Mongabay.co.id

Sisi Positif Wabah Corona Bagi Terumbu Karang Indonesia

 

Pandemi COVID-19, ternyata tidak hanya membawa pengaruh besar terhadap kehidupan manusia saja, tetapi juga berdampak pada kehidupan alam sekitar. Tidak hanya dampak negatif, pandemi COVID-19 juga membawa dampak positif.

Dampak positif wabah corona tidak hanya terjadi di daratan, tetapi juga di lautan. Pandemi COVID-19 membuat industri pariwisata, khususnya wisata bahari dan wisata selam terhenti. Kebijakan larangan kunjungan wisatawan mancanegara menyebabkan sektor pariwisata mati suri. Termasuk di Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan bentang laut yang lebih luas dari daratannya, Indonesia mempunyai potensi laut yang sangat luar biasa. Baik dari sektor industri perikanannya, maupun wisata bahari, termasuk di dalamnya wisata bawah laut.

Potensi wisata bawah laut Indonesia dengan kekayaan hayatinya sudah tidak diragukan lagi. Spot-spot diving di Indonesia masuk ke dalam destinasi wisatawan manca negara. beberapa spot diving bahkan tidak pernah sepi dari pengunjung, seperti obyek bangkai kapal USAT Liberty di Desa Tulamben, Kabupaten Karangasem, Bali. Pada masa sebelum wabah melanda, ketika musim liburan, tidak kurang dari 300 orang per hari yang menyelam di tempat ini.

baca : Begini Tantangan Konservasi Terumbu Karang di Saat Pandemi

 

Kegiatan monitoring organisasi pemandu selam di Tulamben merekam keanekaragaman hayati bawah laut. Foto: OPST/Mongabay Indonesia

 

Di satu sisi wisata selam ini memberdayakan ekonomi bagi masyarakat setempat, tetapi di sisi lain banyaknya orang yang menyelam dalam satu waktu, akan sulit dalam melakukan pengawasan. Kerusakan terumbu karang terjadi karena kemampuan penyelam yang kurang baik. Belum lagi ditambah dengan coral bleaching karena pengaruh pemanasan global.

Tidak adanya aktivitas wisata selam selama wabah corona dan oknum yang secara tidak sengaja ataupun sengaja, melakukan perusakan terhadap ekosistem bawah laut, membuat biota laut termasuk terumbu karang seakan bisa ‘bernafas’.

Belum ada data akurat tentang pertumbuhan terumbu karang selama masa pandemi COVID-19 karena aktivitas penyelaman untuk wisata dan pemantuan terumbu karang disarankan dihentikan untuk mencegah penyebaran COVID-19.

“Dengan berhentinya pariwisata pada masa pandemi ini, di lain pihak justru mendatangkan hal positif bagi ekositem laut. Walaupun belum bisa dilihat secara signifikan pada pertumbuhan terumbu karang, dikarenakan pertumbuhan terumbu karang yang cukup lambat, tetapi setidaknya dari sisi biota laut lainnya seperti stabilitas ikan yang hidup di dalamnya, bisa memberikan ruang kesempatan kepada mereka untuk tidak diganggu maupun diintervensi oleh kehadiran manusia di ekosistem bawah laut itu. Setidaknya bisa mengurangi tingkat stres atau tekanan yang biasa terjadi ketika wisatawan memadati spot diving, pada masa sebelum pandemi,” kata Marthen Welly, Marine Conservation Advisor Coral Triangle Center, ketika dihubungi Mongabay Indonesia, Kamis (30/4/2020).

baca juga : Menumbuhkan Karang dan Memberdayakan Masyarakat di Kapoposang

 

Schoolling glassfish di perairan Secret Bay, Bali. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Walau nanti kondisi pandemi berakhir, Marthen berharap kondisi laut seperti itu tetap terjaga, misalnya dengan pembatasan kuota penyelam pada satu tempat dan waktu.

“Ada beberapa metode yang dipakai untuk melihat hal itu, santara lain carring capacity dan a LAC (limited acceptable change) atau berapa sih suatu wilayah menerima perubahan yang terjadi. Misalnya jika sekarang tutupan terumbu karang 60%, maka wilayah itu akan bisa terus menerima jumlah wisatawan, dengan toleransi penurunan sebaran terumbu karang sebanyak 10%. Jika sudah mencapai 20%, maka kehadiran wisatawan selam harus dihentikan untuk sementara terlebih dahulu, sampai sebarannya kembali ke 60% lagi. Selain itu ada lagi studi karakteristik wilayah. Ini karena setiap tempat mempunyai karakteristik yang berbeda,” katanya.

Marthen mengatakan ada tiga aspek aspek yang perlu diperhatikan dalam studi ini.

  1. Aspek fisik, misalnya, Dalam suatu luasan wilayah tertentu, akan dilihat berapa jumlah orang penyelam dan kapal yang layak melakukan aktivitas di wilayah tersebut tanpa menyebabkan kerusakan biota lautnya
  2. Aspek sosial dengan persepsi. Melakukan jajak pendapat kepada wisatawan dan dive operatornya tentang kelayakan dan kenyamanan dalam melakukan penyelaman
  3. Aspek ekonomi. Ratio kecukupan ekonomi para dive operator dibandingkan dengan keberlangsungan ekosistem laut

Baru kemudian bisa didapatkan hitung-hitungan kuota penyelam yang pasti untuk suatu wilayah penyelaman, dalam rangka menjaga keberlangsungan dan pelestarian ekosistem laut. Studi ini sudah dilakukan di kawasan penyelaman Cristal Bay, Nusa Penida Bali. Dan didapatkan hasil sekali penyelaman dalam satu waktu, idealnya hanya diperbolehkan maksimal 10 kapal atau 40 orang. “Dan jika lebih dari itu sudah tidak nyaman dan menyebabkan gangguan terhadap kehidupan biota laut ,” katanya.

