Mongabay.co.id

Kisah Jedo dan Peran Perempuan di Balik Pangan Orang Lamaholot

Pranata sosial dan adat-istiadat yang patriarkis kerap dituding sebagai penyebab utama mengapa perempuan tani termarginalkan. Namun, di sisi lain terdapat kisah rakyat yang mengangkat sisi peran perempuan yang mendorong kedaulatan pangan masyarakat. Artikel ini mencoba untuk melakukan rekonstruksi makna di balik cerita tutur masyarakat adat Lamaholot.

Suku Lamaholot disebut sebagai suku terbesar di wilayah Flores Bagian Timur, Pulau Adonara, Solor hingga Lembata (Melalatoa, 1995). Mata pencaharian masyarakat Flores Timur dahulu kala adalah nelayan dan peramu hasil hutan. Jika nelayan umumnya pekerjaan kaum lelaki, sebaliknya meramu hasil hutan adalah tugas kaum perempuan.

Dengan mata pencarian yang tergantung kepada kebaikan alam itu, warga seringkali ditimpa bencana kelaparan. Apalagi di saat itu, bercocok tanam ladang seperti padi, kacang-kacangan, jagung, sorgum, labu, jewawut dan lain-lain belum terlalu dikenal luas. Di sinilah lalu relasi hubungan antara perempuan dan perannya dalam mengolah pertanian pun mulai berkembang.

 

Relasi perempuan dengan alam erat dalam masyarakat adat. Ilustrasi gambar: Herlina Pora, warga Desa Pruda, Sikka, NTT, yang sedang menjemur padi di depan lumbung padi di areal kebun di lahan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Cerita “Jedo Pare Tonu Wujo” dan Simbol Makna Dibaliknya

Dikisahkan pada suatu masa, terjadi bencana kelaparan yang hebat menimpa warga suku Lamaholot. Bencana kelaparan itu menimpa seluruh penduduk termasuk satu keluarga yang terdiri dari delapan bersaudara.

Mereka terdiri dari tujuh orang laki-laki dan seorang perempuan yang bungsu. Si Jedo, – akrab si bungsu ini dipanggil, mengajak saudara-saudaranya untuk menebas hutan dan membuat kebun.

Setelah kebun selesai dipagari, hujan deras pun tiba. Ketujuh saudara laki-laki Jedo bingung, mereka tidak tahu apa yang akan mereka tanam di kebun untuk keesokan hari. Mereka pun menangis tak henti.

Dalam kehilangan asa itu, Jedo meyakinkan kakak-kakaknya agar dapat pergi bersama-sama ke kebun yang bakal mereka kerjakan. “Tak perlu khawatir,” sebutnya. “Lahan akan menyediakan bahan makanan yang melimpah buat kalian semua.”

Meskipun kebingungan, kakak-kakak Jedo tetap mengikuti nasehat si bungsu. Keesokan paginya di kebun, Jedo meminta mereka untuk memancangkan sebatang kayu di tengah lahan. Ia juga minta dibawakan sebuah batu ceper yang cukup besar yang diletakkan berdampingan di batang kayu yang telah ditancapkan itu.

Jedo pun duduk bersila di atas batu ceper. Dengan tenang ia lalu berkata kepada kakak lelakinya yang termuda.

“Dengarlah pesan saya, dan setelah saya selesai kerjakanlah apa yang saya minta. Jangan takut dan jangan sedih sebab apa yang kupesankan ini sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa (Leran Wulan, Tana Ekan).”

“Inilah pesanku, yaitu penggallah kepalaku, dan jika aku sudah tidak bernyawa, biarkan darahku membasahi batu tempatku duduk sekarang. Biarkan ia mengalir ke seluruh pojok kebun ini. Setelah ini kamu semua boleh pulang ke rumah, dan enam hari lagi kamu boleh kembali lagi ke sini!” seru Jedo.

Meski terkejut dan sedih mendengarnya, saudaranya menuruti pesan Jedo. Darah Jedo membasahi batu ceper, dan terus merembes ke semua pojok kebun.

Ketujuh lelaki bersaudara tersisa itu lalu kembali ke rumah mereka dengan hati yang sangat sedih. Enam hari kemudian mereka datang kembali ke kebun sesuai dengan pesan Jedo.  Setiba di kebun, perasaan gembira dan sedih terjadi silih berganti.

Di lahan itu tumbuh subur berbagai pangan; padi (taha), labu (besi), jewawut (weteng), jagung (wata), sorgum, dan ragam pangan lain yang lalu mereka namai dengan nama-nama lokal.

Beberapa bulan setelahnya, musim panen pun tiba. Seluruh hasil panen itu mula-mula dikumpulkan di atas batu ceper sebagai suatu peringatan sekaligus penghormatan kepada Jedo yang telah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya demi kemakmuran saudara-saudarnya.

Setelah semua hasil panen terkumpul, barulah ia diangkut ke rumah dan dimasukan ke dalam lumbung.  Sejak itu ketujuh bersaudara serta seluruh keturunannya mulai hidup makmur dan bebas dari ancaman bencana kelaparan.

