Mongabay.co.id

Dengan Metode OECM, Pemerintah Perbanyak Fungsi Konservasi Perairan Laut Indonesia

Maluku Utara, baru saja memiliki tiga kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi ini guna memastikan ekosistem laut terjaga dan sumber laut dapat terkelola berkelanjutan oleh masyarakat, salah satu mencegah pengeboman ikan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Penerapan metode other effective area-based conservation measures (OECM) dinilai sangat relevan dan penting untuk diterapkan di Indonesia, di mana luas wilayah perairan lebih luas dari wilayah daratan. Dengan metode tersebut, upaya konservasi sumber daya kelautan bisa tetap diterapkan dengan memperhatikan beberapa hal.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Andi Rusandi menjelaskan dengan segala manfaatnya, pihaknya terus mendorong agar metode OECM bisa diterapkan di wilayah perairan Indonesia, terutama yang tidak masuk dalam kawasan konservasi perairan.

“OECM dalam konteks Indonesia dapat diterapkan secara lebih fleksibel dalam hal definisi kriterianya. Walau implikasinya tidak semua OECM Indonesia nantinya dapat didepositkan di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa),” jelasnya dalam keterangan resmi KKP yang dikirim kepada Mongabay, belum lama ini.

Adapun, penyesuaian yang bisa dilakukan jika OECM diterapkan di Indonesia, adalah mencakup kondisi geografi, keragaman dan luasan habitat perairan, serta konteks sosial ekonomi. Beberapa penyesuaian tersebut, bisa dilakukan dengan tetap memperhatikan sejumlah hal, terutama adanya aturan yang spesifik untuk penerapan OECM di Indonesia.

baca : Babak Baru Pengelolaan Wilayah Kelautan di Nusantara

 

Seorang penyelam di bawah perairan Desa Jemeluk, Karang asem, Bali. Foto : Wisuda

 

Andi menjelaskan tentang pengaturan lebih lanjut dari OECM adalah aturan untuk mewujudkan perlindungan sumber daya ikan dan lingkungan laut di sekitarnya.

Melalui pengaturan, itu akan memperkuat pengakuan dan dukungan Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan inisiatif dan juga upaya konservasi yang dilakukan oleh masyarakat umum dan pihak swasta. Selain itu, pengaturan OECM juga akan meningkatkan partisipasi dan kontribusi upaya konservasi dari semua pemangku kepentingan di luar Pemerintah.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Agus Dermawan mengatakan, perlunya Indonesia membuat pengaturan lebih lanjut, karena saat ini sudah ada teori dan konsep OECM secara global. Dengan demikian, jika ada pengaturan spesifik di Indonesia, itu akan mewujudkan pengelolaan menjadi lebih efektif.

“Dalam mendukung tujuan pelestarian sumber daya ikan dan keanekaragaman hayati,” jelas dia.

Adapun, pengaturan lebih spesifik yang dimaksud di antaranya adalah dukungan aspek regulasi yang jelas, aspek pengelolaan dan kelembagaan, serta penyusunan kriteria tujuan dan kegiatan yang termasuk dalam pendekatan OECM.

Selain untuk mendukung efektifitas pelaksanaan pengelolaan wilayah perairan Indonesia, Agus menyebutkan, pengaturan lebih lanjut untuk penerapan OECM di Indonesia perlu dibuat, karena bisa memperkuat capaian Aichi Target 11 yang menyebutkan bahwa luasan kawasan konservasi mencakup kawasan lindung formal (dikelola oleh negara) dan kawasan OECM.

Dalam konferensi para pihak (conference of parties/CoP) Convention Biological Diversity (CBD) ke-14 yang digelar pada 2018, negara anggota CBD didorong untuk bisa melaksanakan identifikasi lokasi wilayah perairan masing-masing yang layak untuk dijadikan kawasan dengan penerapan OECM.

Semua lokasi tersebut, kemudian disampaikan kepada World Environment Monitoring Center Programme PBB dan memasukkannya dalam pusat data dunia tentang kawasan lindung pada wilayah perairan laut.

baca juga : Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Harus Dilakukan Tepat, Seperti Apa?

 

Warga Nelayan, Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Malang, dan Sahabat Alam Indonesia bersinergi melakukan penanaman Fish Apartement. Hal itu dilakukan, salah satu bentuk upaya mengembalikan terumbu karang di Kondang Merak, Malang, Jatim. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Aryo Hanggono mengatakan, potensi keanekaragaman hayati laut yang ada di Nusantara saat ini menyebar di atas lautan seluas 325 juta hektare dan harus dijaga kelestariannya.

Untuk menjaga seluruh potensi tersebut, KKP melibatkan berbagai pihak yang kompeten pada bidangnya masing-masing, salah satunya LSM lingkungan Wildlife Conservation Society (WCS). Pelibatan WCS, menjadi bagian upaya mengelola kawasan berbasis wilayah namun dalam bentuk non kawasan konservasi.

