Mongabay.co.id

Potensi Besar Lobster Mutiara dan Lobster Pasir

 

Lobster mutiara (Panulirus ornatus) dan lobster pasir (Panulirus homarus) menjadi lobster yang potensial untuk dikembangkan melalui sistem budi daya perikanan yang ada di Indonesia. Kedua jenis Lobster tersebut menjadi bagian dari lima lobster yang tumbuh dan berkembang baik di wilayah perairan seluruh Indonesia.

Direktur Jenderal Perikanan Budi daya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto mengatakan, walau kedua jenis lobster di atas memiliki potensi yang bagus untuk dibudidayakan, tetapi itu sangat bergantung pada pasokan benih yang berasal dari alam atau perairan laut secara langsung.

“Karena pembenihan Lobster masih belum berhasil dilakukan,” ucap dia saat menjadi pembicara dalam diskusi virtual yang dilaksanakan pada akhir pekan lalu.

Selain dua jenis tersebut, masih ada tiga jenis Lobster lain yang juga ditemukan tumbuh dan berkembang dengan baik di hampir semua wilayah perairan. Ketiganya adalah lobster batik (Panulirus longipes), lobster bambu (Panulirus versicolor), dan lobster batu (Panulirus penicillatus).

Dalam mengembangkan budi daya lobster, sejak 1999 Indonesia melakukannya dengan mengandalkan pada benih hasil tangkapan langsung di laut dengan skala tradisional. Tetapi, cara tersebut dinilai belum praktik karena memerlukan waktu pembesaran sekitar 8-10 bulan dengan pakan ikan runcah.

“Dari benih ukuran transparan hingga mencapai kisaran 100-125 gram per ekor,” jelas dia.

baca : Pusat Studi Maritim : Peraturan Baru Ungkap Kedok Pemerintah dalam Eksploitasi Lobster

 

Seorang nelayan di Malang selatan Jatim memperlihatkan seekor lobster hasil tangkapannya. Foto : Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

Saat metode budi daya masih mengandalkan benih tangkapan alam, Slamet menyebutkan kalau harga jual di pasar internasional mencapai nilai yang tinggi. Namun, di saat yang sama harga jual di pasar internasional juga sama tingginya untuk perdagangan benih lobster.

Itu kenapa, sejak 2013 usaha budi daya lobster mulai beralih dari pembesaran menjadi penangkapan di alam secara langsung dan menjualnya ke pasar internasional melalui jalur ekspor. Negara yang tercatat selalu menjadi tujuan ekspor benih lobster adalah Vietnam, yang sampai sekarang dikenal sebagai negara penghasil ekspor terbesar di dunia.

Menurut Slamet, metode pengembangan usaha lobster akan terus dilakukan untuk bisa mendukung percepatan produksi perikanan budi daya yang sudah ditetapkan oleh Presiden RI Joko Widodo sebagai sektor prioritas. Untuk 2020, Pemerintah Indonesia menargetkan produksi mencapai 18,44 juta ton dan naik menjadi 22,65 juta ton pada 2024.

Dengan target tersebut, lobster diharapkan bisa ikut bergabung bersama komoditas lain yang ditugaskan menjadi penyumbang produksi utama perikanan budi daya seperti ikan air tawar, ikan air payau, ikan laut, dan rumput laut.

 

Tren Kenaikan

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar pada kesempatan yang sama mengatakan, komoditas lobster saat ini mengalami kenaikan produksi di seluruh dunia. Dari catatan Organisasi Pangan dan Agrikultur Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) yang dirilis pada 2019, produksi Lobster dunia tumbuh rerata 2,30 persen per tahun.

“Sedangkan, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, nilai ekspor lobster pada periode 2014-2018 mengalami pertumbuhan rerata 20,42 persen per tahun,” tutur dia.

Meski ada tren kenaikan produksi yang juga berarti ada tren kenaikan penangkapan benih lobster di alam, Zulficar menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia tetap memperhatikan sejumlah hal agar usaha lobster bisa berjalan dengan tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan.