Baca juga: Sukses Kembangkan Sorgum di NTT, Maria Akui Jatuh Cinta pada Rasa Pertama

 

 Ilustrasi gambar: Tetua Adat Desa Lamatokan, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata yang sedang meminta berkat dari leluhur untuk melakukan aktifitas adat di Teluk Hakadewa, Pulau Lembata.Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Hingga hari ini, setiap sawah dan kebun Suku Lamaholot selalu ada batu ceper dan tiang pancang, yang disebut  Jedo Pare Tonu Wujo. Itulah tempat meletakkan semua benih yang hendak ditanam dan tempat mengumpulkan seluruh hasil panen sebelum dibawa ke lumbung.

Dalam setiap kisah rakyat, tentu ada makna dan pesan yang ingin disampaikan. Kisah Jedo Pare Tonu Wujo pun demikian. Kisah ini menyiratkan penghormatan dan pengakuan bagi pengorbanan kaum perempuan. Dimana perempuan memegang andil besar dalam pemenuhan pangan Suku Lamaholot.

Hal ini tampak, bahwa setiap keseluruhan proses pertanian perempuan dilibatkan. Dari awal membuka lahan kebun, penanaman, hingga panen kelak.

Dalam ritual orang Lamaholot, perempuan yang berhak untuk mengambil benih di lumbung, yang lalu diberikan kepada kaum lelaki untuk disemaikan. Pada saat panen, hasil panen pertama mesti dinikmati oleh perempuan. Entah itu istri atau saudara perempuan terlebih dahulu.

Perempuan Suku Lamaholot juga memiliki andil dalam menyuburkan lahan, termasuk dalam hal pembuatan pupuk.

 

Relevansi dengan saat sekarang

Kebutuhan atas bahan pangan adalah hal yang primer yang tak terbantahkan. Makmur dan sejahteranya sebuah masyarakat, tak akan bisa dicapai jika rakyatnya berkekurangan pangan atau kelaparan.

Namun, berbeda dengan kisah Jedo Pare Tonu Wujo yang kaya makna simbolik atas pengakuan peran perempuan dalam menyediakan pangan, era saat ini ditandai bahwa pangan adalah bentuk komoditas yang diseragamkan. Luput pula pentingnya keberanekaragaman pangan untuk memenuhi kecukupan masyarakat.

Laporan tahun 2019 The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) menunjukkan, praktik buruk di sektor pertanian justru menjadi penyebab utama menurunnya keberagaman flora dan fauna secara global.

Baca juga: Ekak Nalu Wo, Inilah Ritual Panen Padi Suku Soge

 

Ritual yang diletakkan di batu ceper umum dijumpai di  masyarakat adat yang ada di NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Spesies yang berkontribusi pada jasa ekosistem yang penting bagi pangan dan pertanian, termasuk penyerbuk, organisme tanah, dan musuh alami hama, dengan cepat menghilang.

Pembudidayaan monokultur juga memicu masalah serius. Penurunan juga terjadi pada spesies sumber pangan liar, meliputi tanaman, ikan, dan mamalia. Dari sekitar 4.000 spesies liar sumber pangan tersebut, 24 persen di antaranya anjlok populasinya.

Situasi ini pun terjadi di Indonesia. Sejak Revolusi Hijau era Orde Baru, praktik penyeragaman pangan ternyata membikin sumber pangan lain semakin merosot keberadaannya. Banyak tanaman pangan lokal menghilang, dan penghargaan terhadap alam pun lenyap.

Hal ini berkebalikan dengan apa yang dijelaskan dalam buku Sorgum; Benih Leluhur untuk Masa Depan (2020), karangan Ahmad Arif. Ia menjelaskan bagaimana komunitas lokal mencukupi diri dengan menanam berbagai tanaman pangan.

Lahan pun dikerjakan sesuai musim, dengan berbagai bahan pangan yang ditanam. Konsep ritual dan penghormatan kepada leluhur dan alam pun tetap dijaga. Alam pun tidak dieksploitasi di luar batas kemampuannya.

Pada musim tertentu mereka menanam padi, namun sebelum tiba masanya panen, mereka mengkonsumsi sorgum, yang dipercaya sebagai bagian dari pelestari budaya dan penghormatan bagi leluhur. Demikian juga dengan jewawut, umbi-umbian, sorgum, jali, sagu dan aneka ragam sumber pangan lokal leluhur yang terus dirawat.

Berefleksi dengan kehidupan saat ini, maka kisah Jedo Pare Tanu Wujo menemukan kembalinya relevansi maknanya. Khususnya saat manusia harus berjuang menghadapi berbagai tantangan penyediaan pangan, seperti ketidakpastian yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Dari kisah itu pun, ada pesan untuk manusia kembali berdamai dengan alam, yang diramu dengan pengorbanan, etos kerja, dan peran penting peran perempuan dalam setiap proses pengerjaannya.

 

* Zakiyatur Rosidah, penulis adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, concern di penulisan isu-isu lingkungan hidup

 

***

Foto Utama: Perempuan memiliki posisi penting dalam alam kosmos orang Lamaholot. Ilustrai gambar: Mama Yuventa da Ros, seorang warga Kampung Wairbukang di Flores yang hidup dari bertani. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version