Mongabay.co.id

Arbitrase sebagai Jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Konflik Lingkungan

Seiring perkembangan zaman dan maraknya kegiatan berusaha, potensi terjadinya sengketa hingga konflik pun menjadi semakin tinggi. Ini dapat melibatkan berbagai pihak, seperti  korporasi, warga, dan pemerintah. Beragam sengketa yang ada berujung pada pertanyaan: Adakah mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat, namun tetap menjunjung keadilan hukum?

Hal ini secara khusus juga menyangkut kasus-kasus dalam sektor lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang bersandar pada prinsip utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup.

Di sisi lain penyelesaian kasus melalui jalur pidana semakin lama prosesnya dan berbiaya tinggi. Jumlah kasus  yang ditangani pun menumpuk banyak. Dari kondisi ini, maka peran strategis muncul dari jalur arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa.

Mengacu pada Pasal 1 ayat (1) UU Nomor UU Nomor 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka arbitrase adalah  sebuah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum, yang didasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang saling bersengketa.

Alternatif ini menjadi lebih banyak diminati pelaku bisnis karena beberapa hal, antara lain karena lebih efisien (baik dari sisi waktu maupun biaya) dan menerapkan prinsip win-win solution.

Baca juga: Mediasi dalam Pusaran Konflik Agraria

 

Konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan sering terjadi di Indonesia, akankah jalur arbitrase dapat menjadi alternatif jitu yang  menghasilkan putusan yang adil bagi para pihak bersengketa? Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Konsepsi dan Regulasi

Konsep resolusi konflik memiliki tiga pendekatan, yaitu politik, administrasi dan judisial (Baiquni, M dan Rijanta, R., 2008).

Pertama pendekatan politik, dilakukan melalui lembaga-lembaga politik yang dibuat melalui proses pemilihan, yang melibatkan masyarakat melalui lobi dan penggunaan pengaruh orang atau tokoh tertentu.

Kedua pendekatan administratif, merupakan proses resolusi konflik melalui suatu proses dan mengikuti aturan birokrasi tertentu, yang hanya sesuai untuk solusi konflik-konflik yang sifatnya rutin dalam jajaran administrasi.

Ketiga pendekatan judisial,  yang dilakukan melalui jalur hukum di pengadilan yang akan menghasilkan pihak pemenang dan pihak yang kalah serta biasanya akan memakan waktu yang panjang.

Namun, ketiga pendekatan di atas seringkali tidak dapat dimanfaatkan secara efektif untuk resolusi konflik sumberdaya yang sifatnya meluas, kompleks, dan banyak stakeholders. Oleh karena itu ada juga pendekatan alternatif yang sekarang banyak dianut untuk penyelesaian konflik di berbagai bagian dunia.

Pendekatan alternatif dalam penyelesaian konflik sumberdaya tersebut adalah yang disebut negosiasi,  mediasi dan arbitrase.

Proses persidangan dan putusan arbitrase pun bersifat rahasia sehingga tidak dipublikasikan, tetapi tetap bersifat final dan mengikat. Di samping itu, arbiter yang ditunjuk sebagai pemeriksa perkara pun merupakan seorang yang ahli dalam permasalahan yang disengketakan, sehingga dapat memberikan penilaian lebih matang dan objektif.

Adapun macam sengketa yang akan diselesaikan melalui arbitrase harus memenuhi syarat, yaitu kedua pihak yang bersengketa setuju untuk menyelesaikannya melalui arbitrase. Dengan demikian, sengketa tidak akan dilanjutkan ke lembaga peradilan.

Persetujuan ini dilampirkan dalam klausula arbitrase, baik yang dibuat sebelum munculnya perselisihan maupun setelahnya.

Pihak-pihak yang bersengkata dalam klausula arbitrasenya juga harus menyertakan, apakah penyelesaian kasus ini akan dilaksanakan secara lembaga (institusional) atau ad hoc. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, sehingga tidak dimungkinkan upaya hukum banding atau kasasi.