Aryo mengungkapkan, pengelolaan OECM menjadi bagian dari target 11 untuk melindungi (konservasi) 10 persen wilayah pesisir dan laut, serta menjadikannya sebagai bagian dari kerangka kerja keanekaragaman hayati (biodiversity framework).

“OECM sendiri merupakan area selain dari kawasan lindung yang secara geografis ditetapkan, diatur dan dikelola melalui suatu cara/measure, dan dalam jangka panjang mencapai hasil yang positif dan berkelanjutan untuk konservasi keanekaragaman hayati,” ungkap dia belum lama ini.

Sebelum mengelola kawasan OECM, Aryo menyebutkan bahwa Indonesia sudah memiliki kawasan konservasi yang dikelola bersama antara KKP, KLHK, dan Pemprov. Namun dengan luas 23,14 juta ha yang ada sekarang, maka luas kawasan konservasi milik Indonesia baru mencapai 7,12 persen.

Untuk mencapai target 10 persen atau mencapai 30 juta ha, maka Indonesia memerlukan waktu minimal 10 tahun lagi dari sekarang. Pada tahun tersebut, diharapkan kawasan konservasi wilayah laut yang ada di Indonesia luasnya sudah mencapai target yang ditetapkan dari sekarang.

Di sisi lain, Aryo melihat pembahasan OECM di Indonesia sampai 2019 masih banyak terfokus pada kawasan darat. Sementara, untuk wilayah laut sampai 2019 tidak ada pembahasan yang jelas. Untuk itu, KKP merasa harus ikut serta untuk melaksanakan inisiasi proses pengelolaan keanekaragaman hayati laut berbasis wilayah dengan pendekatan OECM.

“Inisiasi dilakukan melalui diskusi dan sekaligus untuk menjaring masukan dan rekomendasi untuk modifikasi atau penyesuaian kriteria penilaian kelayakan OECM yang sesuai dengan konteks Indonesia,” tutur dia.

perlu dibaca : Indonesia Hadapi Tantangan Besar Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut, Seperti Apa?

 

KKP melalui BKKPN Kupang melaksanakan kegiatan konservasi sekaligus pemberdayaan masyarakat nelayan terdampak COVID-19 dengan kegiatan padat karya berupa rehabilitasi terumbu karang dengan metode spider di KWT Kapoposang, Kabupaten Pangkep, Sulsel. Foto: BKKPN Kupang/Mongabay Indonesia.

 

Terpisah, Fisheries Program Manager WCS Indonesia Irfan Yulianto menjelaskan bahwa pengelolaan dengan pendekatan OECM adalah pengelolaan wilayah yang tidak masuk dalam kawasan konservasi kelautan, namun masih memiliki dampak yang signifikan terhadap konservasi yang sudah ada di sekitarnya.

“Tujuan awalnya itu bisa konservasi atau tidak, namun dia bukan wilayah konservasi yang legal. Itu adalah sebuah wilayah yang dikelola bukan untuk konservasi, tapi berdampak pada konservasi,” papar dia.

Seluruh LSM tersebut ikut memberikan sumbangan pemikiran, karena salah satu fokus pembangunan ekonomi kelautan dan kemaritiman di Indonesia untuk rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah peningkatan pengelolaan kemaritiman dan kelautan.

Untuk mewujudkannya, Pemerintah Indonesia akan melaksanakan program kerja melalui peningkatan ekosistem kelautan dan pemanfaatan jasa kelautan; peningkatan pengelolaan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI, penataan ruang laut dan rencana zonasi pesisir; peningkatan produksi, produktivitas, standardisasi mutu dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan.

Kemudian, ada juga program kerja melalui peningkatan fasilitasi usaha, pembiayaan, dan akses perlindungan usaha kelautan dan perikanan; dan peningkatan sumber daya manusia (SDM), riset kemaritiman, dan kelautan, serta database kelautan dan perikanan.

Diketahui, Pemerintah Indonesia mengejar target penambahan kawasan konservasi perairan dari total luas 23,14 juta hektare menjadi minimal 30 juta ha pada 2030. Untuk kawasan konservasi yang sudah ada saat ini mencakup 196 kawasan konservasi yang dikelola bersama oleh KKP, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Pemerintah Provinsi.

Pentingnya menambah kawasan konservasi, karena Indonesia ingin menjalankan mandat konservasi dari komitmen global dalam Aichi Target dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) butir 14 yang menargetkan luas kawasan konservasi 10 persen dari luas perairan Indonesia pada 2020.

 

***

 

Keterangan foto utama : Maluku Utara, baru saja memiliki tiga kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi ini guna memastikan ekosistem laut terjaga dan sumber laut dapat terkelola berkelanjutan oleh masyarakat, salah satu mencegah pengeboman ikan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version