Mongabay.co.id

Kala Pandemi, Saat Tepat Menanam Bibit Buah dan Kayu Gratis dari Persemaian Permanen

 

Puluhan orang merespon informasi akses bibit gratis di Persemaian Permanen yang diunggah akun twitter jurnalisme warga @balebengong. Mereka meminta nomor kontak dan syarat mendapatkannya. Selama masa pembatasan aktivitas dampak pandemi COVID-19 ini, timeline media sosial warga memang makin banyak tentang menanam dan berkebun.

Persemaian Permanen bagian dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Hutan Lindung Unda Anyar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berlokasi di Banjar Suwung Kauh, Pemogan, Denpasar Selatan, Bali seluas 2,4 hektar. Kapasitas produksi bibit ditargetkan sekitar 1 juta batang per tahun.

Ada beragam bibit tersedia, seperti ketapang kencana, mahoni, mangrove, sengon, tabebuya, bambu, ampupu, cempaka, cendana, intaran, majegau, rijasa, sirsak, jambu biji, sirsak, sawo kecik, gaharu, nangka, dan juwet.

Persemaian merupakan areal untuk memproses benih jadi bibit siap tanam. Dibangun untuk memenuhi kebutuhan bibit dalam kegiatan penanaman kembali dan pengkayaan jenisnya seperti reboisasi.

baca juga : Sedekah Lingkungan, Mempelai Tanam Bibit di Bukit Pengantin

 

Persemaian Permanen ini berlokasi di Suwung, berdampingan dengan kawasan Tahura Mangrove Ngurah Rai di dekat Teluk Benoa ini menyedikan berbagai bibit pohon gratis. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Saat berkunjung ke Persemaian Permanen pada Selasa (26/5/2020) lalu, sejumlah pekerja tengah sibuk di area pembibitan. Dimulai dari lokasi semai, ruang tertutup untuk menumbuhkan biji menjadi benih.

Di sini ada bak-bak berisi media tanam biji, cocopeat (remah sabut kelapa) dan pupuk kandang yang dicampur dengan perbandingan 3:1. Komang Suwartini, salah satu pekerja terlihat mencabut benih untuk dipindahkan ke polybag bibit. “Ini namanya menyapih,” ujarnya saat memindahkan bibit cempaka yang sudah setinggi 5 cm.

Akar benih dibersihkan dari tanahnya, kemudian satu demi satu dengan telaten ditanam di polybag yang materi tanamnya berbeda, yakni pupuk kandang dan tanah. Bagian ini memerlukan banyak tenaga karena jumlah hasil semaian ribuan. Setelah tingginya sekitar 30 cm, bibit siap ditanam di lokasi-lokasi penghijauan atau rumah barunya.

Tidak semua biji berhasil jadi benih atau semai, keberhasilannya sekitar 80%, kemudian keberhasilan benih jadi bibit sekitar 70-80%. Ade Supriatna, Manajer Persemaian Permanen mengatakan pembibitan yang dilakukan dominan generatif, dari biji. “Lebih kuat untuk menghutankan,” katanya.

Perbanyakan bibit melalui cara vegetatif maupun generatif ini diperoleh dari sumber genetik unggul agar diperoleh bibit yang unggul pula. Disebut Persemaian Permanen karena dilaksanakan secara menetap.

Untuk jenis tanaman kayu, minimal bibit setinggi 50 cm – 1 meter seperti gaharu dan mahoni. Persemaian ini sedang semangat produksi bibit untuk memburu musim hujan tahun ini yang diperkirakan sekitar Oktober. Sedikitnya ada 20 jenis tanaman, paling banyak sengon, karena cepat tumbuh, dalam 5 tahun dinilai sudah bisa ditebang dan dijual.

baca juga : Ini Kabar Terakhir Benih Tanaman yang Ditanam Badan Antariksa China di Permukaan Bulan

 

Komang Suwartini,seorang di Persemaian Permanen BPDAS HL Unda Anyar KLHK menyapih, memindahkan benih pohon cempaka ke polybag bibit. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Pemohon bisa individu atau lembaga. Jika individu cukup menunjukkan KTP dan mendapat maksimal 25 bibit. Jika lembaga mengisi surat permohonan bibit termasuk untuk kelompok tani.

Di sisi lain, Persemaian Permanen ini juga kena dampak pandemi karena ada anggaran yang dipotong untuk realokasi penanggulangan COVID-19. Di antaranya program edukasi dan ekowisata di lokasi karena area persemaian dibuka untuk umum seperti kunjungan belajar dan rekreasi.

Revitalisasi ini dimulai 2019, dengan dimulainya penataan. Misalnya di perbaikan arena pengairan menggunakan sprinkle dan pompa. “Yang kita butuhkan lebih banyak dibanding yang dianggarkan. Rumah pompa ditambah, juga bak penampung air,” urai Ade.