Semua itu, menyesuaikan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.

baca juga : Momentum Tepat untuk Evaluasi Pemanfaatan Lobster 

 

Lobster hasil pembesaran di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Untuk lobster pasir, sesuai peraturan penangkapan dilakukan saat lobster tersebut sedang tidak dalam kondisi bertelur dan itu bisa dilihat pada abdomen luar dengan ukuran panjang karapas di atas 6 sentimeter atau berat diatas 150 gram per ekor

“Lobster jenis lainnya boleh ditangkap jika tidak dalam kondisi bertelur yang terlihat pada abdomen luar dan ukuran panjang karapas di atas 8 cm atau berat diatas 200 gram per ekor,” tambah dia.

Kedua persyaratan tersebut bisa dihilangkan, jika penangkapan benih Lobster dilaksanakan di wilayah perairan Indonesia untuk kepentingan kegiatan penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengembangan, pengkajian, dan/atau penerapan di wilayah Indonesia.

Kemudian, untuk peraturan aktivitas penangkapan benih bening lobster atau lobster muda, itu bisa dilakukan jika sudah ada kuota dan lokasi penangkapan yang ditetapkan sesuai hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan).

Untuk nelayan yang berhak menangkap lobster muda, Zulficar menyebutkan bahwa itu adalah nelayan kecil yang sudah terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan dengan menggunakan alat penangkapan ikan (API) statis.

“Untuk pengeluaran benih bening lobster, itu bersumber dari penangkapan yang telah memenuhi ketentuan. Waktu pengeluaran dilaksanakan dengan mengikuti ketersediaan stok di alam yang direkomendasikan oleh Komnas Kajiskan. Kemudian, eksportir juga harus terdaftar,” tegas dia.

 baca juga : Budi daya Lobster Bisa Dilakukan di Seluruh Indonesia

 

 

Potensi Besar

Kepala Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP Sjarief memberikan penjelasan tentang aktivitas budi daya dan ekspor benih lobster yang sebelumnya dilarang menjadi dibolehkan oleh KKP. Menurut dia, Pemerintah memiliki pertimbangan yang matang dengan berdasar pada hasil kajian yang dilakukan para pakar yang kompeten di bidangnya masing-masing.

Tak hanya dari pakar, Sjarief menyebutkan bahwa BRSDM KP juga melakukan kajian dan hasilnya diketahui ada potensi yang sangat besar untuk jenis lobster mutiara dan lobster pasir ini. Kedua jenis lobster tersebut potensinya mencapai 278.950.000 ekor dan tersebar di 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI).

Menurut dia, penangkapan benih lobster dapat dilakukan di lokasi-lokasi yang memiliki karakteristik bertipologi perairan dangkal, sepanjang pantai dan pulau pulau kecil, relatif terlindung (dalam teluk) dan dasar perairan pasir berlumpur, serta terdapat asosiasi terumbu karang-lamun-alga.

“Dengan pertimbangan prinsip keberlanjutan, jumlah hasil yangkapan yang diperbolehkan (JTB) benih bening lobster pasir dan lobster mutiara adalah sebesar 139.475.000 ekor untuk dapat dijadikan acuan dalam penentuan kuota penangkapan di seluruh WPPNRI,” papar dia.

Agar bisa mewujudkan pengelolaan sumber daya lobster yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan upaya pencatatan hasil penangkapan benih bening di setiap lokasi dan penelaahan berkala terhadap kondisi stok benih bening lobster di alam. Dengan demikian, itu bisa mendukung upaya peninjauan ketersediaan stok benih bening lobster.

Sjarief mengungkapkan, regulasi tata kelola sumber daya perikanan lobster perlu diterapkan untuk memperkuat tata kelola benih lobster. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, yaitu; pendataan stok benih lobster dan produksi lobster, peluang menata kelembagaan benih Lobster yang optimal, memperkuat pengembangan budidaya lobster, dan memperkuat upaya restocking lobster di sentra benih lobster.

Melihat banyak manfaat yang bisa diraih, Sjarief menyebutkan kalau kehadiran Permen KP 12/2020 menjadi momen yang tepat untuk pengembangan usaha budi daya lobster. Hal itu, karena di dalamnya ada tiga makna keseimbangan, yakni pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan.

“Tiga hal ini harus selalu ada dalam setiap pengambilan keputusan. Kita harus menjamin sumber pendapatan untuk masyarakat, kita menjamin pendapatan untuk negara, sekaligus keberlanjutan bagi alam,” tegas dia.

 

Exit mobile version