Pasal 53 UU Nomor 30/1999 menyebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apa pun. Sedangkan dalam Pasal 60 secara tegas disebutkan: “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.”

Baca juga: Pemerintah akan Bentuk Divisi Penanganan Konflik Agraria Lintas Kementerian dan Lembaga

 

Konflik agraria dan sosial terkait sumberdaya alam dapat dilakukan lewat jalur arbitrase. Ilustrasi konflik antara warga Takalar, Sulsel dengan pihak PTPN XIV yang telah berlangsung sejak 2007. Sejumlah lahan warga yang telah ditanami dibongkar paksa menggunakan alat berat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Strategi Optimalisasi

Lingkungan adalah penjamin keberlanjutan pembangunan. Konflik lingkungan dengan demikian cukup mengkhawatirkan bagi masa depan bangsa. Resolusi yang berkeadilan menjadi harga mati demi kebaikan bersama ke depannya.

Dengan alasan itu, -maka jika jalur arbitrase dalam penyelesaian sengketa lingkungan dipilih, ia memerlukan strategi optimalisasi, sebagai berikut:

Pertama, sosialisasi  mesti digencarkan ke publik. Arbitrase umumnya baru digunakan sektor swasta. Warga masyarakat penting menjadi prioritas  sasaran sosialisasi. Selama ini warga merasa kesulitan jika melakukan gugatan menggunakan jalur peradilan umum.

Selain membutuhkan advokasi kuat, jalur pengadilan juga rawan terbalik dengan pencemaran nama baik kepada warga.

Kedua, penguatan regulasi terkait arbitrase. Arbitrase meskipun sebagai alternatif penting dikuatkan fungsinya. Pemberian efek jera mesti diprioritaskan arbiter. Selama ini sektor swasta lebih memilih arbitrase selain cepat dan murah, vonisnya juga umumnya sebagian besar berupa denda.

Vonis arbitrase pun, -meski berupa denda, mesti mengguna perhitungan rinci yang memberikan efek jera. Perkembangan pemidanaan bagi pelaku perusak lingkungan, baik individu maupun korporasi mesti diimbangi juga oleh lajur arbitrase. Untuk itu, revisi regulasi, dalam hal ini  UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, penting dilakukan.

Ketiga, adalah komitmen pelaksanaan vonis. Pemerintah selama ini masih dianggap lemah dalam komitmen ini jika berada sebagai pihak yang kalah. Eksekusi arbitrase penting lebih dimudahkan tidak harus melalui MA atau tidak harus ada klausul mengganggu ketertiban umum.

Terobosan lain dapat memasukkan salah satu arbiter dari unsur hakim. Sehingga vonis arbitrase tidak diragukan lagi kualitasnya.

Keempat, adalah prioritas perhatian kepada kepentingan publik dan penyelamatan lingkungan. Warga mesti dimudahkan dalam mengakses jalur arbitrase. Regulasi dapat mengakomodasinya misal dengan menyediakan layanan gratis kepada warga miskin yang berperkara.

Penguatan arbitrase bidang lingkungan pun mesti dilaksanakan dengan penyediaan arbiter dari pakar atau praktisi lingkungan hidup.

Kelima, publik dan  pemerintah mesti memanfaatkan jalur arbitrase dalam menyasar korporasi perusak lingkungan. Pengajuan sengketa melalui arbitrase sebaiknya dilaksanakan sejak awal. Hal ini guna menghindari kerusakan lingkungan yang terlanjur parah.

Dengan semakin banyaknya para pihak bersengketa yang memilih alternatif jalur arbitrase, maka sudah waktunya perbaikan dan penguatan arbitrase dilakukan. Regulasi mesti memadai dan sumberdaya pendukungnya mesti tersedia secara berkualitas.

 

Ribut Lupiyanto, penulis adalah Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration). Artikel ini adalah opini dari penulis.

 

Exit mobile version