Mongabay.co.id

Sengketa Lahan di Maros, Warga Menang, Masalah Selesai?

Majelis Hakim saat sidang lapang sengketa lahan di Desa Salomatti, di Maros. Foto: LBH Makassar.

 

 

 

 

Nasrul Kadir, hakim ketua Pengadilan Negeri Maros, mengetuk palu, dan menyatakan kemenangan petani untuk status N.O (niet ontvankelijke verklaard) alias gugatan tak dapat diterima. Sidang pembacaan itu singkat saja, mulai pukul 13.44 dan pembacaan putusan tak memasuki pokok perkara. Sebanyak 20 petani yang menghadiri persidangan itu, terlihat bahagia. Mereka ada yang berpelukan dan mata mereka sembab.

Kemenangan petani, tidak sesederhana pembacaan putusan hakim pada 28 Mei 2020 itu. Sengketa petani di Salomatti, Desa Toddolimae, Maros, Sulawesi Selatan ini perkara rumit yang membuat kuasa hukum Edy Kurniawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, berkali-kali mengernyit kening.

Selebaran-selebaran dukungan yang beredar di sosial media, menduga para mafia tanahlah yang mengincar lahan-lahan produktif para petani.

Ada 28 petani tergugat. Luas lahan dikuasai warga mencapai 40 hektar. Penggugat mengklaim hingga pegunungan karst, dengan luas total 96 hektar. Lahan-lahan jadi lahan pertanian sawah basah sekali setahun, karena tadah hujan. Ada juga palawija, seperti jagung, kacang, dan singkong.

Tahun 2016, kawasan ini juga jadi incaran PT Counch, sebuah perusahaan semen dari Tiongkok, yang akan menambang untuk bahan baku semen.

Salomatti, adalah bagian dari gugusan bentang karst Maros-Pangkep seluas 44.000 hektar. Kawasan yang acapkali disebut sebagai sebuah spons, yang menyimpan kandungan air raksasa di dalam perut bumi.

Ketika tambang semen mulai survei dan Pemerintah Sulawesi Selatan serta Maros memberi respon baik, petani maupun beberapa lembaga swadaya masyarakat berangkul untuk menolak.

Warga kemudian inventarisasi sebaran titik mata air yang masuk dalam wilayah konsesi. Ada 13 buah titik mata air. Aliran-aliran mata air itu, meliuk dan mengalir hingga ke desa tetangga dan kecamatan tetangga.

Di Kecamatan Simbang, bahkan dari aliran itulah warga dapat menanam padi hingga dua kali setahun.

Akhirnya, perjuangan berbuah manis, Counch angkat kaki dan batal menambang, mereka malah pindah ke Barru, sekitar 80 kilometer dari pusat Kota Maros.

Bahagia sesaat, kehidupan berjalan normal kembali. Belakangan, ahli waris dari Daeng Sija, bernama Marring, tiba-tiba mengklaim kawasan yang tak jauh dari rencana awal Counch membangun pabrik, mengklaim kalau tanah itu kepunyaan mendiang ayah mereka.

Warga kembali bereaksi. Mereka menolak dan menyatakan itu klaim mengada-ngada. Daeng Sija dianggap tak pernah bermukim di kawasan itu, dan beberapa orang tua kampung tak mengenalnya.

Akhirnya, Pemerintah Desa Toddolimae menengahi. Diadakan musyawarah untuk menenangkan sengketa itu. Hasilnya, nihil tak ada kesepakatan. Penggugat meminta ada pembagian tanah, warga menolak.

Selanjutnya, di Kantor Kecamatan Tompobulu, kesepakatan pun tak ada. Pada 2019, DPRD Maros mengundang untuk rapat dengar pendapat, tak membuahkan kesepakatan.

Setelah itu, penggugat mengajukan sengketa ke pengadilan negeri. “Kenapa tidak ada kesepekatan, dan selalu beranggapan kalau itu memang benar lahan Daeng Sija, pertama, karena petani yang bersengketa tak pernah dihadirkan,” kata Alimuddin.

 

 

Petani Desa Salomatti menyambut senang dan haru usai mendengarkan putusan hakim di Pengadilan Negeri Maros.  Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Alimuddin, adalah warga yang bermukim di Salomatti. Dia mengelola lahan warisan keluarga dengan beternak ayam dan kambing. Dia bagian warga rumahnya dalam obyek sengketa.

“Apakah kami akan diam saja? Kalau kami melawan, tentu saja untuk anak generasi kami. Warga dan rakyat kecil seperti kami ini, hanya bisa bertahan,”

“Hampir tak ada yang bisa mendengar petani kecil.”

Di Salomatti, lahan sengketa itu dikenal juga dengan nama Lalangkawa. Berbatasan dengan hutan produksi, dan jalan utama desa. Di area sengketa itu, ada jalan tani. Pada masa lalu, tempat itu jadi lahan peternakan masa pemerintahan Hindia Belanda.