baca juga : Begini Dampak Pandemi Bagi Masyarakat di Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Timur

 

Transplantasi terumbu karang di manado, Sulawesi Utara. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Keadaan wabah ini, selain memberikan kebaikan kepada alam, ternyata juga ada eksplorasi ikan yang berlebihan oleh para nelayan tradisional pada zona-zona konservasi yang sebelumnya tidak pernah dilakukan karena adanya kontrol pengawasan dari dive operator dan wisatawan selam. Saat ini ketika tidak adanya bantuan pengawasan dari para pelaku wisata bahari, rupanya dimanfaatkan oleh para oknum nelayan untuk mencari ikan di zona terlarang.

Sedangkan Nyoman Suastika, pendiri Organisasi Pemandu Selam Tulamben (OPST) dan tokoh pemandu selam lokal di pusat wisata penyelaman Tulamben, Kabupaten Karangasem merasa gundah. Sejak Maret, masa karantina pembatasan aktivitas dimulai, ia belum bisa menyelam lagi untuk mengamati dan merawat struktur-struktur transplantasi karangnya di sejumlah titik penyelaman.

Pantai dan aktivitas penyelaman ditutup. Sementara ia sudah melihat ada pemutihan di sejumlah karang. “Aktivitas penyelaman tidak ada, perusakan karang minim. Tapi cuaca panas pasti berpengaruh pada karang, suhu air naik, dan kemungkinan bleaching. Sayangnya tak bisa diving ngecek langsung,” sebutnya dihubungi Jumat (8/5/2020). Ia mengatakan suhu air laut mencapai 30-31 derajat celcius.

 

Seorang penyelam sedang bersiap untuk menyelam. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pemanfaatan Zona Konservasi

Nelayan di masa pendemi adalah salah satu yang juga terkena dampaknya. Adanya pembatasan pergerakan orang menyebabkan distribusi industri ikan melambat dan kegiatan melaut yang berkurang, beberapa nelayan justru memanfaatkan rendahnya pengawasan di laut, dengan mencari ikan di zona-zona konservasi. Kemampuan ekonomi yang menurun di masa pandemic ini menjadi salah satu alasan para nelayan melakukan hal itu.

Zona yang diperbolehkan untuk mencari ikan berada jauh di tengah laut, dan itu jelas akan memakan biaya yang tidak sedikit untuk bahan bakarnya, sehinga sangat menyulitkan nelayan pada masa wabah. Akhirnya mereka melakukan pencarian di zona konservasi yang letaknya tidak terlalu jauh dari daratan.

”Di masa wabah ini, operasi pengawasan tetap di lakukan di wilayah kami paling tidak 2x dalam seminggu, tetapi pendekatan yang dilakukan adalah persuasif. Ini mengingat tekanan yang dialami oleh para nelayan di masa wabah ini. Toleransi kami berikan dengan syarat-syarat tertentu, seperti tidak melakukan pengeboman, pembiusan, dan alat tangkap bubu ataupun kompresor. Itu pun hanya 2 kali seminggu di zona perikanan berkelanjutan dan pencariannya dikawal oleh petugas,” kata Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang Ikram M. Sangaji saat dihubungi Mongabay Indonesia, Jumat (8/5/2020)

 

Kapal yang membawa penyelam di perairan Pulau Bunaken, Teluk Manado, Sulawesi Utara. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Ikram mengatakan sedikit toleransi ini diberlakukan agar nelayan bisa bertahan hidup. “Memang ada indikasi pengeboman di beberapa wilayah , tetapi itu dilakukan oleh kapal-kapal dari luar wilayah kami. Dan kami juga sudah melakukan koordinasi dengan polisi serta aparat terkait untuk pengamanannya,” katanya.

Di wilayah kawasan konservasi perairan nasional kupang ini juga dilakukan beberapa kebijakan kepada para wisatawan yang terjebak di masa pandemicini, dan tidak bisa pulang ke negaranya, seperti diperbolehkannya melakukan aktivitas snorkeling hanya 3 jam per harinya. Walaupun kegiatan diving masih belum diperbolehkan.

“Kondisi ekosistem bawah laut, setelah kami melakukan monitoring, mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik. Yang dikuatirkan sekarang terhadap keberlangsungan biota laut adalah suhu yang semakin meninggi. Suhu yang tinggi adalah salah satu penyebab utama pemutihan terumbu karang,” kata Ikram..

Beberapa kebijakan memang sangat dibutuhkan untuk menghadapi pandemi ini bersama, salah satunya adalah dukungan bagi kebutuhan pelaku wisata bahari dan keberlangsungan alam.

“Pemerintah mungkin bisa melakukan beberapa kebijakan untuk meringankan tekanan hidup yang di alami para pelaku wisata bahari dan nelayan, salah satunya adalah keringanan harga listrik, yang walaupun tidak termasuk ke dalam listrik subsidi, tetapi ketika pemasukan 0%, maka itu menjadi sangat berat. Pemakaian Listrik tidak otomatis berhenti ketika wabah melanda. Misalnya listrik untuk keperluan transplantasi terumbu karang, yang harus tetap berjalan,” kata Ricky ismail Saputra, Ketua Perkumpulan Usaha Wisata Selam Indonesia (PUWSI) yang dihubungi Mongabay Indonesia, Senin (4/5/2020).

 

Exit mobile version