Ada dua bak beton untuk menampung air sekitar 30 meter kubik, yang bersumber dari DAM pengolahan air sungai yang dibendung untuk air baku kawasan Nusa Dua. Air untuk penyiraman kawasan ini diendapkan dulu baru dipakai. Selain produksi bibit dan edukasi, area ini diniatkan untuk ekowisata pembibitan berdampingan dengan ekowisata Taman Hutan Rakyat (Tahura) Mangrove Ngurah Rai di kawasan pesisir Teluk Benoa.

“Kami menuju menuju persemaian keren. Indikatornya tempat bagus, produksi sesuai standar dengan kualitas bagus dan jumlahnya banyak,” jelas Ade. Edukasi yang akan diberikan di lokasi ini terkait cara penyemaian, pembibitan, pentingnya menanam, dan perannya menghasilkan oksigen.

Selain itu ada juga yang minta bibit untuk menghijaukan sekaligus memperindah areanya. Ade menyontohkan Bupati Klungkung yang sudah memesan bibit pohon tabebuya yang berbunga seperti sakura, dengan warna kuning, putih, dan merah muda. Ratusan bibit ini terlihat berderet, dengan tinggi lebih dari setengah meter. Sudah siap tanam.

Sementara warga lebih banyak minta tanaman buah. Jika mengakses ratusan atau ribuan bibit, pengelola persemaian akan bertanya tentang tipikal kawasan konservasinya. Agar tak hanya satu jenis tanaman homogen.

menarik dibaca : Hasanudin, Pelestari Pohon Buah Lokal yang Tak Kenal Lelah

 

Area produksi benih dari biji di Persemaian Permanen BPDAS HL Unda Anyar KLHK. Di area ini disiapkan bakal bibit untuk target produksi 1 juta per tahun. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Risiko hutan homogen

Seorang peneliti pohon, Adi Mahardika pernah menulis di Mongabay tentang kerentanan jika hutan homogen khususnya jenis ampupu

Adi mengulas jika Eucalyptus urophylla S.T. Blake yang lumrah dikenal sebagai ampupu, pohon asli Indonesia ini jenis pohon yang hijau sepanjang tahun dan fast growing, pertumbuhannya cepat. Batang utamanya lurus, artsitektur percabangan yang cenderung membentuk kerucut menjadikan bentuk pohon ini menarik sebagai penghias lansekap. Namun memiliki risiko jika terlalu dominan di lahan kering.

Marga Eucalyptus ini memiliki kandungan minyak yang tinggi, memberikan potensi ekonomi besar melalui esktraksi dan pemanfaatan dalam berbagai industri.

Ampupu telah sejak lama ditanam di kawasan hutan Provinsi Bali, di kecamatan Gerokgak di Buleleng hingga Rendang dan Kubu di Karangasem. Penanaman Sebagian besar dilakukan sejak Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dimulai tahun 2003, baik langsung oleh pemerintah, kelompok masyarakat, atau kegiatan CSR perusahaan-perusahaan.

Adi menulis, di berbagai belahan dunia introduksi masif Eucalyptus telah banyak memicu perdebatan. Kekhawatiran muncul karena sifatnya yang alelopatik, kandungan minyaknya yang besar, dan kebutuhan airnya (laju transpirasi) yang relatif tinggi sebagai implikasi dari pertumbuhan yang cepat.

baca juga : Demi  Keanekaragaman Hayati, Penanaman Masif Ampupu di Hutan Bali Perlu Dikaji

 

Pohon-pohon ampupu yang ditanam dengan jarak relatif rapat di kawasan hutan lindung di Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali. Foto : Adi Mahardika/Mongabay Indonesia

 

Alelopatik adalah fenomena di mana suatu organisme, dalam hal ini tumbuhan, menghasilkan senyawa yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme lain. Eucalyptus diketahui mengeluarkan senyawa alelopatik melalui akar, atau penguapan dari organ daun.

Penelitian yang dilakukan oleh Song et al (2018) menemukan bahwa senyawa alelopatik dari serasah daun E. urophylla yang larut oleh air hujan secara signifikan menghambat perkecambahan biji tiga jenis pohon asli lokal: Leucaena leucocephala, Pterospermum lanceaefolium, dan Schefflera octophylla, di Shuilian Mountain Forest Park, di provinsi Guangdong, Cina.

Tingginya minyak yang terkandung dalam daun ampupu dapat juga memperburuk bencana di kemudian hari. Minyak yang dikandung ampupu bersifat flammable, mudah terbakar. Dalam tantangan perubahan iklim, musim kering diprediksi akan lebih intens dan panjang. Implikasinya, kebakaran hutan akan lebih sering terjadi.

Di beberapa lokasi penghijauan, jenis ini ditanam dengan jarak yang relatif rapat, menjadikannya mirip perkebunan monokultur. Di kaldera Batur pun, yang masuk ke dalam UNESCO Global Geopark, ampupu telah ditanam secara masif dan sekarang mendominasi.

“Saya kira alasannya semata-mata karena dia jenis yang adaptif pada tipe habitat seperti apapun, dari tanah lembap dengan iklim sejuk sampai tanah berbatu dan pasir dengan panas seperti di kaldera Batur,” jelas Adi.

 

Exit mobile version