Mongabay.co.id

Hari Laut Sedunia, Sampah Padati Kawasan Tuban Pesisir Utara

 

Berbagai jenis sampah plastik menumpuk di kawasan perairan laut utara Jawa. Tepatnya di wilayah Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Ratusan bahkan ribuan ton sampah jenis plastik ini merupakan sampah kiriman yang berasal dari beberapa daerah hilir sungai yang bermuara ke laut.

Sehingga, saat debit air meningkat dan banjir, semua jenis sampah ini mengalir ke hilir hingga bermuara ke laut. Sampah dari daratan ini berasal dari kehidupan modern manusia, di mana plastik kerap digunakan sebagai barang sekali pakai seperti botol minuman, alat makan plastik, dan juga pembersih telinga.

Kesadaran masyarakat di pesisir untuk menjaga kawasan juga masih kurang, perilaku membuang sampah di bibir pantai masih banyak dilakukan. Selain dari darat, polusi plastik juga berasal dari perairan, mengacu pada sampah sisa-sisa alat penangkap ikan seperti jaring, tali, dan bangkai kapal.

baca : Hari Lautan Sedunia : Mengingatkan Peran Laut Di Planet Bumi

 

Pengendara melintas di jalan yang dipenuhi sampah plastik di kawasan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Lutfi Aish Diaurrakman (21), menjelaskan, menumpuknya sampah plastik ini selain berdampak pada pencemaran di laut, kondisi tersebut juga turut mengganggu para nelayan saat menangkap ikan.

Akibatnya, hasil tangkapan para nelayan mengalami penurunan. Menurut pria dari komunitas edukasi lingkungan Kali Seset ini, hasil ikan tangkapan nelayan, jika kondisi normal bisa menghasilkan 2 ton ikan dalam sekali melayar. Namun, semenjak banyaknya sampah ini para nelayan hanya bisa menghasilkan ikan 50 kilo saja.

Dia menyebut, lemahnya peran pemerintah setempat dalam pengawasan dan penanganan sampah juga membuat lebih banyak masyarakat memilih membuang sampah di bibir pantai. Alasanya, kata Lutfi, karena mudah dan murah.

baca juga : Hari Laut Dunia : Laut Indonesia dalam Gambar

 

Ratusan bahkan ribuan ton sampah jenis plastik merupakan sampah kiriman yang berasal dari beberapa daerah hilir sungai yang bermuara ke laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Mencemari Lautan

Dengan begitu, di lautan jadi banyak dijumpai berbagai jenis sampah dan bahan pencemar lainnya. “Apalagi jaraknya hanya sepelemparan batu. Sehingga warga tidak perlu susah-susah. Secara pribadi saya merasa risih melihatnya. Selain tidak enak dipandang juga baunya tidak sedap,” kata pria kelahiran Karangagung, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban ini, Minggu (07/06/2020).

Untuk itu dia berharap adanya tindakan dari pemerintah untuk menormalisasi sampah supaya pencemaran air laut tidak terjadi lagi. Selain itu juga tidak merusak jaring nelayan. Sehingga bisa meningkatkan ikan hasil tangkapan para nelayan.

Kawasan pantai utara Kabupaten Tuban mempunyai panjang sekitar 65 km, merupakan pusat perekonomian yang sering dimanfaatkan sebagai transportasi laut, budidaya laut, pariwisata, pelestarian alam, dan juga pemukiman nelayan. Sehingga, daerah di pesisir kabupaten dengan julukan kota seribu goa ini memiliki potensi kerusakan lingkungan yang tinggi.

perlu dibaca : Tekad Indonesia Bersihkan Sampah Plastik di Laut

 

Kurangnya kesadaran masyarakat pesisir untuk menjaga kawasan masih kurang. Sehingga tumpukan plastik kerap mengotori bibir pantai. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, adanya perkembangan industri yang pesat dan kegiatan pertambangan yang ekstraktif turut mempengaruhi. Peningkatan urbanisasi di daerah pesisir tanpa menggunakan fasilitas penanganan limbah menambah dampak buruk terhadap lingkungan, terutama kawasan pesisir dan lautan.

Sehingga, pencemaran yang terjadi menyebabkan penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut. Kondisi seperti ini akan menyebabkan terganggunya kelangsungan hidup biota yang ada di sekitarnya, seperti sumberdaya perikanan dan ekosistem pesisir dan laut berupa hutan mangrove, padang lamun dan juga terumbu karang.

Pada akhirnya akan berdampak luas terhadap penurunan pendapatan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada produktivitas hayati di wilayah pesisir dan laut. Dampaknya seperti yang dirasakan oleh Matsuyoto, nelayan setempat.