Areal itu juga jadi titik perburuan rusa. “Lalangkawa, itu seperti pagar kawat. Area itu pernah dipagari orang Belanda, karena untuk menghalau rusa agar lebih gampang diburu,” kata Alimuddin.

Subuh, kakek 70 tahun meyakini itu. Buyut dari Subuh inilah yang digelari Dato Matti. Bagi warga, kemungkinan buyut inilah bagian awal penghuni kampung. “Jadi, mungkin kalau dia kemana-kemana, ditanya dari mana asalnya. Dari Salomatti. Lalu jadilah dia dipanggil Dato Matti,” katanya.

Salomatti dalam terjemahan bebas Bugis adalah sungai yang bisa kering. Kampung ini memang memiliki sungai meliuk. Sungai yang dalam candaan warga sebagai sungai tadah hujan. Saat musim kemarau, mengering, musim hujan melimpah. Sungai ini, bukan urat nadi kehidupan warga, hanya jadi ciri khas wilayah. Pengairan bersumber dari beberapa titik mata air yang keluar dari dinding karst.

Salomatti jadi hulu beberapa anak sungai dengan debit air besar, itu jadi kajian belakangan warga untuk bertahan. “Kalau tanah kami diambil, kami hendak kemana?” kata Subuh.

Ketika ahli waris Daeng Sija menggugat, dia juga memasukkan Muajji, pengusaha tambang batu gunung di Desa Toddolimae. Tambang batu gunung itu mengupas batuan karst dan merontokkan jadi serpihan untuk batu pondasi rumah, hingga timbunan.

Jarak tambang batu itu, dengan lokasi sengketa Salomatti sekitar dua km. Muajji, hampir tak masuk dalam lingkaran pesakitan sebagai bagian dari warga yang tergugat. Dia tak pernah bersama 28 petani lain hadir dalam persidangan.

Dalam pemeriksaan Muajji, 12 Desember 2019, yang termuat dalam jawaban atas gugatan di Pengadilan Negeri Maros, dinyatakan dia mengakui kepemilikan tanah sengketa itu milik Daeng Sija dengan nama kepemilikan oleh istrinya Badjdje Binti Besse Po’ro.

Muajji berpegang pada alas hak kepemilikan berdasarkan surat Simana tahun 1940 hingga 1950. Surat tanda pendaftaran sementara tanah miliki Indonesia tertanggal 24 Desember 1958, dan surat urutan wajib pajak bumi dan bangunan (PBB), pada 12 Juni 1992. “Karena saya pernah mendengar dari mertua saya,” katanya, dalam jawaban gugatan.

Selain itu, Muajji juga pernah menjabat sebagai Kepala Dusun Tombolo (hingga 2016), pemekaran dari Dusun Salomatti. Jawaban lain dalam gugatan itu dinyatakan, pada 1984 ketika BPN Maros hendak mengukur dalam area sengketa itu dilarang. Keyakinannya, lahan itu dimiliki Daeng Sija.

Bagi dia, lahan yang masuk dalam obyek sengketa, hanya pemberian yang kapan saat dapat diambil oleh pemiliknya. “..Sehingga saya tak menerbitkan surat tanda kepemilikan atas lahan itu.”

Pemberian tanah garapan untuk Muajji bersumber dari seorang bernama Colle. “Belanda sudah pergi, jadi warga akhirnya beramai-ramai masuk. Collelah kemudian menginisiasi warga, untuk membuat irigasi sederhana agar dapat untuk pengairan,” kata Alimuddin.

“Bendungan itu sekarang sudah rusak. Artinya, masa itu, Belanda sudah pergi jadi warga masuk menggarap. Ataukah itu keliru?”

Colle meninggal sekitar 10 tahun lalu. Dia orang tua yang disegani. Kepada warga, dia selalu bertutur kalau lahan itu sudah ditinggalkan Belanda, jadi sangat tepat dikelola masyarakat. Colle punya anak bernama Daeng Bonto, yang jadi saksi oleh penggugat.

Daeng Bonto lahir 1953. Surat keterangan yang ditulis pada 6 Agustus 2018 dengan materai Rp6.000, menyatakan, kalau lahan sengketa itu benar milik Daeng Sija.

“Entah bagaimana, tiga tahun terakhir, semua berubah. Setelah Counch pergi, kami seperti terus dirundung soal. Apakah benar, tanah kami memang banyak yang mengincar?” kata Alimuddin.

Inilah yang ditengarai beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti Walhi Sulawesi Selatan, kemudian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, sebagai dugaan kongkalikong pengusaha tambang. LBH bahkan menyebar flayer-flayer di media sosial menerangkan hal itu.

