Mongabay.co.id

Konflik Lahan Petani Tebo dengan PT WKS yang Terus Berlarut

Tanaman di lahan petani, yang bersengketa dengan PT WKS. Foto: Walhi Jambi

 

 

Konflik lahan masyarakat di Desa Lubuk Madrasah, Kabupaten Tebo, Jambi dengan PT Wira Karya Sakti (APP Group) kembali memanas. Persoalannya dipicu pesawat tanpa awak (drone) perusahaan  telah menabur herbisida yang membuat mati tanaman warga.

“Semua tanaman kering tiga hari kemudian. Petani nengok langsung kok, perusahaan juga mengakuinya,” Abdul Halim, masyarakat Desa Lubuk Madrasah menjelaskan tentang peristiwa tanggal 3 Maret 2020 yang lalu.

Menurut dia, petani sudah datang ke lokasi tanam meminta kepada perusahaan agar tak ada tindakan pembersihan lahan. Perusahaan tak merespon baik. Mereka tetap bersikeras membersihkan lahan yang sudah ditanami berbagai tanaman seperti cabai, sayur mayur, semangka, sebagian karet dan sawit.

“Ini bukan bohong, saya saksi mata perusahaan menyemprot herbisida pakai drone. Kami sebenarnya tidak tahu itu drone apa, kami datangi petugas drone perusahaan dan kami sempat cekcok juga. Mereka berkilah hanya ditugaskan,” katanya pada konferensi pers daring 4 Mei.

***

 

Konflik lahan Desa Lubuk Mandarsah dengan WKS sudah berlangsung sejak 2007. Seluas 1.500 hektar wilayah masyarakat Lubuk Mandarsah masuk konsesi perusahaan. Sebelumnya, Desa Lubuk Mandarsah dikenal sebagai satu daerah lumbung padi di Jambi yang sekarang tak lagi bisa menghasilkan hasil padi dari ladang mereka.

Sejak itu petani coba melakukan berbagai upaya merebut kembali wilayah adat itu. Puncaknya, di tahun 2013 masyarakat menduduki kembali lahan. Mereka menanam padi, dan merasakan panen raya yang sudah lama ditunggu.

Pada 2015, Indra Pelani, petani yang aktif memperjuangkan nasib masyarakat di organisasi Serikat Tani Tebo, dipukuli hingga meregang nyawa. Mayatnya ditemukan sejauh delapan kilometer dari desa.

Sejak kematian Indra, warga bisa kembali mengolah lahan mereka. Seluas 7.000 hektar dari total luasan sudah mereka tanami. Pada Maret 2020, konflik terjadi lagi, saat WKS melakukan pembersihan ladang dan kebun petani. Ahmad, seorang petani yang tergabung di Kelompok Tani Sekato Jaya dilaporkan ke Polres Tebo atas dasar tuduhan UU P3H penyerobotan lahan perusahaan.

“Pada 6 Maret saya secara kooperatif datang dan menjelaskan ke Polres. Saya dipanggil wawancara biasa, ditanyakan apakah benar kamu menanam di lahan konsesi WKS. Saya menjelaskan, WKS tidak benar menuduh saya sebagai perambah. Saya menandatangan BAP, saya tidak boleh meminta fotokopi salinan, karena alasannya saya bukan tersangka,” kata Ahmad.

Ahmad bilang, kasus itu sampai di situ saja, namun perusahaan sampai saat ini tidak mencabut laporan.

Tiba-tiba, 15 April ada undangan silaturahmi dari Polres Tebo. Andrian, Ketua Serikat Tani Tebo menyebut undangan silaturahmi ini yang diklaim perusahaan sebagai proses mediasi.

“Itu tidak benar, lima hari sebelum kami diundang silaturahmi ada yang datang dari polres. Katanya Kapolres Tebo yang baru dilantik mau silaturahmi. Kami tidak menyangka ada perusahaan di sana.”

