Mongabay.co.id

Hari Lingkungan Hidup: Melacak Pasien COVID-19 di Sekitar Gambut yang Sering Terbakar

 

 

Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2020, kita peringati saat Bumi diselimuti virus corona [COVID-19].

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, pasien COVID-19, ditemukan pada setiap wilayah yang selama ini mengalami kebakaran hutan dan lahan gambut [Karhutla] di Sumatera dan Kalimantan. Sebagian angkanya cukup tinggi, ini di luar Pulau Jawa dan Sulawesi.

Per 4 Juni 2020, berdasarkan data yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia, tercatat 1.056 kasus positif COVID-19 di Sumatera Selatan. Lima kabupaten yang selama ini langganan karhutla setiap tahun, mencatatkan sebagai daerah paling banyak ditemukan kasus positif corona.

Yakni Kabupaten Banyuasin dengan 76 kasus, Ogan Komering Ilir [OKI] dengan 61 kasus, Ogan Ilir dengan 54 kasus, Musirawas Utara [Muratara] dengan 22 kasus, dan Musi Banyuasin [Muba] dengan 16 kasus.

 

Kebakaran hutan dan lahan harus dicegah. Terlebih saat ini sedang pandemi corona [COVID-19]. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Banyuasin, OKI dan Ogan Ilir, masuk lima besar di Sumatera Selatan yang tinggi kasus positif COVID-19 selain Palembang [614 kasus] dan Kota Lubuklinggau [74 kasus].

Sebagai catatan, pada 2019, luas karhutla di OKI [91.665 hektar], Banyuasin [24.692 hektar], Ogan Ilir [13.730 hektar], Muba [11.851 hektar], dan Muratara [6.015 hektar].

Di Provinsi Jambi, Kabupaten Muaro Jambi yang rawa gambutnya terbakar setiap tahun juga ditemukan 11 kasus COVID-19. Jumlah ini lebih kecil dari Kota Jambi [27 kasus] dan Kabupaten Merangin [20 kasus]. Pada 2019, luasan karhutla di Muaro Jambi mencapai 14.942 hektar.

Di Provinsi Riau, sejumlah kabupaten yang menjadi langganan karhutla juga masuk lima besar wilayah terdampak corona. Kabupaten Bengkalis tercatat 10 pasien positif, setelah Pekanbaru [40 kasus] dan Dumai [18 kasus]. Pada 2019, karhutla di Bengkalis sekitar 13.598 hektar.

Selanjutnya Indragiri Hilir [8 kasus] dan Pelalawan [6 kasus]. Pada 2019, luas karhutla di Indragiri Hilir [13.441 hektar] dan Pelalawan [10.930 hektar].

Baca: Jika Hutan dan Lahan Terbakar, COVID-19 Kian Menyebar?

 

Memadamkan api di lahan yang terbakar merupakan pekerjaan berat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana Pulau Kalimantan? Kasus COVID-19 cukup tinggi di provinsi yang menjadi langganan karhutla di Kalimantan Selatan [1.142 kasus], Kalimantan Tengah [469 kasus], dan Kalimantan Barat [202 kasus]. Pada 2019, luasan karhutla di Kalimantan Selatan [11.950 hektar], Kalimantan Tengah [183.836 hektar], dan Kalimantan Barat [60.487 hektar].

Dari enam provinsi di Sumatera dan Kalimantan yang menjadi langganan karhutla, terutama di rawa gambut, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan menjadi provinsi yang paling banyak ditemukan kasus COVID-19, per 4 Juni 2020.

Urutannya Kalimantan Selatan [1.142 kasus], Sumatera Selatan [1.056 kasus], Kalimantan Tengah [469 kasus], Kalimantan Barat [202 kasus], Riau [117 kasus], dan Jambi [99 kasus].

Urutan ini tidak berbeda jauh dengan luasan karhutla yang mengganggu kesehatan dengan kabut asapnya, di enam provinsi tersebut selama lima tahun terakhir [2015-2019]. Urutannya, Sumatera Selatan [1,011 juta hektar], Kalimantan Tengah [956 ribu hektar], Kalimantan Selatan [443 ribu hektar], Kalimantan Barat [329 ribu hektar], Riau [250 ribu hektar], serta Jambi [182 ribu hektar].

Baca: Refleksi Pandemi Corona: Virus Menyerang Akibat Manusia Merusak Lingkungan

 

Kesehatan anak-anak sekolah dan masyarakat harus diperhatikan akibat asap yang ditimbulkan dari lahan yang terbakar. Terlebih saat virus corona masih berkecamuk. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perlu dikaji

Dr. Damayanti Buchori, Guru Besar IPB [Institut Pertanian Bogor], yang beberapa tahun memimpin proyek KELOLA Sendang [Sembilang-Dangku] di Sumatera Selatan, mengatakan perlu dikaji hubungan antara tingginya kasus COVID-19 dengan kabupaten yang selama ini langganan karhutla.