Pria 47 tahun ini mengaku, adanya sampah plastik itu sangat mengganggu. Karena sampah tersebut bisa merusak baling-baling perahu miliknya. Sehingga, saat mengoperasikan menjadi kurang maksimal. Adanya sampah plastik juga dapat mengganggu aktifitasnya saat proses perbaikan perahu.

“Keluar masuknya perahu ke pelabuhan juga jadi terganggu. Untuk itu, kedepannya saya berharap ada gotong-royong dari semua pihak untuk membersihkan tempat berlabuh perahu,” harap pria yang sudah 35 tahun berprofesi sebagai nelayan ini.

baca juga : Liputan Banyuwangi : Sampah Muncar yang Tak Kunjung Terselesaikan (1)

 

Pencemaran yang terjadi menyebabkan penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut. Akibatnya, kelangsungan hidup biota di laut menjadi terganggu. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Efek yang Ditimbulkan

Saat dihubungi Prigi Arisandi, direktur Ecological Obervation and Wetlands Conservation (ECOTON), menjelaskan, persoalan sampah memang masih menjadi problem yang sangat penting. Hal ini dikarenakan kemampuan pemerintah untuk melayani transportasi sampah, tempat pengolahan sampah dirasa masih kurang.

Menurutnya, masyarakat di Indonesia yang baru terlayani ini kurang dari 40 persen. Sisanya, masyarakat masih banyak yang membuang sampah di lahan terbuka, membuang di sungai, di pekarangan rumah, kemudian parahnya lagi sebagian juga ada yang dibakar.

Padahal, hal itu bisa memicu pembentukan dioksin. Senyawa kimia ini bisa menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan sekitar. Dioksin mempunyai potensi racun yang bisa mempengaruhi beberapa organ dan sistem tubuh.

Efek yang ditimbulkan dalam jangka panjang, lanjut Prigi, bisa mengganggu perkembangan sistem saraf dan menyebabkan gangguan sistem ketebalan tubuh. Selain itu, riset menunjukkan paparan dioksin dapat menyebabkan efek kesehatan yang merugikan seperti kanker, infertilitas, sistem hormon, kemungkinan juga diabetes.

 

Kawasan pantai utara Kabupaten Tuban mempunyai panjang sekitar 65 km. Sampah yang mencemari kawasan ini selain dari pemukim warga, adanya perkembangan industri yang pesat dan kegiatan pertambangan yang ekstraktif turut mempengaruhi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kemudian, sampah yang dibuang ke sungai ini terurai menjadi serpihan-serpihan plastik dengan diameter kurang dari 5 mm, atau disebut dengan mikroplastik. Potongan plastik yang sangat kecil ini bisa mencemari lingkungan, dan dapat bertahan dalam waktu yang lama.

Hal ini masih menjadi persoalan besar karena tidak disediakannya layanan untuk menangani sampah, kemudian juga tidak ada prioritas pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di level pemerintah Kota/Kabupaten, atau tingkat Kecamatan, bahkan pada level pemerintahan Desa.

“Pengelolaan sampah yang ideal itu mestinya ada di setiap Desa,” ujar Prigi yang merupakan lulusan Biologi Universitas Airlangga ini, pada Senin (08/06/2020).

Padahal, menurut pria kelahiran 24 Januari 1976 ini, seharunya di desa-desa yang sudah diberi anggaran banyak tersebut mestinya bisa digunakan untuk membuat prasarana pengolahan sampah, dengan memprioritaskan kawasan-kawasan yang ada di tepi sungai.

Baginya, jika membicarakan sampah yang ada di pesisir dan laut hari ini, terlebih dahulu harus mencari sumbernya. Salah satunya berasal dari sungai-sungai seperti Bengawan Solo, Ciliwung, Citarum, kemudian juga Sumber Brantas. Sumber-sumber itu yang seharusnya dicarikan solusi untuk penanganan.

Jika hal itu tidak tertangani, maka dampak yang ditimbulkan bisa mencemari kawasan pesisir dan lautan. “Karena itu, dengan adanya hari laut sedunia ini mestinya bisa dijadikan refleksi. Kalau kita ingin melestarikan laut untuk generasi yang akan datang kita harus menjaga kebersihan sungai,” katanya.

Dengan begitu, lanjut pria penghobi mandi di sungai ini, masyarakat harus memperlakukan sungai sebagai sumber penghidupan, bukan malah dijadikan tempat pembuangan sampah.

 

Kemampuan pemerintah untuk melayani transportasi sampah, tempat pengolahan sampah dirasa masih kurang. Sehingga, masyarakat masih banyak yang memilih membuang sampah di bibir pantai. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version