Dalam pertemuan silaturahmi tanggal 15 April, ada tiga poin besar disepakati, kedua belah pihak saling menahan diri. Apabila, terjadi sesuatu hal di lapangan, perusahaan wajib berkomunikasi dengan masyarakat, atau pendamping. Apabila, tidak terbangun komunikasi dengan baik, akan diselesaikan dengan jalur musyawarah dan hukum.

“Tiga poin besar ini sama saja dengan kesepakatan yang sudah dibuat managemen APP, dengan masyarakat di Lubuk Mandrasah, Kelompok Tani Sekato Jaya. Ini hanya mengulang saja kesepakatan 2015. Bedanya ini difasilitasi oleh Kapolres. Tidak ada penyelesaian konflik lahan kami yang diserobot,” jelas Ahmad.

Namun setelah silaturahmi, pada 28 April 2020 kekerasan kembali terjadi, oleh karyawan perusahaan dan oknum aparat pada petani yang benama Agus.

“Ada satu warga, Agus, dia lagi berkebun, membersihkan kebun, lalu dipanggil aparat. Agus tidak peduli, dia tetap bersihkan lahan. Mungkin karena emosi, aparat ini mengeluarkan tembakan dua kali ke atas. Tembakan peringatan. Intimidasi masih berlangsung setelah silaturahmi,“ kata M. Jais, Ketua Kelompok Tani Sekato Jaya.

Rudiansyah, Direktur Walhi Jambi mengecam tindakan intimidasi WKS. “Kita sudah komplain, juga ke managemen pusat, tapi memang reaksi dan respon agak lambat.” Dia bilang, hal-hal substansi sebagai akar persoalan tak selesai.

“Kami sudah buat surat terbuka ke investor APP Sinarmas bersama 91 organisasi untuk mengurai fakta di lapangan bahwa perusahaan melanggar komitmen,” katanya.

 

Enam sekuriti PT WKS, yang menjadi terdakwa pembunuh Indra Pelani, petani Tebo.

 

APP sebenarnya sudah memiliki dokumen Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy/FCP) sejak Februari 2013 dan komitmen publik tambahan. Sayangnya, kondisi di lapangan anak-anak perusahaan berbeda dengan apa yang digariskan. Kekerasan dan konflik masih saja terjadi.

Saat coba dihubungi, Taufik Qurochman, PR Head WKS mengaku sudah berdamai dan pendekatan dengan masyarakat Desa Lubuk Madrasah. “Bahwa sampai saat ini sejak insiden itu, sudah beberapa kali ada pertemuan langsung antara tim WKS dan kelompok tani serta interaksi lapangan berlangsung konstruktif,” katanya melalui pesan WhatsApp.

Sinar Mas, merupakan bisnis besar keluarga Wijaya yang memiliki luasan HTI sebesar 3,3 juta hektar. Struktur bisninya sendiri rumit dan melibatkan banyak investor, WKS sendiri hanyalah unit kecil dari bisnis itu.

Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TUK Indonesia menyebutkan, dari 10 besar pendana dalam gerbang bisnis Sinar Mas dimiliki investor asal Amerika, 68,7%. Untuk pemberi utang dan jaminan, maka ada beberapa bank peringkat pertama, seperti BRI, BNI, Bank DKI, BCA, Mizuho, Exim Bank. Indonesia yang memberikan 83,2% utang ke Group APP.

Due diligence sangat lemah, tingkat keterbukaan info perusahaan sangat rendah,” jelasnya

Edi menyebut di tahun 2019, TUK Indonesia menemukan bahwa konsesi WKS masuk dalam daftar rilis karhutla yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Data Forest Hotspot NASA, ada 237 titik api di wilayah WKS.

Woro Supartinah dari Environmental Paper Network menyebut APP tak serius dengan komitmen FCP mereka.

“Lubuk Mandarsah itu satu dari 107 konflik aktif yang telah dipetakan koalisi masyarakat sipil. Dari dua group perusahaan besar APP dan APRIL hampir 80% konflik sosial itu terhubung dengan lahan. Jambi untuk APP itu daerah dengan konflik sosial terbesar setelah Riau. Untuk APRIL, kasus terbesar di Riau dan Sumut.”