Tulisannya: PETANI KARST MENJEMPUT KEADILAN DI TENGAH PANDEMI: “28 Petani di wilayah KARST kampung Salomatti, Kabupaten Maros sedang berjuang melawan upaya perampasan lahan-lahan garapan mereka atas gugatan para TUAN TANAH bersekongkol dengan seorang PENGUSAHA TAMBANG.”

 

Edy Kurniawan, LBH Makassar, berbincang petani Desa Salamatti, usai sidang putusan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia 

 

***

Rabu 20 Mei 2020, merupakan sidang ke 20-an, yang pertama pada 8 Oktober 2019. Pukul 10.00, ruangan sidang terisi petani yang tergugat. Di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), mereka diperiksa suhu tubuh, mencuci tangan dengan handzanitiser dan gunakan masker. Beberapa saat kemudian, hakim ketua dan dua hakim anggota hadir.

Dia menanyakan kehadiran kuasa hukum masing-masing. Sesaat, hakim mengumumkan sidang ditunda hingga 28 Mei 2020. Penjelasannya singkat, semua berkas perkara harus diteliti dengan cermat kembali.

Delapan hari setelah itu, 28 Mei 2020, jelang pukul 10.00 petani Desa Salomatti, sudah hadir. Sidang putusan undur pukul 13.00. Ketika sidang mulai, suara kendaraan alat berat menggetarkan lantai persidangan, yang sedang meratakan tanah, di pekarangan Kantor PN Maros.

Suara Nasrul Kadir yang tak menggunakan pengeras suara, seperti tenggelam deru mesin mobil. Dia membaca dengan cepat. Dua hakim anggota, terlihat tak bersemangat. Berkali-kali, dua hakim itu menutup mata. Menopangkan tangan ke dagu, atau bahkan terantuk.

Bahkan salah seorang hakim anggota, meletakkan handphone, di meja sidang. Dari depan, gawai itu tak terlihat sebab tertutup papan tulisan: hakim anggota. Ketika berkali-kali hakim itu memejamkan mata, atau mengusap mata dari sela kacamata, dia menjangkau hape. Saat layar display-nya aktif, cahaya memantul di kacamata.

Saat, Nasrul Kadir mengetuk palu tanda putusan, posisi dua hakim anggota itu tak berubah. Mereka tetap menyandarkan punggung di sandaran kursi. Para petani terlihat tegang.

“Terimakasih. Terimakasih. Akhirnya kami bisa bernapas lega. Mungkin tidur akan nyenyak malam ini,” kata salah seorang petani.

Kuasa hukum warga dari LBH Makassar, Edy Kurniawan mengatakan, status N.O yang diberikan hakim dalam perkara ini, seperti jalan tengah. Pada tergugat (petani) adalah kemenangan yang nanggung. Bagi penggugat, putusan ini kembali ke awal.

“Kita maunya putusan seharusnya ditolak. Sebab obyek sengketa yang disengketakan itu salah tempat. Jadi, dalil mereka adalah Simana yang dikeluarkan Belanda 1940, tidak pernah diperbaharui kembali. Itu jelas tertulis bahwa tanah mereka ada di Kampung Sabantang. Itu kan jelas keliru.”

Edy dalam kesimpulan dan pembelaan menyatakan, perkara sengketa ini bukan soal penguasaan lahan. “Kami melihatnya ada korporasi di belakang penggugat yang jalan,” katanya.

Di Salomatti, ketika Counch memasuki kawasan itu, warga serempak menolak. Ahli waris dari Dang Sija yang ingin menguasai lahan, tak pernah dipedulikan, akhirnya selalu terpental. Ketika, Counch angkat kaki, beberapa warga yang awalnya menolak perusahaan, berbalik arah mendukung penguasaan lahan untuk ahli waris Daeng Sija.

“Sekarang ada dua kubu warga. Menolak melepas tanah, dan ingin melepas tanah. Ini ada apa?” kata Edy.

Kuasa hukum penggugat, Muhammad Sahril mengatakan, membawa ranah penguasaan tanah ini jadi kongkalikong perusahaan tambang itu tak jelas. “Ini antara masyarakat dan masyarakat, saya juga percaya dengan prinsipal saya karena melihat bukti-bukti yang dimiliki. Jika, terkait pengusaha tambang yang ikut campur, saya tidak tahu jelas persoalan itu.”

Alasan Sahril bagi Edy, tentu saja sah. “Sebenarnya, kami ingin memperhadapkan, masing-masing bukti. Mana sih yang lebih kuat Simana dan sertifikat hak milik? Itulah yang harus jelas. Toh, warga memiliki SHM. Itu diketehui oleh pemerintah desa hingga BPN.”

 

 

Keterangan foto utama: Majelis Hakim saat sidang lapang sengketa lahan di Desa Salomatti, Maros. Foto: LBH Makassar.

Sidang lapang sengketa lahan di Maros, pada Februari 2020. Foto: LBH Makassar

Exit mobile version