umumnya lebih banyak terjadi pada bagian bagian tepi dari karang, sedangkan bagian tengah umumnya untuk reproduksi,” demikian salah satu kutipan dalam buku “Status Terumbu Karang 2018”.

Adapun, karang diketahui bisa bereproduksi baik secara seksual maupun aseksual. Reproduksi seksual terjadi melalui pertemuan antara sel telur dan sperma baik itu di kolom air (untuk karang-karang tipe spawner) ataupun di dalam tubuh karang (untuk karang-karang tipe brooder).

Secara aseksual karang berkembang dengan membentuk tunas, baik di dalam maupun di luar individu lama. Kemudian, karang juga dapat ditransplantasi, yaitu dengan mengambil sebagian tubuh dari karang untuk ditanam menjadi koloni atau individu baru.

 

Exit mobile version