Koalisi organisasi masyarakat sipil jelasnya telah mengidentifikasi adanya laporan 107 konflik aktif terjadi antara masyarakat dan anak perusahaan APP. Meski APP klaim sudah menyelesaikan 46% mereka atasi, yang bertambah lagi di Maret 2019 menjadi 49%.

 

Konflik Lahan Terus Terjadi

Konflik lahan antara warga dan perusahaan juga terjadi di berbagai daerah lain di Sumatera seperti Riau dan Sumut. Desa Bagan Malibur, Pulau Padang, Riau, merupakan salah satu lokasi konflik dengan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), unit bisnis April Group. Sekitar 1.750 hektar atau 42,6% desa berada dalam konsesi perusahaan.

Isnadi Esman, Kepala Desa, Desa Bagan Malibur, Pulau Padang, Riau mengatakan, kebun sagu dan karet masyarakat tetapi sudah jadi perkebunan kayu.

Dengan ada wabah COVID-19 dan perkebunan kayu HTI, posisi warga makin terjepit. Ketika ada wabah, katanya, kalau kekayaan alam bisa dimanfaatkan maksimal, misal hutan masih bagus dan produktivitas sagu tinggi, mungkin tak akan sulit.

Kanal-kanal gambut di Pulau Padang ini, katanya, menyebabkan kekeringan gambut dan mempengaruhi produktivitas sagu masyarakat. “Secara ekonomi terjadi penurunan.”

Isnadi bilang, perusahaan juga tak memberikan bantuan untuk mengurangi dampak pandemi. “Kemarin ada yang positif, kami pakai swadaya dana desa. Tidak ada dari perusahaan,” katanya.

 

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, akhirnya, mendapatkan kembali hutan adat mereka setelah perjuangan panjang. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Kondisi serupa juga terjadi di masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta maupun Tombak Haminjon (hutan kemenyan) di Sumatera Utara. Konflik lahan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terjadi sejak 2009.

Pemetaan hutan adat sudah jalan dan lewat penetapan pansus DPRD telah disampaikan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada 2016, Presiden Joko Widodo menyampaikan kalau sudah keluar surat keputusan hutan adat Pandumaan Sipituhuta, masuk pencadangan hutan adat. Hutan adat sudah dikeluarkan dari konsesi.

Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Sumatera Utara menyebutkan, konflik masyarakat adat dengan TPL saat COVID-19 masih memanas.

“Saat ini ada 11 konflik masyarakat adat, satu sudah dikeluarkan dari konsesi TPL, seluas 5.172 hektar. Itu dengan masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta,” katanya, seraya bilang, sekitar 20 ribu hektar terkendala Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat, yang belum keluar.

Sejak 2017, TPL menawarkan berbagai program kemitraan. Namun di masa COVID-19 ini, TPL juga sebutnya berusaha mengintimidasi masyarakat adat dengan mengeluarkan surat peringatan.

“Mereka cabut spanduk-spanduk masyarakat dan rusak lima hektar jagung masyarakat. Masyarakat saat ini dalam kondisi ketakutan. Mereka memilih tidak melakukan perlawanan, walau kecewa jagungnya dirusak.”

Sektor HTI pun berpotensi memunculkan persoalan korupsi, mulai dari administrasi perizinan, sosial dan lingkungan, termasuk yang meliputi penyiapan lahan, pembibitan, pemeliharaan, pemanenan sampai pemasaran.

Rusmadya Maharuddi, dari Greenpeace mengatakan, banyak kepala daerah yang diuntungkan dan jadi pintu luas korupsi.

“Dulu, kriteria HTI itu lahan kosong alang-alang dengan potensi 5 kilometer persegi. Belakangan diganti dengan hutan produksi tak produktif yang ditetapkan pemerintah. Tapi di lapangan potensinya bisa lebih 70 meter persegi,” katanya.

Kalau melihat tahapan izin, katanya, harusnya siap lahan dulu, baru panen. “Tapi [ternyata] yang dipanen itu hutan alam.”

 

***

Keterangan foto utama: Tanaman di lahan petani, yang bersengketa dengan PT WKS. Foto: Walhi Jambi

Exit mobile version