“Perbandingan itu menarik. Meskipun kita tahu kasus positif corona lebih tinggi di Pulau Jawa yang sama sekali jauh dari terdampak kabut asap akibat karhutla. Banyak faktor yang menimbulkan tingginya positif corona di suatu wilayah. Tapi menjadi menarik, karena sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan yang tidak pernah atau rendah karhutla-nya, angka positif COVID-19 relatif rendah, seperti di Pagaralam, Empat Lawang dan OKU [Ogan Komering Ulu] Selatan,” katanya, Rabu [03/6/2020].

“Tapi hal ini masih butuh kajian mendalam. Data yang diperbandingkan harus per desa. Termasuk pula apakah pasien positif corona itu memiliki penyakit terkait paru-paru, yang mungkin disebabkan kabut asap. Jumlahnya mungkin lebih besar dari yang dicatat pemerintah atau sebaliknya,” ujarnya.

Jika hasil kajian atau penelitian tersebut menunjukan pasien positif COVID-19 cukup tinggi di wilayah yang sering mengalami karhutla, “Itu membuktikan teori selama ini jika lingkungan sakit, maka manusia akan sakit. Jika lingkungan sehat, manusia bisa sehat dan sakit,” katanya.

“Artinya kerusakan lingkungan atau bentang alam selama ini menyebabkan imun manusia di sekitarnya menjadi rendah, kesehatannya terganggu. Akibatnya, rentan terpapar virus corona maupun virus atau penyakit lain,” ujarnya.

Penelitian itu juga dapat membuktikan para pasien COVID-19 yang menetap di kota, apakah mengalami gangguan paru-paru akibat kabut asap karhutla yang berlangsung selama ini. Sebab Palembang, Jambi, Pekanbaru, Palangkaraya, Banjarmasin, dan Pontianak, hampir setiap tahun warga terpapar kabut asap akibat karhutla yang terjadi di sekitarnya.

Baca: Virus Corona dan Kesehatan Mental Kita

 

Rawa gambut harus dikelola dengan baik, jangan sampai terbakar akibat salah pemanfaatan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Tanggapan berbeda disampaikan Dr. Zulfikhar, pakar gambut dari World Agroforestry [ICRAF]. “Sering gejala alam dan gejala sosial itu berjalan bersamaan pada wilayah yang sama, walau pada periode yang sama atau berbeda,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Rabu [03/6/2020].

“Para prediktor coba cari-cari hubungannya, padahal yang terjadi adalah A benar, B benar, tapi A dan B tidak ada hubungannya. Jadi, prediksinya tidak relevan dengan analisa statistiknya. Pertanyaannya, kenapa? Karakteristik sosial masyarakat yang terpapar COVID-19 berbeda dengan masyarakat miskin yang mengalami langsung kebakaran hutan dan lahan,” katanya.

Ini seperti orang berasumsi bahwa masyarakat kecil lebih rentan dan lebih banyak terpapar COVID-19. Faktanya di Jakarta, wilayah yang lebih banyak terpapar adalah Jakarta Selatan yang merupakan kawasan menengah ke atas, bukan Jakarta Utara yang relatif lebih padat, kumuh, dan miskin.

“Kedua wilayah yang diperbandingkan tersebut memiliki tingkat mobilitas dan transfer lokasi berbeda, yang merupakan faktor utama terjadinya penyebaran COVID-19,” katanya.

Baca: COVID-19 dan Hukum Lingkungan Era Antroposen

 

Kelelawar, satwa yang diduga awal pembawa virus corona. Penelitian mendalam harus dilakukan untuk menyibak tabir kebenarannya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Dampak kabut asap

Dr. Bambang Prayitno, pakar gambut dari Universitas Sriwijaya mengatakan, “Dampak kerusakan rawa gambut, baik dibuka maupun terbakar, mulai dari fisik, kimia dan biologi tanah, mengubah kondisi hidrologi dan iklim setempat. Flora dan fauna hilang, karbon tinggi, kondisi sosial ekonomi masyarakat berubah dan menjadi rendah, ikan dan hewan-hewan pun hilang,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Rabu [03/6/2020].

“Dan yang cukup penting adalah jasa lingkungan tidak ada, seperti tidak ada produksi oksigen untuk kebutuhan hidup manusia,” lanjutnya.

Selain itu, menurunnya ekonomi atau pendapatan masyarakat sekitar rawa gambut, juga berdampak pada kesehatan karena makanan dan minuman yang dikonsumsi terbatas dan tidak berkualitas. Kesehatan kian menurun, jika mereka tergantung dengan lingkungan setempat yang sudah rusak,” jelasnya.

Terkait tingginya kasus positif COVID-19 di wilayah yang selama ini sering mengalami kebakaran rawa gambut, dia menjelaskan, potensinya ada. Masyarakat dengan kekebalan tubuh dan kesehatan yang rendah sangat mudah terserang penyakit. Tetapi, terkait virus corona, tentunya harus ada kontak dengan yang sakit. Tapi sekali lagi, potensi cepat tertular cukup kuat karena kekebalan tubuh yang rendah.

“Kebakaran rawa gambut itu bukan hanya melepaskan karbon [CO2], juga gas lainnya yang berbahaya bagi kesehatan. Pada tanaman tersebut terdapat 6 unsur makro, dan 16 unsur mikro. Jika terbakar semua, terlepas kecuali karbon, yang jika terhisap manusia tentu berpengaruh bagi kesehatan, terutama paru-paru,” katanya.

Baca: Polusi Udara dan Kerentanan Terkena Virus Corona

 

Virus corona yang mewabah dan menimbulkan kecemasan masyarakat dunia. Ilustrasi virus corona: Alissa Eckert & Dan Higgins/Centers for Disease Control and Prevention

 

Dr. Najib Asmani, Ketua Yayasan Lanskap Berkelanjutan dan Mantan Ketua Tim Restorasi Gambut Daerah [TRGD] Sumatera Selatan, menuturkan sebenarnya gangguan kesehatan masyarakat di Sumatera Selatan akibat kabut asap sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu.

Berdasarkan data pelepasan karbon akibat kebakaran hutan dan rawa gambut pada 2009-2011, misalnya, Kabupaten OKI tercatat melepaskan karbon sekitar 2,307 juta ton. Lalu, Kabupaten Musi Banyuasin sekitar 3,728 juta ton, Banyuasin sekitar 1,807 juta ton, serta Ogan Ilir sekitar 106 ribun ton.

Semua karbon itu sebelum menguap ke lapisan ozon, sebagian besar terisap warga Palembang dan sekitar, yang menyebabkan gangguan kesehatan,” katanya.

Data tersebut mungkin jauh lebih kecil dibandingkan 2012-2020 yang saat ini belum dihitung. Apalagi, pada 2015 dan 2019 terjadi kebakaran rawa gambut cukup luas di kabupaten tersebut.

Prof dr Tjandra Yoga Aditama, saat menjabat Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan [P2PL] Kementerian Kesehatan RI, seperti dikutip dari Republika, menyebutkan ada delapan gangguan kesehatan terhadap manusia akibat kabut asap.

Misalnya, membuat kemampuan paru dan saluran pernapasan mengatasi infeksi berkurang, sehingga menyebabkan lebih mudah terjadi infeksi. Lainnya, menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan, serta menyebabkan reaksi alergi, peradangan dan mungkin juga infeksi, juga memperburuk penyakit asma dan paru kronis lainnya. Pada lansia dan anak-anak yang daya tahan tubuhnya rendah, rentan mendapatkan gangguan kesehatan.

Baca juga: Antisipasi Krisis Pangan di Masa Pandemi, Orang Papua Kembali ke Pangan Lokal

 

Bumi yang sejak akhir Desember 2019 hingga saat ini diselimuti virus corona. Ilustrasi: Miroslava Chrienova/Pixabay/Free for commercial use No attribution required

 

Revolusi mental

Jika ditemukan fakta tingginya pasien COVID-19 di wilayah yang bentang alam atau lingkungannya sudah rusak, baik kota maupun desa, maka pemerintah Indonesia harus menjadikannya sebagai momentum mengubah paradigma pembangunan.

“Inilah kesempatan Presiden Jokowi menjalankan revolusi mental yang pernah dicanangkannya. Yakni, mendorong perubahan paradigma bangsa Indonesia dalam menjalankan pembangunan. Paradigma pembangunan yang berkelanjutan,” kata Damayanti Buchori.

“Sebab, jika pembangunan tidak memperhatikan upaya perbaikan lingkungan, maka manusia Indonesia akan terus kewalahan menghadapi berbagai serangan penyakit di masa mendatang,” lanjutnya.

Revolusi mental itu, bukan hanya mendorong manusia beradaptasi dengan berbagai penyakit dengan menjalankan protokol kesehatan. Juga, memperbaiki kerusakan lingkungan sebagai sumber penyakit atau menyebabkan kekebalan tubuh manusia menurun.

Jika semata kepentingan ekonomi, yang mengakibatkan dampak lingkungan, sebenarnya yang harus dihitung bukan hanya pendapatan, tapi juga pengeluaran.

“Pemerintah harus mengkaji berapa besar biaya kesehatan yang dikeluarkan masyarakat di sekitar lingkungan rusak. Jangan-jangan, sebagian besar pendapatan ekonomi dari kegiatan ekonomi yang tidak ramah lingkungan, dikeluarkan untuk biaya kesehatan. Sulit terwujud manusia yang bahagia dengan kondisi itu,” katanya.

Najib Asmani memaparkan, penting sekali pemerintahan Jokowi membentuk badan lanskap berkelanjutan nasional. Tujuannya, memperbaiki lanskap atau bentang alam di Indonesia yang dapat dikatakan sebagian sudah berubah atau rusak. Upaya ini menjadi sebuah gerakan yang akan membangun paradigma baru dalam pembangunan di Indonesia.

“Lanskap berkelanjutan itu, nantinya menjaga keseimbangan lingkungan yang sehat dengan kepentingan ekonomi. Jika tidak, bentang alam kita dapat terus rusak dan memengaruhi kesehatan manusianya. Harus dipahami, manusia dapat beradaptasi dengan perubahan Bumi, juga didukung lingkungannya. Jika lingkungan rusak, tentu sulit bertahan hidup,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version